Inspiring

Seyyed Hossein Nasr: Alam itu Punya Dimensi Ketuhanan!

3 Mins read

Krisis lingkungan telah menjadi problem global di era kemajuan sains modern. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan air bersih di Indonesia sebanyak 14,62% dari tahun 2013 hingga 2018.

Sementara itu, cadangan air bersih semakin terbatas karena berbagai faktor seperti industri, pengalihan lahan, maupun rumah tangga.

Kini, Indonesia diprediksi World Water Forum mengalami krisis air bersih pada tahun 2025. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, salah satunya yaitu dampak sains modern yang telah menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta.

Pandangan antroposentris ini, menurut Fritjof Capra mengakibatkan pemisahan manusia dari alam. Alam dipandang menjadi sebuah instrumen terpisah yang bisa dimanfaatkan semaunya.

Lebih lanjut, Capra menjelaskan berbagai krisis lingkungan dewasa ini disebabkan pengembangan ilmu pengetahuan yang minus wawasan spiritual. Tentu krisis lingkungan ini perlu juga diselesaikan dari landasan folosofis-teologis yang dalam Islam sudah terdapat konsep hubungan antara manusia dan alam yang harmonis.

Ekoteologi merupakan ilmu yang membahas tentang relasi pandangan teologis-filosofis antara agama dengan alam. Dengan begitu, agama bukan hanya menyangkut relasi manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga dengan alam tempatnya tinggal.

Pandangan manusia pada alam yang benar akan menciptakan relasi harmonis non-eksploitatif. Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu cendekiawan muslim yang merumuskan teori ekoteologi Islam sebagai upaya menyelesaikan krisis lingkungan yang telah melanda umat manusia secara global.

Meski sering dikenal sebagai tokoh pluralisme karena paham filsafat perenialnya, ia memiliki andil yang cukup besar dalam mengkritik peradaban sains modern barat yang materialistik-sekular.

Biografi Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossen Nasr lahir di kota Tehran, Iran pada tanggal 7 April 1933. Tumbuh di keluarga ulama dengan tradisi Syiah tradisional, yang menjadi paham mayoritas Iran. Ayahnya Seyyed Waliullah Nasr. Selain dikenal sebagai ulama, ia juga seorang dokter dan pendidik di era Reza Shah serta diangkat setingkat jabatan Menteri Pendidikan (untuk masa sekarang).

Baca Juga  Djindar Tamimy (1): Meneguhkan Komitmen Ber-Muhammadiyah

Pendidikan Nasr diperoleh secara informal tradisional dari keluarganya dan juga formal lembaga di Teheran. Pada lembaga ini, ia belajar dari menghafal Al-Qur’an hingga syair-syair Persia klasik.

Selanjutnya, ia dikirim ayahnya untuk belajar pada ulama besar di Qum Iran, termasuk Thabathaba’i penulis kitab Tafsir Al-Mizan untuk mempelajari filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf.

Dengan begitu, tradisi Persia begitu melekat pada diri Nasr hingga berpengaruh ke pemikirannya. Pendidikan tinggi Nasr didapat di negeri Amerika yaitu MIT, dengan gelar sarjana Fisika dan Matematika.

Kemudian, lanjut di Harvard mengambil konsentrasi studi Geologi dan Geofisika. Setelah itu, ia menyelesaikan gelar Ph.D-nya dalam bidang Sejarah Sains dan Filsafat.

Meski karir akademisnya banyak dihabiskan di Barat, ia tetap bersikap kritis terhadap peradaban Barat seperti dalam beberapa karyanya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), Religion and The Order of Nature (1996), dll. Dalam pandangannya, sains modern yang sekuler itulah penyebab krisis lingkungan dan sosial yang dihadapi manusia.

Konsep Ekoteologi Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr mendasari konsep ekoteologinya dengan pendekatan sufisme-tasawuf. Dalam pandangannya soal metafisika Islam, realitas tertinggi digambarkan menjadi empat buah kualitas dasar seperti yang termaktub dalam QS. Al-Hadid: 3

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zahir dan yang Batin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”

Berdasarkan dalil di atas, realitas tertinggi (Tuhan) adalah yang batin dan zahir, yang pusat dan lingkaran.

Spiritualitas Islam menempatkan Allah SWT sebagai pusat serta realitas batin dan lahirnya. Dengan begitu, kehidupan seorang muslim, pada setiap aspek spiritualitasnya mengitari-Nya, mencari-Nya, dan mengarahkan segenap perhatian kepada-Nya sebagai tujuan eksistensi manusia.

Baca Juga  Syekh Hasan Maksum, Ulama Pendidik dari Sumatera Utara

Sebagai realitas absolut, Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang maujud (al-a’yan al-thabithah). Disebutkan dalam QS Al-Baqarah: 115

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Terkait ayat di atas, Seyyed Hossein Nasr berpendapat

Wajh means in reality the sum of the Divine names and Qualities as they concern the world of creation, that is, that aspect of the Divine Reality which has turned towards the creation.

Dalam konteks ini, Tuhan adalah Yang Menampakkan Diri (Mutajalli). Menampakkan diri di sini berarti Ia memiliki keserupaan walaupun dalam kadar yang paling kecil pada ciptaan-Nya.

Lokus penampakan diri-Nya (majla) yaitu alam dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Maka, Allah SWT sebagai pusat kosmos, berimplikasi bahwa hubungan-Nya dengan alam semesta bukan hanya terbatas sebagai awal, akan tetapi juga pemelihara. Akhir dari semesta itu, artinya yakni segala sesuatu pasti akan kembali kepada-Nya.

Resacralization of Nature

Seyyed Hossein Nasr memberikan solusi ekoteologi pada krisis lingkungan berupa Resacralization of Nature. Karena menurut Nasr, antroposentrisme dan sekularisme merupakan sumber dari berbagai bentuk eksploitasi alam.

Maka, manusia seharusnya memandang alam sebagai teofani yang berarti “melihat Tuhan” dalam wujudnya yang terefleksikan dalam ciptaan-Nya. Dengan begitu, manusia akan memandang eksistensinya sebagai bagian integral alam semesta. Sedangkan, alam semesta adalah cerminan dari kekuasaan Illahi. Lebih lanjut, terkait konsep manusia sebagai Khalifatullah fil ‘Ard, Nasr menjelaskan

Nature is governed not by man, despite his claims, but by God. And yet it is given to man to act as the bridge (pontifex) between Heaven and earth and as channel of grace and light for the natural order.

Dengan begitu, tidak ada alasan lagi bagi manusia mengeksploitasi alam berdasar kehendaknya. Karena alam ini memiliki dimensi ketuhanan, sebagaimana manusia ditugaskan Allah SWT sebagai jembatan antara surga dan bumi untuk menyalurkan cahaya, kemuliaan-Nya pada tatanan alam semesta.

Baca Juga  Mengatasi Krisis Lingkungan dengan Etika Profetik Kuntowijoyo

Editor: Yahya FR

Amri Adhitya
5 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *