Perspektif

Mitos Linearitas Akademik: Kepakaran Bukan Soal Linearitas Studi!

4 Mins read

Di dunia akademik Indonesia, ada satu aturan yang sering dikritik karena membuat orang jadi tidak ‘fleksibel’ dalam belajar ketika berkarier sebagai akademisi di Indonesia, yaitu asumsi tentang ‘linearitas’. Asumsi tentang linearitas itu begini: seorang akademisi harus punya keahlian ‘linear’.

Dalam arti (yang sering dipahami): punya jenjang studi S1-S3 yang ‘sama’, atau mungkin satu bidang ilmu. Ini tentu dianut di Indonesia karena ada aturan yang mengatur itu untuk jenjang kepangkatan (agak rumit, sebenarnya) dan konon sering diacu di beberapa negara juga.

Aturan ini mengakar di Indonesia, meski konon penerapannya fleksibel. Aturan kementerian sendiri merujuk linearitas ini sebagai kesesuaian latar belakang ilmu yang diperoleh ketika menempuh pendidikan –tentu di semua tingkatan—dengan ilmu yang akan diajarkan pada tempat mengajar. Acuannya adalah rumpun ilmu, di mana seorang dosen harus memiliki kompetensi pendidikan yang linear di satu rumpun atau sub-rumpun ilmu di mana ia mengajar.

Syahdan, kementerian punya aturan yang cukup kompleks terkait ini, yang biasanya dirujuk oleh dosen/pengajar yang ingin mengajukan kenaikan pangkat. Hal ini sering jadi perdebatan, terutama di Persyarikatan Muhammadiyah yang memang punya banyak amal usaha perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Linearitas Studi Akademik adalah Mitos

Namun, selama menempuh studi doktoral dan kemudian membangun karier sebagai seorang akademisi/peneliti awal karier, ada satu hal yang saya amati di akademisi banyak negara: linearitas itu bisa dibilang ‘mitos’.

Faktanya, banyak sekali akademisi yang punya pendidikan, bidang keahlian, dan riset yang bisa dibilang ‘tidak linear’, baik yang menggeluti banyak hal maupun yang memang menempuh pendidikan di disiplin yang berbeda.

Banyak kolega yang memang mengambil studi di bidang yang berbeda sebelum kemudian mengambil PhD dalam bidang Hubungan Internasional, tidak terkecuali dua supervisor saya, yang merupakan akademisi Hubungan Internasional senior di Australia.

Lho, kok bisa demikian?

Satu hal yang sering membedakan adalah sistem pendidikan. Banyak negara (tidak hanya di Barat, tapi juga di beberapa negara Afrika, Jepang, bahkan Tiongkok) yang menganut Double bahkan Triple Major.

Baca Juga  Lebaran Itu (Bukan) Surplus Enjoyment

Artinya, ketika kita mengambil studi S1, kita tidak hanya mengambil S1 di bidang A (taruhlah Hubungan Internasional), tapi juga B (bisa jadi Hukum atau Ekonomi), dan malah bisa jadi C (bisa Ilmu Data, Sastra, atau malah Filsafat).

Di Australia, misalnya, kita bisa mengambil pilihan single major (belajar dan mengambil kuliah di satu jurusan) dengan 3 tahun, ditambah skripsi (honours) intensif 1-2 tahun. Atau double major 4 tahun, yang memungkinkan kita untuk mengambil kuliah S1 di dua jurusan yang berbeda. Ini tergantung kemampuan anaknya, plus juga kemampuan finansial hehe karena kuliah mahal.

Konsekuensinya adalah: mahasiswa S1 akan mengambil mata kuliah di banyak bidang, dan tentu tidak linear. Itulah sebabnya, di kelas teori Hubungan Internasional yang saya tutori 3 tahun belakangan, mahasiswa Hubungan Internasional yang mengambil kuliah bisa dibilang hanya separuhnya: separuh lagi mahasiswa jurusan lain: entah hukum, sejarah, ekonomi, atau bahkan Ilmu Data dan Ilmu Komputer. Mereka mengambil mata kuliah teori Hubungan Internasional karena tertarik, atau bagian dari jurusan yang mereka ambil, entah major atau minor.

Kepakaran Bukan Soal Linearitas Studi

Tapi juga ada satu hal lain: di banyak negara, kepakaran tidak dimulai dari lulus S1. Belajar di level S1 bisa dibilang adalah ‘awal’ dari karier profesional. Kita baru akan dianggap sebagai ‘pakar’ jika sudah lulus PhD dengan karier yang cukup panjang (biasanya lebih dari 10 tahun pasca-PhD), atau setelah kita dapat posisi akademik.

Ini artinya, kepakaran tidak diukur dari jurusan apa yang kita pelajari, tapi dari apa yang kita hasilkan (entah itu riset, pengalaman mengajar, pemberdayaan masyarakat) sebagai bagian dari kontribusi akademik.

Jadi, kepakaran justru dimulai setelah kita selesai PhD dan menelurkan karya akademik, entah itu buku, jurnal ilmiah, atau keluaran lain. Jadi, kita bisa kuliah S1 sebebas-bebasnya, karena kuliah S1 hanya memberikan kita dasar kompetensi profesional yang kita kembangkan lagi selepas lulus kuliah dan tidak bisa dijadikan ukuran kepakaran.

Baca Juga  Pentingnya Peran Pemuda dalam Penanggulangan Korupsi

Dalam banyak hal, saya melihat cara pandang kita soal “linearitas” dibentuk oleh asumsi bahwa “kepakaran tingkat pendidikan” ini. Jadi, kita akan dianggap “tidak linear” jika kita menempuh studi HI di bidang Hubungan Internasional, tapi kemudian menulis tesis tentang Ekonomi Keuangan Global di Departemen Ilmu Ekonomi.

Padahal, bisa jadi sebenarnya kita mengambil kuliah Hubungan Internasional dan tertarik dengan Ekonomi Politik Internasional, dan memutuskan untuk mengambil PhD di bidang Ilmu Ekonomi karena ada supervisor yang mumpuni.

Ini tentu masuk akal. Alasan apa yang membuat kita menolak studi ketika ada seorang supervisor yang berkenan membimbing riset kita selama 3-4 tahun ke depan, apalagi jika ditopang oleh beasiswa yang cukup dan biaya penelitian?

Tapi poinnya sebetulnya bukan hanya itu. Yang jadi pertanyaan adalah: apakah pendidikan yang non-linear mengurangi tingkat kepakaran? Jawabnya bisa jadi adalah: tidak selalu dan ini sangat tergantung dengan bidang keahlian.

***

Dalam banyak hal, pernah kuliah Hubungan Internasional dan Ekonomi memberikan kita kesempatan untuk memahami aspek politik dari keuangan internasional, dan pernah mengambil kuliah Matematika dan Hubungan Internasional membikin kita lebih mudah untuk riset kuantitatif.

Salah satu yang bisa saya ambil contoh adalah dua orang ilmuan Amerika Serikat yang konon disebut-sebut sebagai ilmuan Hubungan Internasional (HI) berpengaruh: Kenneth Waltz dan Alexander Wendt. Keduanya dikenal sebagai pelopor pendekatan neorealisme dan konstruktivisme yang mewarnai perdebatan studi HI.

Kenneth Waltz sendiri mengambil Jurusan Ilmu Ekonomi untuk Kuliah S1, dan kemudian mengambil S3 dalam bidang Teori Politik setelah menjadi tantara cadangan di Angkatan Darat Amerika Serikat. Alexander Wendt sendiri konon mengambil S1 di bidang Filsafat dan High Maths sebelum S3 di bidang Ilmu Politik.

Tentu ketika beliau menjadi akademisi, tidak ada yang menanyakan kenapa mereka tidak linear ketika studi.

Baca Juga  Maulid Nabi: Memupuk Rasa Cinta kepada Rasulullah

Contoh lain bisa dilihat di Studi Islam. Almarhum Prof. Dr. Azyumardi Azra justru mengambil kuliah S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah. Namun, dengan kuliah S2 dan S3 di bidang Sejarah Islam di Universitas Columbia, justru beliau dikenal publik sebagai seorang ahli sejarah Islam Indonesia yang mumpuni, dengan karya yang cukup cemerlang tentang asal-usul pembaharuan Islam di Indonesia.

Di sini, artinya, belum tentu studi yang tidak linear tidak menjamin kepakaran. Studi yang tidak linear justru membuka kemungkinan baru untuk studi yang lebih luas, yang memberikan seorang peneliti bekal untuk melakukan penelitian dan menulis karya yang lebih baik dan baru di masa depan.

Mendorong Penguatan Riset

‘Ala kulli hal,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberikan jalan ke arah sana melalui program kampus merdeka, di mana mahasiswa sudah bisa fleksibel mengambil kuliah di jurusan dan bahkan universitas yang berbeda.

Hal ini sebenarnya juga bisa dilakukan di tingkat pengajar dan akademisi, melalui fleksibilitas dalam melakukan riset dan penghapusan aturan yang mengekang kebebasan akademik seperti linearitas studi.

Yang diperlukan, bisa jadi, bukan linearitas studi, melainkan insentif untuk mendorong riset yang mendukung pembelajaran. Bisa jadi, dosen tidak punya latar belakang yang sifatnya linear. Namun, ia bisa saja mendorong kepakaran jika ia punya kesempatan untuk melakukan penelitian di bidang yang ia tekuni secara kolaboratif dengan kolega lain. Riset juga akan memberikan fondasi untuk mendesain mata kuliah sehingga lebih relevan.

Tentu, artinya, yang didorong bukan hanya penghapusan kebijakan yang mengekang, tetapi juga mendorong penelitian yang lebih proporsional dengan pengajaran. Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, ini juga jadi peluang untuk memperkuat kapasitas gerakan berbasis riset dan pengetahuan ke depan, dan bisa jadi bukan hanya ekspansi perguruan tinggi.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Editor: Yahya FR

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
11 posts

About author
Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah (PRIM) Queensland
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds