Dalam Risalah Islam Berkemajuan hasil Muktamar ke-48 Tahun 1443/2022 di Surakarta, ditegaskan bahwa risalah tersebut merupakan penguatan kembali terhadap gagasan dan gerakan yang telah dilahirkan oleh Muhammadiyah sejak masa awal. Sebagai organisasi yang membawa semangat kemajuan, Muhammadiyah dituntut untuk memainkan peran strategis, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dalam konteks global. Salah satu wujud tanggung jawab itu adalah menginisiasi sistem waktu yang teratur sebagai pilar peradaban maju. Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) hadir sebagai proyek peradaban jangka panjang. Membangun peradaban adalah upaya berkelanjutan yang harus dimulai dari hal-hal kecil dan berdampak besar dalam jangka panjang—yakni menghadirkan nilai-nilai keadaban dalam perilaku individu, masyarakat, bangsa, hingga dunia (RIB, hlm. 76–77).
Umat Islam, sebagai komunitas religius terbesar kedua di dunia, tersebar di berbagai wilayah geografis dengan keberagaman budaya dan sistem negara. Namun, hingga kini belum ada kesatuan dalam penentuan waktu ibadah, terutama terkait awal bulan hijriah. Penerapan KHGT menjadi upaya strategis untuk mengatasi fragmentasi tersebut. Hal ini sejalan dengan ajaran persatuan Islam yang ditegaskan dalam QS. Ali ‘Imran: 103: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…”
Rasulullah SAW pun telah mengingatkan bahwa umat Islam di akhir zaman akan menjadi banyak secara jumlah, tetapi kehilangan kekuatan akibat tidak bersatu. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Kalian pada waktu itu banyak, tetapi seperti buih di lautan.” (HR. Abu Dawud). Kondisi ini disebabkan oleh kecintaan terhadap dunia dan ketakutan akan kematian yang berlebihan. Realitas tersebut tergambar jelas dalam lemahnya solidaritas umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer, termasuk konflik dan peperangan yang merusak sendi-sendi persatuan. Dalam konteks ini, KHGT menjadi simbol konkret dari ukhuwah Islamiyah yang menyatukan.
KHGT Menyatukan Perbedaan
Gagasan KHGT lahir sebagai respons terhadap perbedaan penetapan awal bulan hijriah yang terus terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Bahkan di satu negara pun bisa ditemukan tiga hingga empat tanggal berbeda dalam merayakan hari besar seperti Ramadan atau Idul Fitri. KHGT dirancang sebagai sistem kalender Islam universal yang berbasis hisab dan tidak bergantung pada rukyat visual maupun kondisi geografis. Dengan sistem ini, umat Islam dapat merujuk pada satu kalender yang sama, sehingga keseragaman waktu ibadah dapat terwujud secara global.
Upaya penerapan kalender Islam global telah dibahas dalam berbagai forum internasional dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu tonggak pentingnya adalah Kongres Internasional Kalender Hijriah di Istanbul tahun 1437/2016, yang mempertemukan para ahli astronomi dan ulama dari berbagai negara. Forum ini menyepakati bahwa kalender Islam berbasis hisab global memungkinkan untuk diwujudkan, terutama berkat kemajuan teknologi observatorium dan akurasi perhitungan astronomi. Sistem ini tidak hanya menciptakan keseragaman waktu ibadah, tetapi juga mendukung efisiensi perencanaan kegiatan keagamaan lintas negara. Gagasan “satu hari satu tanggal di seluruh dunia” menjadi landasan penting sejak pertama kali muncul pada tahun 1393/1973 di Kuwait.
Perbaduan Syariat dan Sains
Muhammadiyah sendiri telah konsisten menggunakan metode hisab jauh sebelum wacana KHGT populer secara global. Organisasi ini mengandalkan pendekatan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal sejak awal abad ke-20. Dengan prinsip astronomi yang teruji, Muhammadiyah mampu menyusun kalender hijriah tahunan secara sistematis, terukur, dan terbuka.
Pendekatan ini memungkinkan umat mengetahui waktu-waktu ibadah jauh hari sebelumnya tanpa menunggu hasil rukyat yang sering kali terganggu cuaca dan faktor geografis. Ini mencerminkan semangat KHGT dalam membangun manajemen waktu ibadah yang memadukan antara syariat dan sains.
Meskipun dari sisi astronomi KHGT dapat diwujudkan, implementasinya masih menghadapi tantangan sosiologis dan politis. Perbedaan pandangan antara penganut hisab dan rukyat, keberadaan otoritas keagamaan lokal-nasional, serta resistensi terhadap perubahan menjadi hambatan nyata.
Sebagian masyarakat masih menganggap metode rukyat lebih “syar’i” karena melibatkan pengamatan langsung terhadap hilal, sebagaimana hadis Nabi yang menyebutkan: “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya pula.” Namun, banyak ulama klasik dan kontemporer yang telah menjelaskan bahwa hisab juga dapat digunakan, dengan dasar kemudahan dan kepastian dalam ibadah sesuai maqashid syariah.
KHGT Harus Selalu Didorong
Perbedaan antara keputusan pemerintah dan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadan atau Idul Fitri masih terjadi. Meski demikian, perbedaan ini tetap dijaga dalam bingkai etika keberagaman. Oleh karena itu, penyatuan kalender Islam tidak cukup hanya menjadi wacana atau retorika, tetapi harus diwujudkan dalam aspek kehidupan praktis umat.
KHGT menjadi instrumen penting menuju kesatuan umat Islam. Muhammadiyah telah menunjukkan kesiapan teknis, konsistensi metodologis, dan legitimasi moral untuk memelopori proyek besar ini. Di tengah dinamika dunia Islam yang kompleks, KHGT bukan hanya kontribusi terhadap keseragaman waktu, tetapi juga bentuk integrasi peradaban Islam yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai al-Qur’an.
Seiring meningkatnya kesadaran umat dan dukungan teknologi, KHGT bukan lagi sekadar idealisme utopis—tetapi sebuah keniscayaan yang menanti realisasi konkrit dari seluruh pemangku kepentingan. Muhammadiyah siap berada di garda terdepan dalam perjuangan ini.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.
Editor: Assalimi
Thank for Information
Greeting:
Telkom University