Bahwa khutbah Jumat itu penting, tidak ada yang meragukan lagi. Bahwa khutbah Jumat memiliki jangkauan yang luas, itu sudah pasti. Khutbah Jumat adalah tempat di mana muslim yang jarang mengikuti pengajian akhirnya mendengarkan ceramah juga. Posisi khutbah Jumat ini strategis sekali.
Persoalannya, apa sih yang selalu kita perbincangkan di berbagai khutbah jumat itu? Tentu sulit untuk mengurai. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pernah mengadakan penelitian tentang isi khutbah jumat di masjid lingkungan pemerintah di wilayah DKI. Hasilnya ‘agak’ mengecewakan. Dari 100 masjid yang diteliti, ada 41 masjid yang terindikasi menyebarkan paham radikal. Hampir 50%!
Angka ini mengkhawatirkan. Khutbah Jumat dibajak oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham agama yang ekstrim. Maka, khatib-khatib di lingkungan Islam yang mainstream harus berbenah. Materi-materi yang disampaikan setiap Jumat itu idealnya memang berubah. Tidak melulu membahas tentang “surga-neraka”, “pahala-dosa”, dan “sesat-tidak sesat”. Khatib, sebagai orang yang ditokohkan di masyarakat, harus senantiasa belajar untuk memperbaharui khazanah keilmuannya, terutama agar materi khutbah Jumat menjadi semakin variatif.
Saya ingin mengetengahkan dua materi yang barangkali bisa menjadi alternatif dari materi khutbah yang “itu-itu saja”. Pertama, khutbah tentang lingkungan. Bagi sebagian orang, ajaran Islam telah dibonsai menjadi soal-soal ibadah mahdhah saja. Islam, di mata mereka, hanya soal salat, puasa, zakat, dan haji.
Padahal, Islam itu luas. Luas sekali. Melampaui apa yang bisa kita lihat dengan mata telanjang. Islam mengatur tentang konservasi lingkungan. Tentang bagaimana seorang muslim harus menjaga alam. Berusaha untuk tidak merusak ekologi, serta memperbaiki atau setidaknya menunda perubahan iklim yang ekstrim. Itu bagian dari ajaran Islam pula. Anda tentu lebih tau mana ayat dan hadis yang memerintahkan hal itu.
Kerusakan lingkungan ini adalah hal yang ada di depan batang hidung kita. Ia sudah dekat sekali. Sedekat kiamat itu sendiri. Toh kiamat dan kerusakan lingkungan itu artinya sama saja. Sama-sama dapat mengakhiri kehidupan kita. David Wallace-Wells di bukunya The Uninhabitable Earth menjelaskan hal ini dengan sangat baik.
Alangkah baiknya jika para khatib mulai mempertimbangkan untuk memberi khutbah tentang ajaran Islam yang ramah lingkungan. Masyarakat harus kita ajak untuk melakukan aksi yang konkret kendati kecil. Misalnya, tidak menggunakan plastik ketika belanja. Masyarakat harus dibiasakan menggunakan tas belanja sendiri. Misalnya lagi, membawa air dalam tumbler ketika bepergian, agar tidak perlu membeli air mineral kemasan.
Misalnya lagi, masyarakat diajak untuk memilah sampah di rumah mereka, untuk kemudian disetorkan ke bank sampah, supaya sampah itu tidak menumpuk di TPA. Masyarakat juga perlu diingatkan agar tidak membakar sampah dan membuang sampah di sungai. Membuang sampah di TPA itu adalah serendah-rendahnya iman. Iman yang tinggi meniscayakan empunya untuk memilah sampah. Sampah non organik dibawa ke bank sampah untuk diolah lagi, sedangkan sampah organik digunakan untuk membuat pupuk kompos.
Para khatib tidak perlu khawatir kalau ajaran ini bukan ajaran Islam atau tidak berpahala. Ajaran-ajaran ekologis itu tentu ajaran yang sangat Islami. Sangat-sangat Islami. Ia juga berpahala. Pahalanya besar. Sangat besar. Jadi jangan ragu dan bimbang.
Kedua, khutbah tentang politik identitas. Masa-masa menjelang pilpres adalah masa-masa yang mengkhawatirkan. Di pilpres 2019, masyarakat begitu terpolarisasi sedemikian rupa. Masyarakat terbelah. Pilpres seolah menjadi pertarungan akidah. Memilih salah satu paslon adalah bukti keimanan. Memilih paslon lain adalah bukti kemunafikan. Fenomena ini mengerikan. Dan tidak boleh terulang.
Maka, alangkah indahnya ketika khatib menyampaikan khutbah Jumat supaya masyarakat tidak mudah terjerumus dalam politik identitas. Tidak mudah terperosok ke lubang polarisasi untuk kesekian kalinya. Tidak mudah dikibuli oleh politisi dengan dalih-dalih agama.
Jauh-jauh hari, Cak Nur sudah menyuarakan jargon “Islam Yes, Partai Islam No!” Slogan ini menjadi pelajaran bagi kita. Bahwa politik adalah hal yang profan. Kita tidak akan murtad hanya karena memilih salah satu paslon. Keimanan kita yang telah begitu lama kita rawat ini tidak akan gugur hanya karena memilih salah satu partai.
Menjelang tahun politik 2024, khatib harus mengingatkan kepada masyarakat agar tetap menyembah Allah, bukan menyembah capres. Masyarakat harus tetap menuhankan Allah, bukan menuhankan partai politik. Masyarakat harus tetap rukun kendati pilihannya berbeda-beda. Tidak boleh orang saling tuding dan saling caci maki hanya karena calonnya berbeda-beda. Politik itu profan dan sementara. Sementara ukhuwah itu sakral dan abadi. Toh, calon yang Anda dukung mati-matian itu nanti belum tentu peduli kepada Anda kalau dia jadi.
Jadi, santai saja. Politik bukan harga mati. Politik bukan akhir segalanya. Politik hanyalah sarana menuju kebaikan dunia dan akhirat kita. Tidak perlu ngotot-ngototan. Tidak perlu eyel-eyelan. Biasa saja. Sewajarnya saja. Seperlunya saja.
Alangkah hebatnya jika dua hal di atas lebih sering dibicarakan di berbagai masjid di seluruh Indonesia.
artikel yang sangat menarik dan bermanfaat
salam ya dari kampusku https://walisongo.ac.id/
Tulisannya inkonsisten, kesimpulan akhir politik..😁