Perspektif

Ketika Jemaat Ahmadiyah Terusir dari Kampung Halaman

3 Mins read

Moderasi beragama adalah hal yang begitu mendesak untuk diajarkan kepada seluruh kelompok beragama. Ia bukan sebuah konsepsi abstrak yang digunakan hanya untuk mencari cuan saja. Kehadirannya begitu ditunggu oleh masyarakat.

Di Asrama Transito, Majeluk, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, NTB, terdapat pengungsi dari muslim Ahmadiyah yang telah 10 tahun terusir dari kampung halamannya sendiri. Mereka awalnya berasal dari Sandubaya, Mataram. Daerah itu dihuni oleh banyak jamaah Ahmadiyah.

Awal tahun 2000an, kehidupan masyarakat Sandubaya mulai terusik. Sayup-sayup terdengar khutbah dan pengajian yang provokatif. Penuh dengan kebencian. Di tahun 2002, peristiwa kelam itu terjadi. Sekelompok masyarakat yang intoleran mengusir paksa jamaah Ahmadiyah yang telah hidup bertahun-tahun dengan penuh kedamaian.

Siang itu juga, setelah kedatangan kelompok intoleran, jamaah Ahmadiyah mengungsi ke Polres Lombok Timur dengan pakaian dan barang-barang seadanya. Mereka tinggalkan rumah dan kampung halaman. Dengan dalih keamanan, mereka tak bisa lagi kembali ke Sandubaya.

Setelah satu bulan mengungsi di Polres Lombok Timur, jamaah Ahmadiyah itu dipindahkan ke Asrama Transito. Saat itu ada sekitar 600 jemaat yang boyongan ke Transito. Asrama itu awalnya adalah tempat penampungan transmigran.

Beberapa bulan tinggal di Transito dengan penuh ketidaknyamanan, sebagian jemaat mulai menyewa rumah. Rumah itu gratis untuk tahun pertama. Ada juga yang pindah ke Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa untuk mengadu nasib dan mencari ruang hidup yang nyaman.

Sebagian jemaat Ahmadiyah pindah ke Desa Gegerung di Lombok Barat. Mereka mencari rumah yang saling berdekatan. Kondisi jemaat di sana semakin lama semakin membaik. Mereka berhasil bangkit setelah diusir dari kampung halaman dan keluar dari Asrama Transito yang tidak layak huni. Kehidupan sosial dan ekonomi perlahan membaik. Pelan-pelan mereka mencoba move on dari kenangan buruk tahun 2002.

Baca Juga  Toleransi dan Konsepnya Menurut Beberapa Agama

Sayang, baru saja bangkit dari keterpurukan, mimpi buruk itu kembali datang. Sayup-sayup kembali terdengar khutbah-khutbah dan pengajian-pengajian yang disampaikan dengan nada penuh amarah.

Dari sebuah masjid, terdengar ceramah yang keras tentang aliran sesat. Konsekuensinya, orang yang dianggap sesat harus diusir dari Gegerung. Rupanya, sulit sekali mencari ruang hidup yang nyaman sekedar untuk melepas penat di rumah sendiri.

“Kalau masyarakat di sini tidak mampu, saya akan datangkan massa dari luar kampung untuk mengusir Ahmadiyah! Ingat, darah orang Ahmadiyah itu halal,” ujar seorang ustadz yang diamini oleh puluhan jamaahnya.

Padahal, saat itu adalah bulan Ramadhan tahun 2006. Bulan di mana Allah menunjukkan kasih dan sayang-Nya secara besar-besaran. Sayang, sebagian umat yang mengaku sebagai hamba-Nya tak mau mengikuti sifat welas asih Tuhannya.

Di bulan penuh kasih itu, jemaat Ahmadiyah terusir untuk kedua kalinya. Mereka diusir hanya karena meyakini penafsiran tertentu dalam agama Islam. Diusir oleh orang-orang yang salah memahami sifat dan ajaran Islam yang penuh kasih.

Sebagaimana diceritakan di laman Project Multatuli, sekelompok orang datang dengan berjalan kaki. Ada yang membawa batu, kayu, dan bahan bakar. Massa menyerang dengan membabi buta atas nama Tuhan. Terdengar teriakan kesakitan, tangisan, sekaligus gema takbir dari sisi yang lain.

Sebagian jemaat Ahmadiyah terluka. Darah segar terlihat mengucur segar di pelipis, sudut bibir, dan pipi. Ada yang dipukul, ada yang terkena lemparan batu.

Tak berselang lama, polisi membawa jemaat Ahmadiyah pergi. Polisi, sebuah lembaga yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat nyatanya hanya berhasil membawa pergi jemaat Ahmadiyah tanpa bisa memastikan bahwa mereka mendapatkan haknya untuk tinggal dan beribadah di rumah dengan nyaman.

Baca Juga  Maarif Institute dan P3M Promosikan Toleransi dan Cegah Ekstremisme

4 Februari 2006, saat Bulan Ramadhan, mereka terpaksa kembali ke Asrama Transito.

Hingga saat ini, ada 35 keluarga yang masih bertahan di Transito. Termasuk 51 perempuan dan anak-anak.

Persekusi terhadap sebuah kelompok agama tidak hanya berimplikasi pada larangan untuk mendirikan masjid dan salat berjamaah. Persekusi dan diskriminasi telah mencapai tahap yang menjijikkan, yaitu merampas ruang hidup. Manusia yang diposisikan begitu mulia dalam Islam diusir layaknya kecoa yang menjijikkan.

Kisah ini belum berhenti. Di Garut, Jawa Barat, pada Mei 2021, terjadi penutupan masjid Ahmadiyah dan larangan seluruh bentuk kegiatan peribadatan. Hal yang sama juga terjadi di Sintang, Kalimantan Barat. Di Sintang, masjid Ahmadiyah tidak hanya ditutup, melainkan juga dibakar. Rumah Tuhan yang suci itu diperkosa oleh umat-Nya sendiri.

Sayangnya, pelakunya tidak hanya masyarakat sipil, melainkan juga negara. Yendra Budiana, Juru Bicara JAI menyebut bahwa negara melakukan persekusi terhadap Ahmadiyah melalui SKB 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008.

Sebenarnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah menyebut bahwa SKB 3 Menteri tidak dapat digunakan untuk melakukan diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Namun, implementasi di daerah tidak demikian. Banyak peraturan daerah yang diskriminatif yang berangkat dari SKB 3 Menteri tersebut.

Selain SKB 3 Menteri, kelompok intoleran juga sering berpedoman pada fatwa MUI di daerah masing-masing. Sungguh disayangkan Majelis Ulama Indonesia yang seharusnya menjadi kelompok yang mengayomi seluruh masyarakat turut berperan dalam diskriminasi yang tidak bisa dibenarkan.

Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *