Perspektif

Tiga Alasan Farag Fouda Menolak Khilafah dan Formalisasi Syariat

3 Mins read

Perbincangan mengenai penolakan terhadap paham khilafah barangkali sudah tidak menarik lagi. Organisasi yang getol menyuarakannya sudah diberangus oleh pemerintah. Namun, perbincangan mengenai penolakan terhadap formalisasi syariat Islam tentu belum usang.

Kendati salah satu organisasi yang getol menyuarakannya juga sudah dihapus, namun, paham formalisasi syariat ini sudah kadung dianut oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia.

Salah satu tokoh paling menarik yang gigih menolak gagasan ini hingga mengorbankan nyawanya sendiri adalah Farag Fouda. Dalam satu kali libasan, ia menyapu bersih paham khilafah sekaligus formalisasi syariat. Mengapa ia menolak dua paham ini?

Pertama, mengembalikan kekhilafahan atau melakukan formalisasi syariat dengan dalih kejayaan Islam di masa lalu bagi Fouda sungguh tidak berdasar. Pasalnya, masa lalu Islam sejatinya adalah masa lalu yang biasa saja, bahkan cenderung kelam.

Dinasti Umayyah sebagai pewaris langsung dari khulafaur rasyidin dipegang oleh politisi-politisi dan demagog yang tidak peduli dengan agama. Agama hanya menjadi tameng dalam menggerakkan dan mencari dukungan masyarakat saja. Sementara secara substansi apa yang mereka lakukan hanyalah upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan memperluas pengaruh sebagaimana pemerintahan pada umumnya.

Barat saat itu tengah berada dalam era the dark age. Terutama di abad pertengahan bersamaan dengan era Dinasti Abbasiyah. Sementara sejarawan Islam sendiri sering menulis masa itu dengan the golden age of Islam.

Secara hitung-hitungan politik dan kemajuan, bisa jadi itu benar. Namun, jika ukurannya adalah moralitas dan kemanusiaan, menurut Fouda, Islam tak jauh berbeda dengan Barat.

Khalifah-khalifah Islam pasca khulafaur rasyidin sejatinya juga memiliki tangan yang berlumur darah. Dalam batas tertentu, mereka melakukan politisasi agama. Mereka melakukan akrobat dalil. Menggunakan dalil-dalil suci untuk menopang kekuasaan yang penuh dengan syahwat politik.

Baca Juga  Neo-Sufisme dan Efek Negatif Media Sosial

Kedua, justru, menurut Farag Fouda, semangat kembali ke masa lalu berarti kembali ke masa-masa kelam politik Islam. Di mana dalil diperkosa sedemikian rupa dan dijadikan pendukung untuk komoditas politik. Kembali ke masa lalu berarti kembali ke masa di mana khalifah memiliki kekuasaan mutlak sementara sebagian ulama di sekelilingnya bertugas untuk mencari pembenaran atas berbagai kebijakan khalifah yang keji.

Kembali ke masa lalu berarti kembali ke masa di mana nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah ditegakkan secara proporsional. Di mana penguasa menjadi otoriter dan tidak ada sistem pengawasan yang kuat.

Padahal, semangat Islam yang sejati adalah semangat untuk mewujudkan keadilan politik dan kemanusiaan di atas muka bumi. Padahal, semakin modern, semakin baik pula perwujudan dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Spirit Islam inilah yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat keadilan dan kemanusiaan menjadi kunci penting bagi kemajuan Islam. Sehingga, agenda yang mendesak untuk dilakukan oleh umat Islam bukan formalisasi syariat atau menegakkan khilafah, melainkan memastikan agar nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan sebagai spirit utama Islam itu dapat terwujud dengan baik. Sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat harus diarahkan ke terwujudnya keadilan dan kemanusiaan universal.

Ketiga, pengalaman sekularisasi di Barat mirip dengan Islam. Sekularisasi di Barat disebabkan oleh pengalaman inkuisisi gereja. Saat itu, gereja menguasai kehidupan masyarakat Barat yang penuh dengan kegelapan.

Karena trauma dengan masa itu, Barat kemudian mengubah haluan menjadi peradaban yang sekular liberal. Kendati tidak melahirkan peradaban sekular liberal, sejatinya Islam memiliki pengalaman yang hampir sama.

Jika sebagian orang meromantisasi masa lalu, Fouda justru mempertanyakannya dengan kritis. Farag Fouda menyingkap fakta-fakta sejarah penting yang tidak pernah disingkap oleh pemuja khilafah dan formalisasi syariat.

Baca Juga  Ummatan Washatan dalam Melestarikan Kemanusiaan

Sejarah masa lalu Islam itu menunjukkan bahwa Islam memiliki masalah yang sama dengan Barat, yaitu sama-sama dikuasai oleh rezim otoriter agama yang korup dan amoral. Bedanya, pencapaian ekonomi, pengaruh, dan ilmu pengetahuan Islam mampu mencapai batas-batas yang begitu jauh. Namun, model rezim yang memimpin sejatinya tidak jauh berbeda.

Maka, menurut Farag Fouda, salah jika menuduh sekularisasi itu berasal dari Barat. Menurutnya, sekularisasi berasal dari Islam itu sendiri. Berasal dari pengalaman pahit Islam dalam menjalani masa-masa dinasti yang amoral.

Pengalaman itulah yang membuat sebagian orang memilih untuk melakukan sekularisasi politik dan agama. Agar tidak terjebak dan kembali ke masa lalu yang berlumur darah.

Kabar baiknya, terutama di Indonesia, budaya sekular yang lahir berbeda dengan sekular di Barat yang menjauhkan agama dari ruang publik. Di Indonesia, agama justru menempati posisi yang begitu luhur. Ia menjadi sumber nilai dari seluruh landasan peradaban.

Agama menjadi sumber dari Pancasila dan UUD 1945. Spirit agama menjadi spirit yang mengarahkan laku kehidupan masyarakat tanpa harus diformalisasi dalam bentuk-bentuk yang sempit dan rawan disalahgunakan.

Relasi Islam dan negara yang ideal di Indonesia membuat beberapa ahli berpandangan bahwa kebangkitan Islam akan berawal dari Indonesia. Term “kebangkitan Islam” yang dimaksud di sini tentu bukan kebangkitan Islam yang dirindukan oleh para pejuang khilafah dan formalisasi syariat. Melainkan kebangkitan Islam dalam arti majunya peradaban Islam yang mampu bergumul dan berkolaborasi dengan kemajuan modernitas.

Kebangkitan itu, menurut Azyumardi Azra, mensyaratkan enam hal. Yaitu sistem politik yang stabil, ekonomi yang maju, pemahaman moderasi agama, pemikiran dan praksis Islam yang adaptif terhadap modernitas, sistem sosial budaya yang berkeadilan, serta independensi terhadap negara lain.

Baca Juga  NU dan Muhammadiyah, Penjaga Gawang Perdamaian di Indonesia
Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds