Clifford Geertz pernah mengatakan, “tanpa adanya pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia, tidak aka nada yang disebut sebagai masyarakat Islam”. Peranan madrasah sebagai institusi yang membentuk kesadaran, pola hidup dan tradisi masyarakat Islam di Indonesia masih sangat kuat sampai sekarang. Sebagai sebuah sistem pendidikan Islam di Indonesia, madrasah memiliki peran sentral dalam membentuk masa depan generasi muslim Indonesia.
Besarnya pengaruh madrasah dalam kehidupan keberagamaan Indonesia tidak terlepas dari peranan dan sumbangsih guru madrasah. Guru madrasah dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan itu tidak terlepas dari kekuasaan atau pengaruh rezim yang berkuasa saat itu.
Kuatnya perubahan sistem di madrasah tidak terlepas dari perkembangan dan dinamika sejarah madrasah itu sendiri. Madrasah yang dulu berkembang dan dirintis oleh seorang Kiai, kini mengalami pergeseran dan berubah pada kuatnya pengaruh yayasan atau lembaga atau pemerintah.
Haidar Putra Daulay dalam bukunya Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (2007) menulis, “Kemunculan Madrasah Adabiyah di Sumatra tahun 1908 dipelopori oleh Abdullah Ahmad, Syaikh M. Taib Umar mendirikan Madrasah School di Batusangkar pada tahun 1910 M, Madrasah Tawalib di Padang Panjang didirikan oleh Syaikh Abdul Karim tahun 1907 serta Madrasah Nurul Ulum di Jambi didirikan oleh H. Abdul Somad. Seperti halnya di Sumatra, di Jawa tahun 1912 muncul Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, Mualimin, Mubalighin dan Madrasah Diniyah yang digagas oleh organisasi Muhammadiyah sebagai bentuk pendidikan yang mengapresiasi sistem pendidikan Belanda. Pada tahun 1913 Al Irsyad mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Mualimin dan Tahassus.”
Pergeseran rezim kekuasaan turut serta mengubah pola pembaruan dan perkembangan madrasah termasuk dalam pembinaan dan peningkatan profesionalitas guru/ pengajarnya. Bila dulu saat sebelum kemerdekaan, madrasah didirikan oleh ulama atau Kiai yang mumpuni di kampung atau daerah.
Kiai atau ulama di daerah tersebut mengembangkan diri dengan terus mempelajari khazanah perkembangan masyarakat sekitar. Pengembangan kompetensi Kiai atau ulama juga dilakukan dengan berguru lagi kepada guru atau Kiai yang mendidik atau membimbingnya. Biasanya, mereka para guru madrasah ini berguru kepada gurunya dalam bentuk non formal.
Formalisasi
Pada masa Orde Lama, pengembangan madrasah mengalami pelembagaan. Madrasah yang dahulu tumbuh dari Kiai kampung atau ulama kampung, kini harus mengalami pelembagaan atau penataan. Guru yang dulu lebih sporadis dan tidak tersistem, kini harus turut pada penataan atau formalisasi.
Pada masa Orde Lama, fokus utama Kementrian Agama adalah terselenggaranya pendidikan agama di seluruh Indonesia. Pemerintah mendirikan Djawatan Pendidikan Agama (Japenda).
Tugas utama dari Japenda ada dua. Pertama, mendirikan sekolah untuk mencetak guru agama Islam modern di sekolah negeri. Kedua, modernisasi madrasah dengan melakukan pembaruan kurikulum dan mainstraiming mata pelajaran umum di madrasah, mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru di bidang umum (Listiana, Heni, 2019).
Peningkatan kualitas guru madrasah pada waktu itu dilandasi kebutuhan yang mendesak akan kuantitas guru agama yang masih minim. Selain itu, penyelenggaraan lembaga atau institusi pelatihan guru didasari atas kompetensi guru madrasah terhadap mata pelajaran umum.
Mulai saat itu sebenarnya sudah terjadi penyatuan antara konsep pendidikan negeri dengan pendidikan berbasis Islam. Madrasah dianggap perlu memasukan mata pelajaran umum. Di samping itu, kebutuhan guru agama yang ada di sekolah umum memerlukan perhatian.
D.P. Sati Alimin (Ed) pada Almanak Djawatan Pendidikan Agama menulis, “Kementrian Agama melalui Japenda mendidikan Sekolah Guru Agama Islam dengan tujuan; Pertama, menyiapkan guru untuk pelajaran Islam di sekolah. Kedua, untuk menyiapkan guru mata pelajaran umum di madrasah sebagai bagian dari proyek modernisasi madrasah.”
Dari informasi yang kita temukan di Djawatan Pendidikan Agama di atas, kita bisa membaca kepentingan pemerintah akan peningkatan guru madrasah atas dasar kebutuhan akan guru yang mumpuni dalam bidang agama dan bidang umum. Guru madrasah secara tidak langsung pada masa Orde Lama sudah didesain untuk menguasai dua bidang yakni agama dan umum.
Pergeseran dan Penyetaraan
Karel Steenbrink dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (1970) mencatat ada sepuluh poin yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantaradan Soegarda Poerba Kawatja sebagai Panitia Penyelidik Pengajaran tanggal 2 Juli 1946.
Ada dua poin yang penting berkaitan dengan kebijakan terhadap guru madrasah. Pertama, kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki. Kedua, pengajaran Bahasa Arab tidak dibutuhkan.
Pergeseran yang bisa kita baca dari hasil Pantiia Penyelidik Pengajaran di atas adalah pergeseran pada penentuan mutu atau kualitas madrasah. Kualitas madrasah yang semula dinilai oleh masyarakat dan juga sipil, kini berubah pada negara atau institusi kekuasaan.
Kedua, pergeseran pada materi peningkatan kualitas madrasah. Bahasa arab yang sejatinya umum dikuasai oleh para Kiai atau guru madrasah justru dihilangkan. Kita menduga kuat bahwa ini dilandasi oleh kepentingan pemerintah atau kekuasaan untuk memasukkan pelajaran umum.
Pergeseran dan perubahan pola peningkatan guru madrasah ini masih berlanjut pada tahun 1975. Yayah Choiriyah (2021) dalam publikasi artikelnya di jurnal dengan judul Sejarah Perkembangan Sistem Pendidikan Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islami mencatat pengertian madrasah adalah lembaga pendidikan yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
Pada UUD no. 4 tahun 1950 tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah pasal 10 mencatat bahwa, “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Kemenag sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar.”
Apa yang diutarakan Yayah Choiriyah semakin menjelaskan tentang penyetaraan pendidikan di lingkup agama maupun non agama. Pada tahun 1970-an atau Orde Baru, pendidikan di madrasah dianggap setara dengan pendidikan negeri atau umum. Pengelolaan dan peningkatan kualitas guru madrasah ada di bawah kewenangan Kementrian Agama.
Kualitas Guru Madrasah
Pada era reformasi hingga sekarang, peningkatan kualitas guru madrasah masih terus berjalan. Program atau proyek pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru madrasah masih terus berjalan. Peningkatan kualitas guru madrasah di tahun 2022 ini lebih menonjol dalam aspek penguasaan teknologi digital.
Semakin modern pengelolaan madrasah, peningkatan kompetensi dan kualitas guru madrasah justru semakin terjebak pada formalisasi dan administratif. Sementara kualitas kompetensi seperti penguasaan kitab, ilmu nahwu, serta pengkajian Alquran sebagaimana visi awal madrasah justru semakin hilang.
Penguasaan teknologi digital dan peningkatan kompetensi guru madrasah mestinya tidak boleh menggeser ruh atau ciri khusus guru madrasah dalam kompetensinya dalam bidang ilmu agama dan juga dalam bidang akhlak dan kepribadian.
Editor: Yusuf
*) Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru tanggal 25 November bertema “Berinovasi Mendidik Generasi” oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.