IBTimes.ID – Arabisme di Indonesia memiliki makna negatif. Ia dipahami sebagai pemahaman keagamaan yang kearab-araban. Ia juga dianggap tidak berakar pada kultur setempat. Arabisme adalah sejumlah gagasan, pemahaman, dan gerakan Islam yang menerjemahkan Islam dengan cara merujuk kepada Arab.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, istilah Arabisme mengandung banyak kekaburan. Pertama, apa yang dimaksud dengan Arab itu sendiri tidak jelas. Arab sebagai kategori budaya dan sosial politik tidak seragam. Arab memiliki banyak makna.
“Ketika disebut kearab-araban, itu Arab yang mana? Apakah Saudi, Mesir, Tunisia, Aljazair, Yaman, Yordania, atau mana? Itu semua Arab. Tapi menduga masyarakat banyak mengaitkan arabisme dengan Arab Saudi,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa Arab Saudi sebagai sebuah negara juga tidak monolitik. Belakangan, Saudi mengalami beberapa perkembangan dan perubahan yang cukup radikal.
Kedua, istilah arabisme menimbulkan masalah karena di Saudi sendiri, arabisme merupakan nama gerakan nasionalisme Arab. Tokoh-tokohnya adalah yang mendirikan Partai Ba’ath seperti Gamal Abdul Nasser.
Ketiga, istilah arabisme pernah menjadi nama bagi Gerakan Nahdlah (Kebangkitan) di akhir abad ke-19.
“Saya menduga istilah hubbul wathan minal iman itu berasal dari periode nahdlah ini. Maka istilah arabisme ini mengandung banyak ambiguitas sebenarnya. Namun secara spesifik sering diartikan seabgai ekspresi keagamaan yang orientasinya adalah Arab Saudi,” imbuh Ulil.
Ulil menyebut bahwa lawan dari arabisme adalah lokalisme. Lokalisme adalah ekspresi keagamaan yang akrab dengan kultur lokal. Dari lokalisme muncul gagasan seperti pribumisasi Islam dan Islam Nusantara.
Kedua gagasan tersebut, imbuhnya, muncul karena ada lawan yang dibayangkan, yaitu kelompok puritan yang muncul sejak tahun 1980an. Sejak menangnya Revolusi Islam Iran, muncul revivalisme Islam di semua negara Islam. Di dalam revivalisme ini muncul tren untuk memahami Islam yang murni, puritan, dan autentik. Hal ini berkebalikan dengan pemahaman keislaman yang berakar pada tradisi setempat.
“Lawan yang dibayangkan dari Islam Nusantara dan Pribumisasi Islam adalah Islam Transnasional,” tegasnya.
Sementara, kosmopolitanisme juga merupakan lawan dari arabisme. Sebagai gagasan, kosmopolitanisme menghendaki Islam yang terbuka kepada budaya dunia. Kosmopolitanisme adalah sikap terbuka kepada elemen-elemen kebudayaan yang datang dari luar Islam.
Contoh terbaik dari era klasik dalam gerakan kosmopolitanisme Islam adalah gerakan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab.
“Buya Syafii Maarif melontarkan kritik yang cukup banyak kepada kelompok arabisme ini. Tetapi Buya Syafii juga bukan sosok yang bicara banyak soal pribumisasi Islam. Buya Syafii ada di dalam kelompok kosmopolitanisme. Ia sangat ingin Islam menjadi bagian dari peradaban dunia,” ujar Ulil.
Untuk itu, imbuhnya, Alquran harus ditafsirkan ulang sebagai kitab suci yang mengandung pesan-pesan etis, bukan pesan-pesan partikular. Karena itu Buya mengkritik keras konflik Sunni VS Syiah. Melanggengkan konflik Sunni VS Syiah, bagi Buya, sama dengan merawat memori Arab lama.
Ulil menyebut bahwa tiga gagasan tersebut mewakili suatu kompetisi tentang definisi Islam. Entah arabisme, lokalisme, dan kosmopolitanisme adalah dinamika dalam masyarakat kontemporer untuk mendefinisikan apa itu Islam sebenarnya.
“Persis di sini pertempuran terjadi. Pertempuran yang terjadi di semua negara Islam adalah pertempuran mendefinisikan Islam,” imbuhnya.
Reporter: Yusuf