Falsafah

Proyek Besar Al-Jabiry Merekonstruksi Nalar Arab

8 Mins read

Mengkaji sebuah diskursus ilmu pengetahuan lebih-lebih yang berkait kelindan dengan peradaban Islam merupakan hal yang sangat menarik. Apalagi jika di dalamnya kita tidak hanya mengkaji spesifikasi ilmu itu sendiri namun juga berusaha untuk mengetahui tokoh-tokoh beserta pemikirannya yang telah memberikan konstribusi besar dalam membangun ataupun memberikan penyegaran-penyegaran ulang terhadap pemikiran dan peradaban Islam.

Salah satu tokoh progresif  muslim yang sangat urgen untuk kita bahas pada awal kajian ini adalah Muhammad Abid Al-Jabiry, seorang pemikir muslim progresif yang sangat peduli akan kemajuan dan kemunduran umat Islam tanpa menafikan tokoh yang lain.

Salah satu kelebihan Jabiry dibandingkan dengan tokoh-tokoh muslim progresif lainnya adalah kepiawaiannya dalam melihat perkembangan Islam yang terjadi dari zaman keemasan dulu hingga kini. Sehingga dia berusaha mengetahui sebab-sebab problematika yang dihadapi Islam dengan memulai dari pandangannya terhadap struktur turâts.

Sebab, menurutnya peran manuskrip Islam yang ada di dalam turâts sangatlah besar. Oleh sebab itu dia berusaha menghadirkan kembali penyegaran subtansi dari turâts tanpa menghilangkan idealisme Islam dengan cara qira’atul turâts min mandhur al-mustaqbal dan bukan membacanya dengan cara qira’atul turâts min mandhur al-turâts.

Proyek Reformulasi Nalar Arab

Secara lebih tegas di dalam karya monumentalnya Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Jabiry menyebutkan bahwa kemunduran pemikiran keagamaan dalam Islam dimulai sejak zaman kodifikasi (‘Ashr al-Tadwîn), yang mana menyebabkan munculnya penyeragaman-penyeragaman pemikiran Arab. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa peradaban dan kebudayaan bangsa Arab diibaratkan dengan kebesaran kitab turâts.

Maka, proyek Jabiry di sini adalah membuat langkah-langkah penting akan perlunya pengenalan bangunan peradaban Islam di Arab berdasarkan pemaparan, analisa, dan komentarnya terhadap kitab-kitab besar serta perbandingan antara peradaban di zaman kodifikasi dengan zaman para sahabat dulu, sehingga memunculkan pembatasan klasifikasi nalar Arab Islam.

Namun, seiring berjalannya zaman dan bertambah kompleksnya problematika yang dihadapi umat Islam umumnya dan bangsa Arab khususnya yang diakibatkan oleh penetrasi-penetrasi bangsa Eropa, maka Jabiry menilai perlu diadakan suatu rekonstruksi ulang terhadap struktur nalar Arab agar mereka dapat menandingi pengaruh kebudayaan Barat.

Ini tidak berlebihan karena Jabiry menilai bahwa peradaban Islam terbentuk di bawah bayang-bayang formulasi nalar Arab Islami. Demi mewujudkan proyek besarnya itu, Jabiry menulis sebuah buku yang berisi suatu analisa khusus sebagai upaya pengkritisan bangunan tersebut.

Sebelum kita melangkah jauh ke dalam proyek besar Jabiry, alangkah baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Jabiry dalam pengklasifikasian bangunan struktur nalar Arab Islam.

Pandangan Jabiry dalam Bangunan Struktur Nalar Arab

Pembagian struktur nalar bangsa Arab dapat diklasifikasikan menjadi tiga poin penting yang terdiri dari: Bayâni (retoris), ‘Irfâni (gnostik) dan Burhâni (demonstrative). Dari ketiga poin penting inilah maka kita dapat mengetahui sekaligus memahami formulasi bangunan pemikiran bangsa Arab. Sebagai pemahaman pertama, maka kita akan membahas terlebih  dahulu tentang definisi serta mekanisme dari ketiga struktur di atas.

Bayâni

Poin pertama yang akan kita bahas terlebih dahulu dalam tulisan ini adalah sekte Bayâni atau retoris. Yang dimaksud dengan bayani di sini adalah suatu disiplin ilmu yang berkategori epistemologi retoris, yang dalam area epistemologinya telah mengkristalisasi dan meletakkan dasar ilmu pengetahuan Arab. Sehingga terbagilah menjadi dasar-dasar dari ilmu nahwu, fiqih, ilmu kalâm dan balâghah. Munculnya sekte bayâni ini berawal dari masa kodifikasi.

Sandaran utama golongan ini berasal dari nash-nash Al-Qur’an, hadis, ijmâ dan ijtihâd.  Salah satu contohnya adalah pendapat imam Syafi’i terhadap bahasa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Syafi’i memandang bahasa Al-Qur’an tidak berhubungan dengan disiplin ilmu balaghah saja, namun juga dengan disiplin pembentukan fiqh. Strata retoris Al-Qur’an dan lainnya dalam nalar Syafi’i terbagi menjadi lima bagian:

  1. Retorik yang tidak membutuhkan penjelasan atau apa-apa yang telah diciptakan Allah dalam tekstualisasi Al-Qur’an.
  2. Retorik dari sebagian nash yang berbentuk konsensus dan membutuhkan keberadaan sunah untuk menjelaskan retorik tersebut.
  3. Retorik yang muncul secara global dan telah dijelaskan secara rinci oleh sunah.
  4. Retorik sunah yang berdiri sendiri dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memanfaatkannya, karena Allah telah mewajibkan hamba-Nya untuk selalu bersandar kepadanya.
  5. Retorik yang didasari ijtihad dan dimanfaatkan dengan cara mengqiyaskan apa-apa yang ada di Al-Qur’an dan sunah.
Baca Juga  Antropologi Agama: Pandangan Clifford Geertz (Bagian 1)
***

Dari sinilah Syafi’i mulai membangun dasar ijtihadnya dalam pengambilan hukum yang terdiri dari: kitab, sunah, qiyâs, dan ijmâ. Maka dasar-dasar itu bisa disempitkan menjadi dua garis besar: nash (yang terdiri dari Al-Qur’an dan sunah) dan Ijtihâd (terdiri dari ijtihâd individual ataupun jamâ’i). Sehingga dapat kita simpulkan bahwa retorik ilmu syariat mempunyai dua sifat:

  1. Retorik yang tidak membutuhkan penambahan-penambahan ulang seperti nashnash qath’i baik secara zhâhiriyah maupun maknanya.  
  2. Retorik yang membutuhkan suatu penjelasan lain sehingga dalam proses mentakbirannya pun membutuhkan suatu usaha keras untuk dapat menginterpretasikan makna tersebut.

Jika imam Syafi’i telah berani meloncat jauh dalam menginterpretasikan retorik yang berawal dari pengamatan parsial kemudian meluas sehingga mengalami proses generalisasi dan klasifikasi. Tidak demikian halnya dengan al-Jahizh -seorang ulama yang hidup kurang lebih 50 tahun setelah meninggalnya Imam Syafi’i-  lebih menekankan pada syarat-syarat manufaktur dari ilmu retorik sehingga nantinya akan berhubungan dengan area adabî yang terdiri atas: area syair, pidato, jurnalistik dan lain sebagainya.

Dari syarat-syarat itulah al-Jahizh memandang bahwasanya retorik tidak hanya terpaku pada paedagogis tulisan saja namun juga berhubungan dengan seni berbicara beserta syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Adapun syarat-syarat yang wajib dipenuhi itu ada lima:

  1. Ilmu retorika yang berhubungan dengan kelancaran berbicara;
  2. Ilmu retorika yang berhubungan dengan bagusnya pemilihan kata-kata;
  3. Ilmu retorika yang berhubungan dengan pembukaan tabir makna;
  4. Ilmu retorika yang berhubungan dengan balaghah;
  5. Ilmu retorika yang berhubungan dengan penguasaan bahasa atau linguistik;.

Ini senada dan seirama dengan Samuel Jhonson, pakar linguistik Barat yang mengatakan, “bahasa adalah instrumen untuk mengekspresikan ide-ide.” Selain pembahasan di atas sekte retoris juga berhubungan dengan displin ilmu lainnya.

Irfâni

Poin kedua, kita akan membahas definisi dari sekte ‘Irfâni (gnostik). Yang dimaksud dengan aliran pemikiran ‘Irfâni atau gnostik dalam bahasa Arab adalah pengetahuan. Dan telah muncul kalimat ‘Irfân di kalangan sufi yang berindikasi pada pengetahuan ataupun konsepsi yang ada di hati dalam bentuk ilham atau kasyf.

Namun definisi ini belum tersebar pemakaiannya di dalam disiplin ilmu sufistisme kecuali pada fase terakhir. Dari sinilah permulaan awal bagi kaum sufi untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh atas dasar panca indera, akal ataupun dengan kedua-duanya dan pengetahuan yang diperoleh dengan cara penyingkapan atau yang dapat dilihat secara kasat mata.

Maka dari itulah Dzû al-Nûn al-Masrî mengklasifikasikannya menjadi tiga bagian: pertama, pengetahuan tentang tauhid dan ini khusus bagi orang mukmin yang ikhlas. Kedua, pengetahuan dalil dan statemen yang dalam hal ini berhubungan erat dengan filosof, ahli balaghah dan ulama. Ketiga, pengetahuan tentang sifat-sifat wahdaniyah, ini khusus untuk para wali Allah yang dapat menyaksikan eksistensi-Nya dengan hati mereka hingga tampaklah kebenaran yang tidak bisa dilihat oleh kaum awam lainnya. Al-Qusyairy menisbatkan kepada statemen Abi Ali Al-Daqâq, “manusia adalah penguasa sebuah penukilan atau pengambil jejak dan merupakan sekolompok penguasa akal dan fikiran”. Sedangkan para syeikh-syeikh golongan sufiyah tidak termasuk dalam golongan ini, karena menurutnya apa-apa yang oleh manusia terlihat ghaib sebaliknya menurut mereka terlihat jelas. Dari sinilah al-‘Irfân merupakan konstruksi dan metode awal untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan worldview beserta sikap terhadapnya.

***

Sebelum  berpindah ke kebudayaan Arab-Islam, al-‘Irfân merupakan produk budaya timur bawah yang meliputi Mesir, Palestina dan Irak. Maka sudah seyogyanyalah tugas kita untuk mengetahui kandungan-kandungan dari al-‘Irfân sebelum memindahkannya ke dalam Islam untuk mengetahui lebih dalam fase-fase setelahnya. Di samping itu, untuk mengerti bagaimana penyempurnaan tabiat dan pengaruhnya dalam peradaban Arab-Islam, diperlukan pengemukaan analisa-analisa dasar metodenya dan penjelasan dari simbol inti peletakan dasar tersebut.

Baca Juga  Kedaulatan Bukan Tujuan, Quran Sebagai Petunjuk Hidup

Pada abad ke II dan III masehi, konsensus gereja memutuskan bahwa al-Irfân merupakan suatu pengetahuan tentang perkara-perkara agama. Dari sinilah al-’Irfâniyah atau gnostisme adalah sekelompok aliran-aliran agama yang mengibaratkan pengertian hakikat Tuhan dan perkara agama yang berasaskan pendalaman kehidupan ruhiyah dan bersandar terhadap kebijaksanaan perilaku sehingga diperolehlah pendayagunaan kekuatan dari area kehendak.

Jika dari pemaparan di atas dikatakan bahwa al-‘Irfân merupakan sebuah indikasi pada pengetahuan ataupun konsep dalam hati yang berbentuk ilham dan kasyf kemudian mulai tersebar di dalam disiplin ilmu sufistisme pada beberapa fase terakhir, maka Jabiry sendiri berpandangan bahwa aliran sufi dapat dibagi menjadi dua: tasawuf ‘amalî dan tasawuf falsafî. Perbedaan dari kedua tasawuf di atas adalah jika pada tasawuf ‘amalî masih nampak kemurniaannya seperti yang diajarkan oleh Nabi maka pada tasawuf falsafî telah banyak terkontaminasi oleh ajaran-ajaran helenisme yang merupakan akulturasi dari filsafat helenisme dan filsafat kristen sehingga sudah tidak murni lagi jika dikatakan sebagai ajaran yang berasal dari Islam.

Burhâni

Sekte ketiga, al-Burhâniyah (demonstrative) yang dalam epistemologi Arab dikenal dengan “argumen pasti dan jelas” sedangkan dalam epistemologi Eropa kalimat demonstration diambil dari bahasa latin demonstratio atau indikasi, sifat, dan penjelasan. Namun dalam epistemologi Prancis, mereka membedakan antara praktek ‘demontrer’ (mendemonstrasikan sesuatu dengan jelas dan berprinsip logis) dan ‘montrer’ (praktek yang mengarah kepada suatu indikasi tertentu).

Di dalam hubungannya dengan ilmu logika, demonstrative memiliki makna sempit yaitu metode berfikir yang memutuskan kebenaran atas sesuatu berdasarkan pengambilan konklusi dengan mengaitkan problematika-problematika yang pasti kebenarannya atau terdapat bukti atas kebenarannya. Maka secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa demonstrative adalah setiap metode berfikir yang menetapkan kebenaran atas segala sesuatu.

***

Dus, di sini kita tidak akan memakai kalimat ini secara epistemologi mantiqi dan epistemologi umum namun kita lebih menekankannya pada sebuah disiplin ilmu dengan metode khusus berpikir dan pemutusan pandangan tertentu di dunia tanpa bersandar pada pengetahuan lain selain daripada metode itu. Batasan-batasan awal dari disiplin al-burhâniyah dengan membandingan terhadap dua disiplin yang telah kita bahas sebelumnya (al-Bayâni dan al-‘Irfânî) -dalam peradaban Arab-Islam- bisa kita simpulkan sebagai berikut:

  1. Al-Bayân adalah suatu disiplin yang diambil dari nashnash, ijmâ’ dan ijtihâd yang muncul sebagai power referensi dasar yang bertujuan mengkonstruksi visualisasi intelektual sebagai bukti pengabdian kepada akidah agama Islam atau dengan bentuk yang lebih layak yaitu dengan memahaminya.
  2. Al-Irfân adalah suatu disiplin yang mengambil wilayah kasyf dan merupakan satu-satunya jalan bagi ma’rifat yang bertujuan untuk membaur dengan wihdah al-wujûd.
  3. Al-Burhân adalah suatu disiplin yang bersandar dari kemampuan manusia secara tabiatnya dari panca indera, eksperimen-eksperimen, dan pengambilan hukum secara logis

Sejarah munculnya disiplin sekte Burhâniyah telah ada jauh sebelum tiga abad silam  dari Aristoteles mencetuskannya. Ini seiringan dengan munculnya disiplin ilmu pengetahuan, ilmu filsafat, dan pemikiran Yunani. Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa pioner pertama Burhâniyah adalah Aristoteles. Seiring dengan perkembangannya itulah, maka aliran Burhâniyah ini merupakan penyebab dari archeology of knowledge dalam ilmu filsafat.

Baca Juga  Dekolonisasi Studi Agama di Akademia Barat (Bagian 2)

Dekonstruksi dan Proyek Rekonstruksi Bangunan Nalar Arab-Islam

Seandainya harus ada pembasisan dalam pembagian pemikiran Arab-Islam dari zaman kodifikasi hingga zaman ini, maka Jabiry tidak setuju jika dalam pembasisan itu hanya menggunakan pandangan sekilas saja tanpa harus melihat dari pandangan Imam Ghazali yang telah membaginya menjadi dua pandangan: pertama, awal mula munculnya kondisi dasar kronis dari peradaban Arab-Islam dan ini dinamakan dengan asas kronisisme dan kedua, munculnya kronisitas pemikiran Arab dan Islam. Kronisitas sebuah asas itu lebih berhubungan pada ketiga formulasi bangunan nalar Arab-Islam: al-Burhâniyah, al-‘Irfâniyah, dan al-Bayâniyah.

Imam Ghazali membedakan wacana gnostik menjadi dua yaitu, antara gnostik al-Umam al-Islamiyah dan gnostik al-Sûfiyah. Dalam rangka merealisasikan kemaslahatan antara gnostik kaum sufidan retorik, maka Ghazali bersandar pada tasawuf yang mengandung retorik dari segi fikih. Kemudian, Ghazali mendekontruksi tasawuf dan menjadikannya menjadi dua: tasawuf dalam ilmu muamalah dan tasawuf dalam ilmu mukasysyafah.

Tasawuf yang bernafaskan ilmu muamalah oleh Ghazali ditulis dalam karyanya “Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn” yang di dalamnya bernuansa perkara-perkara fikih seperti : penjelasan dari praktek-praktek ritual agama di antaranya taharah, sholat dan puasa sehingga dalam ilmu muamalahnya, Ghazali menjelaskan tata cara ritual tersebut secara ruhiyah, sehingga terciptalah ‘fikih ibadah jasmaniyah yang berbasis muamalah sosial dan fikih muamalah ruhiyah yang berbasis hati nurani’. Ringkasnya, Ghazali di sini menginginkan sebuah tasawuf yang tidak menerjang muamalah fikih. Namun sebaliknya, malah menjadi bumbu pelengkap dari praktek ilmu fikih tersebut. Sehingga fikih yang bernafaskan ruhiyah pun akan serupa dengan syariat yang berbasis batiniyah begitu adanya dalam tasawuf mukasysyafah yang seirama dengan akidah batiniyah.

***

Proses pendekonstruksian bangunan ini disebabkan pula oleh faktor carut marutnya pemahaman antara ketiga struktur bangunan tersebut. Maka, rekonstruksi struktur nalar Arab-Islam merupakan sebuah keniscayaaan yang harus kita aplikasikan dan salah satu caranya dengan menggunakan pendekatan kritik epistemologi yang mendekonstruksi tabir yang terselubung di dalamnya, baik itu berlandaskan dari turâts ataupun yang dinukil dari pemikiran Eropa.

Tujuannya adalah membangun pemikiran Arab yang independen sehingga kekuasaannya meliputi banyak hal. Intinya yaitu agar kita bisa mengindependenkan turâts sesuai dengan kandungan dan kebenarannya sehingga kita terlepas dari genggaman pemikiran Eropa. Bisa juga dengan menawarkan suatu bangunan atau disiplin ilmu baru yang meliputi: pemecahan problematika bahasa dan pembaruaannya, problematika syariat dan syarat-syarat pembaruaannya sepadan dengan perkembangan dan periodenya, akidah ditambah pula problematika sejarah, adab dan filsafat yang bermuatan kebesaran turâts kita.

Dari sinilah kita bisa untuk memilah-milih antara perkara-perkara yang harus kita ambil dari turâts dan mana yang harus kita tinggalkan sehingga turâts tetap elegan dengan mainstream perkembangan zaman dan era. Toh, turâts pun hanya merupakan sebuah produk kebudayaan dan pemikiran dari para ulama-ulama Arab-Islam yang pasti juga terdapat kekurangan di dalamnya? Jadi, wajar-wajar saja jika kita mengadakan rekonstruksi di dalamnya demi menghadapi modernitas zaman tanpa harus menghilangkan identitasnya sehingga kita bisa memperoleh kandungan mutiara yang tersimpan di dalam turâts.

Daftar Pustaka

Al-Jabiry, Muhammad Abid, Bunyah Aql al-Araby, Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nadhmi al-Ma’rifah Fi al-Tsafaqah al-‘Arabiyah, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, Beirut 2004. Cetakan 7.

Al-Khithaby, Abdul Al-Aziz Idris, Makalah Fi Muqoddimah Bunyah al-‘Aql al-‘Araby.

Hamameh Walid, “Mohammed Abed al-Jabiry Arab-Islamic Philosophy A Contemporary Critique Introduction”

Al-Jabiry, Muhammad Abid, “Tajdid al-Tafkir fi Masyru’al-Mutajaddid

Editor: Yahya


Avatar
2 posts

About author
Staf Pengajar LPSI UAD Anggota Bid. Dakwah PPNA
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds