Falsafah

Makna Filsafat itu Tak Hanya “Cinta Kebijaksanaan”

3 Mins read

Setiap ditanya perihal definisi filsafat, kebanyakan orang akan menjawab dengan pola dan isi yang hampir sama. Kata mereka, filsafat berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu philo dan sophia.

Philo berarti mencintai dan sophia berarti kebijaksanaan. Jadilah filsafat atau philosophia bermakna mencintai kebijaksanaan. Konon ditafsiri begitu karena filsafat berusaha untuk membantu kita membijaki kehidupan.

Kalau dipikir-pikir, definisi demikian dari filsafat sangat khas seperti cara kita membuat definisi-definisi atas terma lain pada umumnya. Biasanya kita mencari kata-kata yang menyusun suatu kata target lalu mendefinisikan masing-masing kata penyusun itu.

Maka jamaknya definisi lengkap dari kata target itu adalah penggabungan definisi dari kata-kata penyusun. Cara demikian ini sangat populer digunakan oleh para penulisbuku teksdi kampus.

Coba saja ambil sembarang buku pengantar mata kuliah. Lalu, langsung buka lembaran halaman bab pertama atau kedua. Pastilah definisi dari mata kuliah itu akan kita temukan. Perhatikan bagaimana cara pendefinisian yang digunakan. Sama dengan cara mendefinisikan filsafat bukan?

Masalah Jamak

Pola pendefinisian suatu istilah dengan cara semacam itu sah-sah saja digunakan. Namun, ada keterbatasan yang harus disadari dari cara tersebut.

Cara ini memang sangat mudah dan lekas dapat dilakukan dengan mencari makna kata di kamus. Masalahnya kadang suatu istilah tidak bermakna persis seperti penggabungan atas definisi kata-kata yang menyusun istilah itu.

Contoh sederhana yang sering saya gunakan adalah istilah ‘pedagogi kritis’. Istilah itu seharusnya merujuk kepada suatu mode of thought, suatu mazhab pendidikan bahkan suatu sub-disiplin ilmu yang komprehensif.

Sebagai mode of thought, pedagogi kritis adalah keyakinan bahwa realitas harus dipahami secara historis-dialektis. Sedangkan sebagai mazhab pendidikan, ia adalah mazhab yang humanis-emansipatoris dengan tujuan untuk transformasi sosial.

Baca Juga  Nalar Kritis Keberagamaan

Namun yang paling penting dan jarang orang pahami bahwa ia berdiri sebagai suatu sub-disiplin ilmu. Pedagogi kritis memiliki perspektif berbeda dalam memandang suatu objek kajian sekaligus ia memiliki metodologi riset yang mandiri.

Sayangnya kebanyakan awam salah memahami. Pedagogi bermakna pendekatan pendidikan bagi anak-anak. Sedangkan kritis berarti berpikir analitis dan mendalam. Jadilah pedagogi kritis didefinisikan sebagai pendekatan pembelajaran pada anak-anak agar mampu berpikir analitis.

Definisi Substantif

Untuk itu kiranya yang terbaik dalam memahami suatu istilah adalah dengan memahami substansinya. Maksudnya, kita pahami dulu hakikatnya, apa yang dikaji atau dirujuknya, lantas barulah kemudian membuat definisi atas dirinya.

Dalam bahasa lain, cara ini menuntut kita untuk terlebih dahulu menyelami sesuatu hingga ke dasar. Secara teknis dapat terlebih dahulu kita identifikasi apa-apa yang melekat dalam filsafat. Poin-poin utama seperti apa yang dilakukan saat berfilsafat, tujuannya dan apa objek-objek kajian utamanya.

Strategi definisi substantif itu sederhananya adalah strategi memproduksi suatu definisi secara deduktif. Dimana kita berangkat dari bawah, dari fenomenanya, baru kemudian membuat kesimpulan dari fenomena itu.

Cara ini menurut hemat saya akan lebih adil dan mendewasakan, serta menyelamatkan diri dari kesesatan. Dengan cara ini kita dapat memahami secara akurat sehingga dapat memperlakukan suatu hal itu dengan bijak pula.

Kembali ke Filsafat

Dengan cara tersebut coba sekarang kita definisikan filsafat. Kita temukan apa-apa yang merupakan aktivitas utama dalam filsafat, apa yang diproblematisasi, dan apa yang menjadi tujuan akhir dalam berfilsafat.

Setiap berfilsafat seseorang selalu memulai dengan pertanyaan. Pertanyaan itu biasanya sesuatu yang prinsipil. Pertanyaan semisal apakah Tuhan itu ada? Atau, apakah yang dimaksud ada? Adakah lawan dari ada yaitu ketiadaan? Bahkan kita perlu bertanya,”apakah kita sungguh-sungguh ada?”

Baca Juga  Omid Safi: Tiga Tipologi Pemikiran Arab

Siapapun dapat menjawab, diam atau sekedar mengikuti yang lain. Namun, setiap jawaban tidak kemudian kita terima begitu saja. Berfilsafat berarti menolak untuk sekedar menerima segala sesuatu sebagai ‘taken for granted’.

Untuk tujuan filsafat itu maka kita menilai kualitas dari masing-masing jawaban. Manakah yang paling benar? Apakah ia didukung bukti-bukti yang meyakinkan? Apakah ia tidak mungkin disangkal dengan jawaban lain yang lebih baik?

Lantas apakah akan kita temukan jawaban yang kita cari-cari? Bisa jadi iya, tapi seringnya tidak. Sejatinya kita tidak selalu berfilsafat untuk mendapatkan segala jawaban yang pasti-pasti. Yang seperti itu adalah tugas agama, bukan filsafat.

Maka, pada usaha yang dilakukan dalam berfilsafat adalah bertanya dan menjawab yang pada keduanya melekat suatu proses yakni berpikir. Apa-apa yang diproblematisasi adalah objek bagi pikiran. Dan pada akhirnya tujuan berfilsafat adalah untuk berpikir dengan sebenar-benarnya.

Itulah definisi subtantif atas filsafat. Ia bukan tindakan mencintai kebijaksanaan, ia adalah tindakan berpikir secara benar. Barangkali barulah dengan pikiran secara benar lantas kemudian kita akan mencapai kebijaksanaan.

Kata Rocky dan Fahrudin

Pemaknaan di atas rupa-rupanya sejalan dengan pandangan beberapa tokoh filsafat di Indonesia. Rocky Gerung memaknai filsafat tidak lagi sekedar sebagai ‘mencintai kebijaksanaan’, namun merupakan usaha melatih nalar agar dapat memproduksi kesimpulan dengan benar.

Dalam kata-kata Rocky sendiri seperti ini, “Sebetulnya filsafat bukan cinta kebijaksanaan, tapi cinta reason, cinta nalar.” Rocky kemudian menegaskan bahwa berfilsafat adalah proses mendidik diri menjadi seorang “yang jalan fikirannya tidak dibatalkan oleh fallacies”

Pengertian yang senada juga diungkapkan oleh Fahrudin Faiz. Katanya, filsafat adalah ‘suatu disiplin kajian yang mengajarkan kepada kita cara berfikir yang benar”. Maka bagi Fahrudin, adalah aneh bila ada seseorang yang membenci filsafat sementara sesungguhnya filsafat sangat dibutuhkan oleh siapapun.

Baca Juga  Harun Nasution: Titik Temu antara Filsafat dan Tasawuf

Berfilsafat di Era Informasi

Memaknai filsafat sebagai mencintai kebijaksanaan merupakan sesuatu yang tidak lagi relevan dengan zaman ini. Jangankan untuk mencintai, menemukan mana yang sejatinya merupakan kebijaksanaan saja hampir mustahil dilakukan.

Kemustahilan itu bukan berarti kebijaksanaan tidaklah ada. Namun, perilaku bermedsos manusia modern yang tidak santun ditambah kemampuan bernalar yang kronis telah mengubur kemungkinan memproduksi kebijaksanaan itu. Mudah sekali suatu silang pendapat kemudian berimbas ke ranah hukum.

Untuk itu berfilsafat perlu diredefinisi dan direedukasi kepada khalayak. Pengertian baru mengenai berpikir dengan benar akan menyadarkan bahwa bukan karena sesuatu itu kamu yakini lantas ia menjadi benar. Melainkan saat ia telah dinilai benar oleh nalar yang berpijak pada logika.

Ke depan tidak lagi persilatan digital berujung bui. Karena setiap orang sadar bahwa yang dikritik bukanlah pribadinya, melainkan argumen dan penalarannya.

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *