Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ atau yang sering kita kenal dengan nama Aisyah Bintu Syathi’ lahir pada tanggal 6 November 1913 di wilayah sebalah barat Delta Nil tepatnya perkampungan Dumyat Mesir. Beliau lahir dari pasangan Syeikh Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasir. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat dan tergolong konservatif dan sempat beliau tidak diizinkan untuk belajar di sekolah sekuler.
Ia berasumsi bahwa seorang anak gadis yang telah menginjak masa remaja harus tinggal di rumah untuk belajar. Bintu Syathi’ hampir tidak memiliki waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya pada waktu masa kecilnya. Karena ayahnya selalu mengikutsertakan Bintu Syathi’ baik di rumah maupun di kantornya di Universitas al-Bahr untuk belajar sampingan semacam “ngaji”. Karena sering mendengar Al-Qur’an yang dibaca ayahnya dan temannya dan berkat kemampuan intelektualnya, ia mampu menghafal beberapa ayat Al-Qur’an, terutama surah-surah pendek yang sering diulang.
Pada musim panas saat ia berumur lima tahun, ia dimasukkan ke kuttab Syaikh Mursi di Shubra Bakhum, desa ayahnya. Selama setahun, ia mampu menghafal 15 juz Al-Qur’an.
Lalu, di tahun 1920, ia mempunyai keinginan untuk bersekolah formal. Tapi keinginan tersebut tidak disetujui ayahnya berlandaskan pemahamannya atas QS. Al-Ahzab: 32-34 tentang larangan perempuan pergi keluar rumah dan berhias. Namun, ibu dan kakeknya berusaha untuk meluluhkan sang ayah. Sehingga, Bintu Syathi’ diperbolehkan sekolah dengan adanya syarat tertentu.
“Kitab pertama yang menjadi perhatianku adalah Al-Qur’an, itulah inspirasi terbesar yang mendorongku mencintai ilmu dan semangat belajar mengalir dalam darahku. Ayahku seorang alim, dia yang menanamkan kecintaan pada ilmu. Tapi mengapa dia juga yang menghalangi jalanku. Maka kutabrak haluannya dan aku yang berhak menang,” tutur Bintu Syathi’ yang menjadi perempuan ketiga Mesir yang berkuliah, setelah Aminah As-Sa’id, dan Sahir Al-Qolmawi. Ia tumbuh menjadi perempuan Arab modern, rasional, berwawasan luas, berbudaya, dan berkomitmen pada nilai Islam.
Kegemarannya dalam Dunia Kepenulisan
Kecintaan Bintu Syathi’ pada dunia menulis hadir dan tumbuh saat masa sekolah menengah. Karena kakeknya waktu itu sering meminta kepadanya untuk membelikan koran Al-Ahram dan Al-Muqatam. Dari kedua koran tersebutlah kerap sang kakek menulis kritik untuk pemerintah tentang pengelolaan sungai Nil yang penuh dengan limbah sehingga mengancam kelestarian biota dan keselamatan nelayan. Kritikan tersebut bukan kakeknya yang menulis, melainkan didiktekan kepada cucunya Bintu Syathi’ untuk diketik.
Ia selalu menulis untuk dikirimkan ke beberapa majalah perempuan Mesir semasa menjadi mahasiswi. Kemudian pada tahun 1935, ia diminta untuk menjadi penulis tetap di harian terbesar Mesir, Al-Ahram.
Di samping itu, untuk menyamarkan identitasnya, ia memakai nama pena Bintu Syathi’. Artinya adalah putri pesisir atau gadis tepi sungai atau pantai, yang mengacu pada desa Dumyat, tempat air sungai Nil dan Mediterania bertemu. Kemudian ia menerbitkan novel Master of the Estate pada tahun 1942. Di dalam novel tersebut, diceritakan gadis petani korban budaya patriarki dan feodalisme.
Ia meraih gelar Lc/BA dari Universitas Fuad I Kairo dengan pencapaian nilai mumtaz di tahun 1939. Dua tahun setelahnya, telah menyelesaikan jenjang Magister dengan predikat Summa Cumlaude.
Di tahun 1950, ia meraih gelar doktor yang diujikan langsung oleh Thoha Hussein. Pada tahun 1967 pun akhirnya ia meraih gelar Profesor bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas ‘Ain Syams.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar di Universitas Qarawiyyin Maroko. Selain itu, ia mengisi kuliah tamu dan menjadi pembicara dalam dalam berbagai forum di Suriah, Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, Roma, Aljazair, New Delhi, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez, dan Khartoum.
Bintu Syathi’ telah menulis lebih dari 40 buku, ratusan artikel, cerita pendek, dan esai. Bahkan, ada yang menyebut juga bahwa Bintu Syathi’ telah menulis 60 buku. Karyanya merentang dari tema fiksi dan puisi, hingga tema sosial, sastra, dan Islam.
Sebagai pembela hak-hak perempuan, bintu Syathi menulis: The (woman) Loser, The Lost Woman, The (woman) Stranger, The Rebellious, The Dreamer, The Innocent, The Sad, How do our (male) Literary Figures View Wo-men?, The Image of Women in our Literature, We Are no more Evil than Men, dan Will a Women Become a Shaykh in al-Azhar?
Mufassir Perempuan Modern Pertama
Muhammad Abduh merupakan pelopor tafsir modern yang berupaya menggali spirit Al-Qur’an sebagia petunjuk yang sangat relavan sepanjang masa di semua tempat (shalih likulli zaman wa makan).
Kemudian gagasannya direspon oleh Amin Al-Khuli dengan mengembangkan tafsir sastrawi, yang didasari prinsip tajdid (awwal al-tajdid qatl al-qadim fahman).
Al-Khuli telah memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab paling terbesar (al-kitab al-arabiyah al-akbar), dengan bahasa Arab yang dijadikan sebagai kode semantik dalam penyampaian pesan.
Al-Khuli menawarkan beberapa metode kajian sastra untuk menggali makna Al-Qur’an, yaitu: metode kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji) dan kritik intrinsik (al-naqd al-dakhili).
Kritik ekstrinsik digunakan untuk menggali aspek luar dari munculnya sebuah karya, mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi, politik. Sedangkan Kkritik intrinsik digunakan untuk mengkaji aspek kebahasaan.
Sejak pertemuannya dengan Al-Khuli, ketertarikannya terhadap kajian Al-Qur’an pun dimulai. Al-Khuli merupakan seorang dosen yang menjadi suaminya. Sekitar tahun 1960-an, Al-Khuli menghembuskan nafas terakhirnya.
Dalam suasana hati yang sangat duka, Bintu Syathi’ menulis sebuah novel otobiografi berjudul, ‘Ala al-Jisr. Kata al-Jisr mempunyai arti jembatan, dari namanya ini menunjukkan bahwa cinta mereka bagaikan jembatan antara gadis kampung dengan seorang pemikir besar.
Novel ini menceritakan alur pertemuannya dengan Al-Khuli di kuliah tingkat II. Pada saat itu, kata Bintu Syathi’, “Seorang dosen gagah dan berwibawa memasuki kelas kami. Ia menyampaikan salam dan berkenalan, lalu langsung membicarakan rencana perkuliahan. Ia mengampu mata kuliah UlumulQuran. Kami diberi kebebasan memilih tema pembahasan untuk dipresentasikan.”
Kata Bintu Syathi’, “Dengan semangat, aku menjadi mahasiswa pertama yang mengacungkan tangan dan menawarkan diri menjadi pembahas pertama tentang Nuzulul Quran.” Sang dosen bertanya, “Berapa lama waktu yang kamu butuh kan untuk menyiapkan materi?” Bintu Syathi’ menjawab, “Bagi saya, cukup sehari.” Sang dosen memintanya realistis tentang tenggat waktu.
***
“Apakah cukup saya merujuk pada kitab Al-Burhan karya Badr Al-Zarkasyi, kitab Al-Itqan dan Al-Lubab karya Jalal Al-Suyuthi, serta Sirah Al-Hasyimiyah, Thabaqat Ibnu Sa’d, dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari?” Pertanyaan ini dijawab oleh Al-Khuli, “Cukup salah satu dari kitab yang kamu sebutkan itu jika kamu mampu memahaminya dengan baik.” Bintu Syathi’ berhasil membuktikan kecerdasan dan keuletannya.
Pasangan Al-Khuli dan Bintu Syathi’ mendedikasikan diri dalam pengembangan ilmu, terutama kajian ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bintu Syathi’ menulis tujuh karya tentang Al-Qur’an: Al-Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Jilid 1 dan 2; Kitabuna Al-Akbar; Maqal fi Al-Insan, Dirasah Qur’aniyah; Al-Qur’an wa Al-Tafsir Al-‘Asriy; Al-I’jaz Al-Bayani li al-Qur’an; Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, dan Dirasah Qur’aniyah.
Bintu Syathi menghempuskan nafas terakhirnya pada hari selasa, 1 Desember 1998. Saat itu ia berusia 85 tahun, karena penyakit yang alaminya kambuh secara mendadak yaitu serangan jantung. Meskipun Bintu Syathi’ telah meninggal namun namanya selalu hidup dan dikenang oleh banyak orang karena ia telah memberikan sumbangsih untuk kemajuan ilmu-ilmu Islam di bidang Tafsir. Wa Allahu A’lam bis Shawab.
Editor: Yahya