Review

Kenapa Bangsa Arab Bisa Terpuruk?

4 Mins read

Kabar keterpurukan bangsa Arab, sejak pasca perang dunia kedua, menyesaki kanal banyak media Islam dan non-Islam. Sebab itulah, para cendekiawan Arab dan Muslim, dimanapun berada, juga ikut angkat bicara terkait isu kemundurannya. Lebih-lebih karena Arab merupakan mazhab geografis yang dipercaya dan diyakini bagi muslim di seluruh dunia.

Keterpurukan bangsa Arab semakin menemukan momentumnya, yakni ketika meledaknya musim Semi Arab pada 2011, atau lebih dikenal dengan sebutan Arab Spring, yang berlanjut hingga 2019. Sejak Arab Spring itulah perang saudara, krisis politik, pengangguran, dan krisis identitas menghantui bangsa Arab hingga saat ini.

Dampak Arab Spring 2011-2019 tidak hanya membuat gemuruh massa yang berdemonstrasi atas kegagalan bangsanya. Melainkan juga pada massa non-Arab yang memiliki pertalian keyakinan seperti masyarakat Indonesia, yang menganggap Arab sebagai tempat suci—tempat para nabi dan Islam lahir—yang pernah berjaya pada sebelum abad ke-14.

Sebagai basis informasi awal tentang kegagalan bangsa Arab, maka buku “Mengapa Bangsa Arab Terpuruk” karya Musthafa Abd Rahman ini adalah jawabannya. Sekurang-kurangnya adalah jawaban ringkas dari salah satu pertanyaan: kenapa bangsa Arab yang berdiri ratusan tahun bisa terpuruk? Mengapa bangsa Arab yang terpuruk, bukan negara lain?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan substansial terkait kemunduran bangsa Arab, tidaklah cukup hanya dengan mengacu pada buku “Mengapa Bangsa Arab Terpuruk”. Meski harus diakui, karena pengalaman menjadi wartawan Kompas, khususnya meliput berita Timur Tengah dan pengalaman hidup di Arab sejak menjadi mahasiswa hingga saat ini, Musthafa Abd Rahman berhasil menyajikan informasi utuh dan menarik.

Mencari Udang di Balik Batu

Banyak spekulasi terkait kegagalan bangsa Arab. Salah satunya Muhammad Samsul Hadi, yang memberi pengantar bukunya Musthafa Abd Rahman ini, dengan mengutip beberapa pendapat Ibnu Khaldun (1332-1406 M), dari kitab fenomenalnya: Muqaddimah. Dijelaskan bahwa bangsa Arab “dengan beberapa pengecualian kecil, sebagian besar sarjana muslim, baik di bidang ilmu isyarat agama maupun ilmu non-agama, adalah orang non-Arab (‘ajam).”

Baca Juga  Abdul Munip: Lima Motif Penerjemahan Buku Bahasa Arab

Selanjutnya, Ibnu Khaldun menjelaskan secara gamblang bahwa orang-orang Arab menganggap bahwa “menjadi sarjana adalah pekerjaan hina”. Seterusnya banyak gambaran karakter orang Arab yang berkonotasi negatif dengan berdasarkan pengamatan Ibnu Khaldun. Namun, pengamatannya tidak terlepas dari pola hidup kebaduian orang Arab; pola hidup yang tidak mengenal pengajaran dan penulisan (halaman, IX).

Dari dua deskripsi orang Arab yang dikutip di atas, setidaknya menjadi salah satu alasan atas kemunduran bangsa Arab. Meski alasan-alasan tersebut bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang menutup kemungkinan deskripsi yang lain.

Pengakuan Philip K. Hitti, salah satu professor di Universitas Princeton dan Harvard, bahwa bangsa Arab pada masa kebangkitannya bukan hanya menjadi penguasa wilayah, yang membentang dari Pantai Atlantik hingga perbatasan China. Mereka juga pembangun peradaban: “Tidak ada satu pun bangsa pada abad pertengahan yang memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab (The History of the Arab).”

***

Salah satu alasan yang lain, yang juga cukup relevan untuk diketahui adalah gambaran Azyumardi Azra, dalam pengantarnya yang bertajuk “Tragedi Dunia Arab.” Ia menjelaskan salah satu penyebab kegagalan dunia Arab adalah karena kontestasi sektarianisme religio-politik di antara kelompok-kelompok radikal di kalangan suni dan syiah (halaman, XIV). Kontestasi yang berujung kekerasan kedua kelompok inilah yang merambat ke daerah-daerah Arab: Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Aljazair, Sudah, Irak, dan Libanon.

Dalam buku “Mengapa Bangsa Arab Terpuruk” alasan-alasan kegagalan Bangsa Arab dibingkai secara gradual dari satu periode ke periode berikutnya. Fenomena yang terkait dengan negara dan bangsa lain juga tidak luput dihadirkan. Hal inilah yang membuat buku Musthafa Abd Rahman semakin layak untuk dibaca terkait kegagalan bangsa Arab.

Baca Juga  Cerita untuk Kalian yang Malu Menemui Psikiater

Dimulai dengan periode modern pertama, sekitar 1940-1950-an, bangsa Arab merasa ada konspirasi besar yang menghambat kemajuannya. Hal ini ditandai dengan lahirnya Israel pada 1948, tidak selesainya masalah Sahara Barat, hingga kekalahan dalam perang melawan Israel pada 1948.

Periode modern kedua, 1960-an, di bawah kepemimpinan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, bangsa Arab menyebarkan nasionalisme. Namun sayang sekali, seruan itu tidak menuai hasil, bahkan mengantar bangsa Arab kalah lagi dalam perang melawan Israel pada 1967. Gerakan “nasionalisme” Arab tersebut pada akhirnya terkubur berbarengan dengan wafatnya Presiden Gamal Abdel Nasser, 1970 (halaman, 9).

Untuk mengetahui alasan-alasan kegagalan Bangsa Arab di periode-periode berikutnya, kiranya tidak bisa dijelaskan satu persatu. Di sisi lain, karena ada fenomena yang tidak kalah penting di ujung kegagalan bangsa Arab hingga saat ini, yakni muncul radikalisme agama. Ini ditandai dengan dengan munculnya Tanzim al Qaeda, Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), dan beberapa kelompok-kelompok radikal lainnya (halaman, 11).

Dengan lahirnya kelompok-kelompok radikal inilah yang membuat bangsa Arab saat ini benar-benar krisis. Nyaris seluruh bangsa Arab krisis identitas, krisis politik, krisis ekonomi, hingga terjadi perang saudara. Di sisi lain, sebab radikalisme yang muncul, membuat Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin dianggap sebagai agama yang sebaliknya: membunuh, teroris, perang, dan kemiskinan.

Masa Depan dalam Bayang-Bayang

Dengan wajah Islam dan Muslim yang samar dan tampak kusam, buku “Mengapa Bangsa Arab Terpuruk” masih membayangkan masa depan. Masa depan yang lebih cerah bagi bangsa Arab bila memperbarui pemikiran akan kebangsaan, kenegaraan, dan religiusitas. Laiknya Tunisia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Ketiga negara ini lebih tampak berhasil hingga terbukti menjadi anggota dewan eksekutif UNESCO.

Baca Juga  Apakah Semua Lafadz dalam Al-Qur’an itu Berbahasa Arab?

Banyak sekali para cerdik-cendekiawan yang mendukung pembaruan pemikiran seperti Rifa’a al-Tahtawi, Muhammad Abduh, Taha Hussein, Zaki Naguib Mahmoud—dan banyak lagi—yang berharap Bangsa Arab menjadi bagian sejarah dunia dengan kemajuannya. Bukan sebaliknya, yakni sebagai lumbung kelompok radikal yang kemudian menyebar dan menghancurkan kedamaian.

Musthafa Abd Rahman banyak menawarkan opsi untuk kemajuan Bangsa Arab. Dengan mengutip para cendekiawan, ia sejatinya sangat mendorong kemajuan bangsa Arab. Maka tidak heran bila ia menawarkan beberapa solusi seperti sub bab “Bangsa Arab, Belajar kepada Asia,” “Keharusan Bangsa Arab Belajar Bahasa Mandarin,” hingga dorongan untuk pembangunan Sykes-Picot (1916) di Kawasan Timur Tengah, dan rekonsiliasi Westphalia Arab.

Dengan opsi-opsi tersebut, setidaknya masa depan Bangsa Arab masih dalam bayang-bayang. Tidak ada kepastian. Selanjutnya adalah dukungan dari Indonesia, dan negara-negara Islam yang lain untuk ikut andil dalam mengembalikan kejayaan bangsa Arab seperti sebelum abad ke-14.

Maka menjadi keharusan bagi pemerintah Indonesia untuk membantu bangsa Arab, setidaknya tidak seperti yang sebelum-sebelumnya: hanya menghimbau PBB untuk menengahi konflik dan kekerasan di berbagai negara bangsa Arab. Bangsa Arab butuh pemerintah Indonesia tidak sekadar menghimbau PBB, lebih dari itu, adalah keterlibatan secara langsung untuk menengahi konflik bangsa Arab yang terjadi saat ini.

Judul: Mengapa Bangsa Arab Terpuruk
Penulis: Musthafa Abd Rahman
Penerbit: Kompas
Tebal: xii+226 hlm

Editor: Yahya FR

M Muafiqul Khalid
4 posts

About author
Mahasiswa S2 Islamic Studies di Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds