Perkembangan dunia dan teknologi tidak akan pernah bisa dielakkan. Ledakan ilmu pengetahuan yang memproduksi temuan-temuan baru hampir mengeliminasi talenta-talenta alamiah manusia. Selain itu, perkembangan di era modernitas memberikan dampak yang cukup signifikan bagi agama dalam perannya. Terlebih muncul beberapa istilah, seperti sekulerisasi, yang secara frontal memisahkan agama dan urusan dunia. Hal itu sangat berpengaruh dalam respon masyarakat terhadap agama, terlebih khusus Islam.
Jose Casanova, seorang sosiolog ternama, memberikan klaimnya terhadap modernitas dewasa ini. Casanova menunjukkan kegelisahannya dengan memaparkan beberapa gagasan yang ia kodifikasikan. Untuk mengetahui penjelasan yang lebih lanjut, mari kita simak..
Sekilas Tentang Jose Casanova
Cassonova merupakan sosiolog berkebangsaan Spanyol, yang lahir pada tahun 1951. Ia adalah seorang professor di Universitas Georgetown dan rekan senior di Berkley Center for Religion, Peace, dan World Affairs. Cassanova menyandang beberapa gelar akademik, diantaranya adalah Bachelor of Arts dalam bidang Filsafat Seminario Metropolitano, Master of Arts dari Universitiy of Innsbruck dalam bidang teologi, dan gelar Doctor of Philosophy dalam bidang sosiologi dari New School for Social Research.
Salah satu tesisnya yang fenomenal adalah Public Religion in the Modern World, yang fokus kajiannya pada sekulerisasi di berbagai belahan dunia. Salah satu kegelisahan yang terdapat dalam tesisnya adalah kecenderungan menurunnya peran agama dalam ranah publik. Casanova membahasakan kecemasannya tersebut dengan privatisasi agama atau domestifikasi. Hal itu membuat agama ditenggelamkan oleh euphoria duniawi seperti politik, sosial, dan lainnya. Itu merupakan salah satu dari proposisi Casanova (Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern, 87).
Sekulerisasi Agama Menurut Cassanova
Transisi dunia dari modern ke post-modern sudah terjadi dan membawa beberapa warna baru dalam kancah dunia, salah satunya yang terjadi dengan peran agama. Cassanova berargumen bahwa sekulerisasi merujuk pada relokasi manusia, benda, fungsi, dan makna dari ruang yang bernilai spiritual berubah kepada makna sekuler.
Tesis Public Religion in the Modern World, menglasifikasikan sekulerisasi pada tiga proposisi, yaitu menurunnya kepercayaan dan praktik keagamaan, diferensiasi ranah agama dan ranah sekuler, dan marginalisasi agama ke dalam ruang privat. Kendati demikian, dari ketiga proposisi tersebut, Casanova tidak meyakini keseluruhan argumennya begitu saja. Ia hanya memberi pernyataan secara argumentatif dan kritis kepada yang ke dua, yaitu diferensiasi. Agama seolah tidak memiliki peran signifikan dalam berbagai urusan sekuler seperti politik, hukum, sosial, moral dan lainnya. Namun, pada perkembanganya, Casanova akan memberikan tanggapan yang lebih valid perihal premis tersebut (Jose Cassanova, Public Religion, 211).
Deprivatisasi Agama dan Modernitas
Walaupun judul besar pemikiran Casanova adalah sekulerisme, tapi ia tidak mendiskriminasi publik dalam proses berkeagamaan. Bahkan ia mengatakan, hilangnya agama dalam urusan publik hanyalah mitos. Itu menandakan bahwa Cassaonova tidak mengklaim keterasingan agama secara universal. Dalam gagasannya, ia menyebutkan yang dimaksudkan dengan keterasingan agama adalah strukturisasi sistem yang membatasi hubungan individu dengan Tuhan. Itulah yang menjadi gagasan terbesar dari Jose Casanova.
Meskipun agama tidak hilang dari ranah publik, Casanova mengemukakan kekhawatirannya terhadap personal agama yang ada. Keterhubungan agama dengan dunia politik berpotensi terpolitisasinya agama. Atau, konflik-konflik yang diatasnamakan agama sehingga agama terkesan menjadi ‘kambing hitam’. Padahal, secara hakikat fungsi utama agama adalah sebagai penengah dari segala konflik yang ada di masyarakat.
Maka dari itu, Casanova ingin mewujudkan agama yang bercitra luas, komprehensif, dan kredibel dalam masyarakat. Dalam teorinya, deprivatisasi agama, ia menyebutkan tiga wujud utama dari agama. Pertama, memobilisasi agama untuk mempertahankan tradisi keagamaan. Kedua, memodernisasi agama sehingga bisa bersaing dengan arus peradaban. Ketiga, deprivatisasi agama, yaitu untuk merebut nilai-nilai keagamaan yang dilangkahi oleh nilai-nilai individualistis dari paham liberal (R.F Bhani Viktorahadi, Kadar Pendidikan Multikurlutral, 126-127).
Islam Menjawab Persoalan ‘Privatisasi Agama’
Agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai humanis, politis, demokratis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, hal itu juga yang diinternalisasikan dalam nilai ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dengan Al-Qur’an, yang telah melalui interpretasi sistematis, analitis, kritis, dan argumentatif, maka layak untuk menjadi pedoman hidup manusia sepanjang masa. Cita-cita besar Islam adalah menciptakan kesejahteraan di antara masyarakat sosial. Dalam surat QS. Ruum (30) ayat 30, terkonstekstualisasi makna bahwa Islam harus dibangun dengan pondasi kokoh yang mengatasnamakan persaudaraan (Muhammad Nur Jamaluddin, Wujud Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin, 274).
Privatisasi agama, teori yang dimunculkan oleh Jose Casanova, disebabkan oleh suatu agama yang menolak adanya modernitas dalam paham maupun praktiknya. Dalam artian, agama akan mengalami stagnansi jika anti dan tidak mengimbangi arus modernitas yang ada. Islam memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu modernisasi sebagaimana yang dituangkan Jose Casanova dalam perspektifnya.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa modernisasi mengancam religiusitas seseorang. Lebih-lebih jika dicampuri dengan industrialisasi. Akan tetapi Nurcholis Madjid, seorang cendekiawan sekaligus tokoh sosiolog Indonesia, memberikan titik terang dalam dialektika tersebut. Bagi Cak Nur, modernisasi adalah rasionalisasi. Sedangkan rasionalisasi tidak bisa disetarakan dengan rasionalisme. Hal itu menjelaskan bahwa seorang muslim perlu memiliki ketajaman dan komprehensif dalam berdiskusi untuk menemukan kebenaran (Nurcholis Madjid, Islam, Kemordenan, dan Keindonesiaan, 193).
Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alaminn
Jose Casanova cukup memberikan antusias bagi para pemikir saat itu dan setelahnya. Di samping Casanova, juga ditemukan banyak tokoh yang memiliki esensi pemikiran yang sama seperti Muhammad Arkoun, Muhammad Syahrur, dan masih banyak lagi. Istilah rahmatan lil ‘Alamiin, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. KH. Abdul Muchith Muzadi, menyampaikan bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil ‘aalamiin, dengan konsep yang holistik dan komprehensif.
Islam memberikan ajaran universal dan tidak tergerus zaman. Akan tetapi, tidak semua penganut Islam (muslim) mencitrakan hal tersebut. Bahkan, Muhammad Abduh mengatakan “Al-Isla>m mahju>bu>n bu al-Muslimi>n”, yang artinya “Ketinggian ajaran agama Islam terhalangi oleh perilaku kaum muslim itu sendiri” begitu pula yang disampaikan oleh Sir Muhammad Abduh, bahwa keadaan umat Muslim yang dianggap mundur ini bukanlah hasil dari ajarannya, melainkan pemahaman kaum muslim itu sendiri yang berasal dari kejumudan dan bertolak dari sumber aslinya (Imam Munawwir, Salah Paham Terhadap Agama, 145).
Untuk itu, Islam dituntut untuk mampu bersaing dengan gejolak peradaban yang melambung tinggi dari segala aspek kehidupan. Karena pada hakikatnya, secara fungsional Islam turun sebagai pedoman hidup agar para manusia tidak jauh dari titah Tuhannya.
Editor: Soleh