Perspektif

Kristen Mesir: Mereka Bersorban, Bertasbih, dan Berjubah

3 Mins read

Tulisan ini berawal dari perjalanan penulis saat megunjungi kota lama di Kairo bernama Fushtat. Kota yang pernah menjadi ibukota dibawah aturan Islam untuk wilayah Mesir yang dimulai pada tahun 641 M. Kota ini menjadi pusat kehidupan masyarakat dan  seperti kota pada umumnya di Mesir, ia terletak di pinggiran sungai Nil. Istimewanya, kota tersebut menyimpan beberapa peninggalan masa lalu, dan salah satu yang penulis kunjungi adalah tempat bernama “Al-Majma’ al-Adyan” atau jika diterjemahkan berarti “Kumpulan agama-agama”.

Di kawasan tersebut terdapat tiga rumah ibadah Abrahamic Faith yang didirikan berdampingan, ada sinagog rumah ibadah agama Yahudi, ada juga gereja ortodoks untuk ibadah masihiyyin (Orang-orang Kristen), serta ada masjid amr ibn ash sebagai rumah ibadah umat Islam. Ketiga rumah ibadah tersebut merupakan representasi agama Abrahamic yang muncul di kawasan Timur Tengah dan dipeluk oleh mayoritas penduduknya.

Kisah ini merupakan ketakjuban penulis saat melakukan kunjungan atau rihlah, ada hal luar biasa yang dirasakan saat memasuki kawasan tersebut. Terkhusus saat memasuki wilayah gereja ortodoks, sebagai aliran yang ada dalam Kekristenan. Sebelum memasuki gereja, penulis mengikuti beberapa rombongan masihiyyin saat rihlah tersebut. Penulis dibuat kaget, ternyata mereka berjalan ke arah sebuah makam yang bernama “Muallim Ibrahim”, nama yang sangat islami. Sempat bingung, saat melihat sebuah foto berukuran besar dipajang di sekitar makam “Muallim Ibrahim” digambarkan sebagai sosok yang gagah, berjanggut, menggunakan sorban di kepalanya, serta tak lupa membawa tasbih di tangan kanannya.

Islam yang penulis pahami sejak dini dengan simbol-simbol seperti tasbih, janggut, sajadah, jubah dan lain-lain ternyata juga sama digunakan oleh orang kristen ortodoks Mesir. Lantas, apakah benar semua simbol itu adalah wujud Islam? Atau kita yang salah paham membedakan Islam dan Arab?

Baca Juga  Al-Yusr sebagai Hakikat Prinsip Moderasi Beragama

Islam dan Arab

Islam adalah agama yang suci dan dipercaya sebagai ajaran yang berasal dari dzat yang adikodrati atau sang maha. Dzat yang tak dapat dijangkau oleh indera manusia, dan hanya bisa dirasa kedekatannya dalam jiwa pemeluknya. Begitulah Tuhan dalam ajaran agama Islam, dia suci bahkan tidak dapat dibendakan.

Namun, untuk mendekati kehidupan manusia, Allah Swt menggunakan cara yang tidak melebihi kemampuan manusia. Bukankah Allah Swt pernah menampakkan dirinya langsung di hadapan Nabi Musa? Namun justru nabi Musa langsung pingsan karena tak mampu untuk bertemu langsung dengannya? Allah Swt tidak enggan untuk menampakkan dirinya langsung, namun manusia yang belum mampu untuk menerimanya. Cukuplah dengan ciptaannya sebagai tanda untuk berkomunikasi antara Dia dan hamba-Nya. Sebagaimana dalam hadist terkenal “ Tafakkaru fi Khalqillah, Wala Tafakkaru Fi Dzatillah”.

Arab merupakan sebuah kebudayaan yang Allah Swt pilih untuk mendekat dengan manusia, dengan kebudayaan arab itulah manusia dapat memahami apa yang sebetulnya Allah Swt inginkan selama hidup di dunia. Penggunaan bahasa Arab dalam kitab suci merupakan cara Allah Swt untuk berkomunikasi dengan manusia.

Arab tetaplah menjadi sebuah budaya sebagaimana dia dijalankan oleh orang Arab, maka saat Allah Swt menurunkan syariatnya kepada seorang Nabi yang berasal dari Arab. Budaya orang Arab akan ikut terseret sebagai cara untuk mendekati kehidupan manusia. Semisal dalam pemberian salam, Islam terseret menggunakan kata “Assalamualaikum” sebagai produk kebudayaan Arab, karena pengucapan kata salam tersebut ternyata juga digunakan oleh umat Kristen dan Yahudi yang ada di Arab.

Arab Tak Selalu Islam

Sebagai umat Islam non-Arab, kegagapan dalam menangkap makna Islam dan Arab sering kali terjadi. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebagai seorang muslim Asia Tenggara, kita memiliki kebudayaan khas kita sendiri. Sehingga ada dua keterasingan yang dialami, yaitu keterasingan ajaran dan juga keterasingan kebudayaan. Maka sebagai seorang muslim non-Arab, sikap kehati-hatian harus dikedepankan, karena sejatinya dua hal tersebut saling berkelindan satu sama lain.

Baca Juga  Fikih Ekologi Tak Kalah Penting dari Fikih Ibadah

Salah satu yang umum terjadi adalah anggapan adanya pakaian sunnah, sehingga pakaian yang lain dianggap tidak sunnah. Dalam hal ini, kita sebagai umat muslim benar-benar harus memilah mana yang sebetulnya nilai ajaran Islam dan mana yang hanya menjadi sebuah wasilah Allah Swt untuk berkomunikasi dengan hamba-Nya. Apakah Allah Swt hendak membuat semua umat manusia berpakaian jubah? Saya pikir Allah Swt tidak berkehendak demikian, bahkan Allah Swt berfirman tentang jaminan akan keragaman umat manusia dalam surat al-Hujurat ayat 13.

Sebagaimana seorang “Muallim Ibrahim” Kristen-Arab yang tetap menggunakan identitas kearabannya meski dia seorang penganut Kristen ortodoks. Kita sebagai muslim non-Arab juga dapat mempertahankan kebudayaan keindonesiaan kita dan tetap mengamalkan nilai-nilai yang telah Islam ajarkan.

Hal itu yang diajarkan oleh para ulama kita saat menyebarkan agama Islam dengan tidak membuang secara keseluruhan budaya yang telah menjadi keseharian kita. Budaya merupakan produk khas manusia, yang suatu saat pasti bisa berubah, sedangkan agama yang hakiki merupakan produk Allah Swt, yang kebenarannya akan terus dicari dan diraba dalam kebudayaan yang telah ia titipkan yaitu Arab.

Editor: Soleh

Muhammad Yusmi Ridho
13 posts

About author
Mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *