Perspektif

Mengapa Kita Harus Berhenti Menalar Tuhan dengan Akal?

4 Mins read

Berusaha menalar logika Tuhan itu sia-sia. Buang-buang waktu. Tapi, itu bukan hal yang tabu. Hal itu adalah wajar, sebab manusia dan akalnya hidup dalam hakikat yang paradoksal, saling bertentangan, bertabrakan, dan hancur lebur dalam kebingungan.

Pada dasarnya, hakikat akal adalah mengetahui sesuatu secara logis (Martono & Shodiq, 2018). Logis dalam artian yang merujuk pada sebab tertentu untuk menghasilkan akibat yang paling benar dan jelas (Ofm, 1983). Misalnya, hujan yang deras, sampah yang menggenang, got yang tersumbat genangan sampah, menjadikan air tidak mengalir sehingga terjadilah banjir.

Penelusuran semacam ini merupakan hakikat akal yang akan terus berusaha mencari penyebab untuk kepuasan akal itu sendiri. Sehingga, sebuah kejadian alam atau pun kejadian sosial dapat terjelaskan dan akal menemukan makanan pemuasnya, yaitu kebenaran.

Paradoks Akal dan Kemustahilannya

Namun, hakikat akal yang selalu ingin tahu segala sesuatu terbentur paradoks dengan logika keberadaan Tuhan dan logika yang diciptakan Tuhan itu sendiri. Sejak era Socrates hingga Nietszche, Tuhan dan berbagai penalaran tentangnya tak pernah menemui titik final.

Perdebatannya terus terjadi hingga hari ini. Bahkan, berbagai pemuka agama selalu terus menggali kesia-siaan penalaran tentang Tuhan dalam koridor agama sebagai keyakinan. Dengan alasan, bahwa beragama harus berdasar pada penalaran yang sehat. Jika keberadaan Tuhan tak berhasil dibuktikan dengan akal sehat, maka tak cukup alasan untuk mempercayainya.

Angapan semacam ini adalah anggapan yang lumrah sekaligus anggapan yang gagal dalam melihat paradoks akal. Di satu sisi, akal menjadi keniscayaan atas penjelasan-penjelasan logis yang memuaskan. Tapi, di sisi lain, akal memungkinkan sesuatu menjadi mustahil untuk dijamah, bahkan oleh dirinya sendiri. Dan salah satu dari itu adalah penjelasan tentang Tuhan.

Menyikapi Konsep Ketuhanan Harusnya Sederhana

Sebenarnya, penjelasan tentang konsep Tuhan harusnya sederhana saja. Jika ada pertanyaan, mengapa kita percaya pada Tuhan? Jawab saja bahwa tak ada bukti yang cukup logis yang membuktikan bahwa Tuhan tidak ada dan membuat kita harus tidak percaya pada Tuhan.

Baca Juga  Motif Fisiologis Beragama dalam Budaya Hijrah

Jika merujuk pada sains, masih oppa terbatas. Jika kita merujuk pada teori populer Big Bang yang digaungkan Coki Pardede sebagai pondasi agnotismenya, maka dengan mudah dibantah dengan pertanyaan apa sebab sebuah gumpalan bisa ada sampai akhirnya meledak menjadi alam semesta? Apa atau siapa yang membuatnya meledak bom?

Secara logis, tidak mungkin sesuatu menjadi ada tanpa yang ada meng-adakannya. Artinya, gumpalan besar yang menyebabkan ledakan besar Big Bang adalah akibat dari sebab yang seringkali gengsi untuk diakui, yaitu Tuhan.

Diskursus dan Dalil Populer tentang Tuhan

Nietzsche dan Marx menjelaskan bahwa konsep tentang Tuhan adalah bentuk ketidakmampuan manusia menggunakan nalarnya dengan optimal (Hardiman, 2019). Ini masuk akal, tapi kurang tepat. Bukan ketidakmampuan manusia, melainkan ketidakmampuan akal atau nalar itu sendiri sebagai hakikat yang tak terbantahkan kemustahilannya.

Tuhan adalah limit batas akal dan nalar itu sendiri. Tuhan adalah kemustahilan yang hadir dari hakikat akal. Dengan kata lain, hakikat akal adalah kemustahilan menjamah Tuhan.

Misalnya, dalil agama tentang Tuhan maha segalanya, maha kuasa, dan tak satupun menyemainya merupakan narasi populer tentang Tuhan. Jika narasi itu merupakan hal yang dipercaya dan dianggap logis, maka tidak lagi ada gunanya menalar tentang eksistensi Tuhan.

Lalu, pertanyaannya adalah, bagaimana narasi Tuhan tidak ada yang bisa menyemainya bisa dianggap logis? Jawabannya jelas, bahwa jika ada yang bisa menyamai Tuhan, maka Tuhan pasti ada dua atau tiga, empat, dst. Dan ketidaktunggalan Tuhan memunculkan paradoks akal yang baru bahwa segala sesuatu tidak mungkin terjadi jika tidak ada zat Tunggal mandiri yang mengawalinya.

***

Penalaran usang, tapi masuk akal memberikan perumpamaan mengapa Tuhan harus esa dan tidak boleh ada yang menyemainya. Jika ada yang menyamainya, maka sejatinya hal itu bukanlah Tuhan. Tuhan yang palsu dan lebih dari satu, secara logis tidak mungkin menghasilkan sesuatu (alam semesta). Misalnya, ada 3(tiga) Tuhan. Sebut saja Tuhan A, B, dan C. Tuhan A hanya akan menciptakan ledakan Big Bang jika Tuhan B menyetujuinya. Tuhan B pun demikian, akan membuat ledakan Big-Bang jika Tuhan C menyetujuinya. Begitupun dengan Tuhan C, akan menyetujui ledakan Big-Bang jika Tuhan A menyetujuinya. Terus berputar siklus yang hasilnya jelas, tak pernah ada ledakan Big-Bang di alam semesta ini. Dan tak pernah ada semesta.

Baca Juga  NU, Muhammadiyah, dan Spirit Moderasi

Tapi, kenyataannya berbeda. Semestar hadir. Bagi kalangan yang setuju, ledakan Big-Bang terjadi. Maka, secara logis, ada satu zat tunggal yang independent, yang kuasa, dan yang menentukan secara pasti suatu kejadian dengan kehendaknya sendiri. Itulah Tuhan yang maha esa. Maka, dalil tentang Tuhan yang tunggal dan Tuhan yang maha kuasa, dan Tuhan yang tak boleh ada yang menyamainya menjadi kepercayaan yang dapat diterima oleh akal sehat. Beres dan final.

Peliknya Diskursus Tuhan dan Jawabannya

Namun, perjalanan diskursus penalaran tentang Tuhan tidak berhenti begitu saja. Berbagai pertanyaan banyak yang masih diperdebatkan dan tak menemui titik final yang sebenarnya inti jawabannya satu, kemustahilan akal/ keterbatasan nalar menjamah yang bukan hakikatnya.

Bagaimana tidak, jika muncul perdebatan dalam ayat-ayat suci Tuhan di kitab-kitabnya seperti, Tuhan memiliki tangan yang memeluk hambanya, Tuhan menggulung langit dan bumi di hari kiamat, Tuhan mendengar, artinya tuhan memiliki telinga seperti manusia, Tuhan murka, artinya Tuhan tidak penyabar, dst, merupakan penalaran yang terburu-buru dan mengingkari kelogisan Tuhan yang maha tak tertandingi dan tak ada yang boleh menyamainya.

Jika maksud di ayat-ayat Tuhan yang menjelaskan bahwa Tuhan murka artinya Tuhan marah seperti manusia, lalu apa bedanya Tuhan dengan manusia? Ini penalaran yang terburu-buru. Kemurkaan Tuhan barangkali bukanlah definisi dari kemurkaan yang diciptakan manusia.

Logika kemurkaan Tuhan adalah logika Tuhan sendiri yang tak terjamah oleh logika manusia. Jika mampu dijamah oleh logika manusia, maka hal itu secara langsung menjadi paradoks dan tidak memenuhi syarat keTuhanan yang logis di awal.

Berusaha Menalar Tuhan dan Kesia-siaan yang Disengaja

Intinya, menalar tentang Tuhan itu sendiri adalah menyelam dalam paradoks yang sia-sia. Paradoks antara hakikat akal yang selalu ingin tahu dengan kemustahilannya dalam menjamah yang tak memberi izin penjamahan atasnya.

Baca Juga  Menyikapi Secara Adil Pemudik di Tengah Pandemi

Jika dalil bahwa tak ada yang mampu menyamai Tuhan adalah logis, maka segala penalaran tentang Tuhan menjadi keliru, begitu pun perdebatannya. Maka dari itu, berhentilah menalar Tuhan dengan akal. Karena, akal hakikatnya adalah menalar sesuatu di luar Tuhan dan mustahil dalam menalar Tuhan.

Keniscayaan Jalaluddin Rumi

Lalu, apa hal yang mampu menjamah Tuhan? Jalaluddin Rumi dengan indah mengisahkan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad sebagai jawaban yang mengaggumkan.

Diceritakan bahwa dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Jibril menemani Nabi Muhammad hinggal langit ke 6. Saat menuju langit ke 7 tempat Tuhan berada, Jibril tak berani menemanl. Jibril tak kuasa menahan megah dan dahsyatnya Tuhan. Maka, hanya Nabi Muhammadlah yang naik ke langit ke 7, ke singgasana Allah.

Maka, Rumi menganalogikan Jibril sebagai akal yang hanya mampu menalar dan menjamah berbagai logika atas ciptaan Tuhan, tapi tidak dengan Tuhan itu sendiri. Sedangkan, Nabi Muhammad adalah gambaran dari hati yang mampu menjamah Tuhan dengan cara yang tak terpahami oleh akal.

Maka dari itu, untuk memahami Tuhan, pertajam olah rasa menggunakan hati, bukan penalaran buru-buru dengan akal yang hakikatnya adalah kemustahilan dalam menalar Tuhan. Sekian. Selamat menunaikan ibadah puasa.

Referensi

Hardiman, F. B. (2019). Pemikiran Modern. PT Kansius.

Martono, N., & Shodiq, D. (2018). Dasar-Dasar Logika. Rajawali Pers.

Ofm, A. L. (1983). Logika: Selayang Pandang. Kanisius.

Editor: Soleh

Naufalul Ihya' Ulumuddin
6 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

4 Mins read
Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
Perspektif

Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

3 Mins read
Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…
Perspektif

Jadi Suporter Timnas Memang Melelahkan, tapi Harus Jaga Akhlak Juga

3 Mins read
Sepak bola Timnas Indonesia akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian mayarakat Asia , bahkan juga dunia. Hal ini terlihat dari peningkatan peringkat Federation…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *