Falsafah

Mulyadhi Kartanegara: Menjemput Masa Depan Filsafat Islam

4 Mins read

Wacana matinya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd telah lama didengar khususnya oleh kalangan pelajar filsafat Islam. Namun, faktanya hingga hari ini diskursus filsafat Islam masih digelorakan. Mulai dari kelas perkuliahan, sudut diskusi, webinar nasional dan baru-baru ini telah diadakan konferensi internasional oleh Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (AAFI).

Untuk menjawab terhadap wacana matinya filsafat Islam, sudah banyak tokoh yang menyumbangkan pikirannya dalam menanggapi wacana tersebut. Sebut saja Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya “Filsafat Islam Dari Muasalnya Hingga Sekarang: Filsafat di Padang Nubuat” yang sudah diterjemahkan oleh Syihabul Furqon, bahwasannya filsafat Islam saat ini tetap hidup di padang Nubuat yang berkelindan dengan unsur kenabian.

Selain Seyyed Hossein Nasr, Mulyadhi Kartanegara, Guru Besar filsafat Islam turut memberikan pikirannya mengenai masa depan filsafat Islam yang kini oleh sebagian orang dianggap telah mati. Bagaimanakah isi pemikirannya? Mari kita simak.

Lahan Potensial Kajian Masa Depan Filsafat Islam

Dalam karyanya “Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam”, Mulyadhi menyebut ada beberapa aspek kajian yang dapat dikembangkan oleh filsafat Islam untuk masa yang akan datang, di antaranya: Studi Biografis, Karya-Karya Gnomologis, Sains Islam, Filsafat Perennial dan Pemikiran Pasca Ibn Rusyd (Kartanegara, 2006: 154).

Studi biografis merupakan kajian potensial bagi perkembangan filsafat Islam. Kajian tersebut disajikan melalui pengumpulan para Filsuf Muslim yang dikelompokkan berdasarkan daerah maupun alfabet. Studi biografis perlu, dikarenakan kalangan mahasiswa filsafat islam khususnya hanya mengenal filosof-filosof yang terbatas pada al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Razi dan Ibn Rusyd.

Ia membagi filosof menjadi dua; filosof besar dan filosof kecil. Tujuan dikembangkan studi biografi ini untuk mengenalkan filosof-filosof kecil yang belum banyak dikenal bahkan asing bagi mahasiswa. Para filsuf seperti Ibn Masarrah, Ibn Hazm, dan lain sebagainya sekaligus mencerminkan keluasan filosof muslim.

Baca Juga  Memahami Konsep Al-Jahl Al-Muqaddas Mohammed Arkoun

Selanjutnya mengkaji karya-karya Gnomologis yang memuat kata-kata mutiara baik dalam bentuk kisah teladan, nasihat dan dialog. Urgensi mengkaji karya hikmah tersebut ialah untuk menginspirasi filosof terus berkarya, juga untuk solusi krisis moral, mendapat teladan atau contoh konkrit untuk menjadi manusia bijaksana. Terutama untuk filsafat sendiri yang selama ini dinilai mengawang-awang idenya kemudian diturunkan menjadi ide konkrit.

Lahan kajian potensial berikutnya ialah sains Islam. Melihat belum banyaknya kajian sains Islam terutama di perguruan tinggi Islam membuat kajian tersebut menjadi perlu. Perlu diingat pada masa klasik banyak filosof yang sekaligus disebut saintis seperti seperti Ibn Sina dalam kitabnya al-Syifa’ yang memuat filsafat dan ilmu pengetahuan.

Dalam bidang ilmu pengetahuan alam, ilmuwan muslim menulis tentang ilmu hewan dan tumbuhan, antropologi, geografi, geologi dan lain sebagainya. Ada al-Jahiz, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, al-Quzwuni, Ikhwan al-Shafa dan lain sebagainya.

***

Di barat, kita mengenal Charles Darwin sebagai pencetus teori evolus. Namun perlu diketahui bahwa sebelum Darwin sudah dikemukakan teori evolusi oleh al-Jahiz, Ibn Miskawaih dan Ikhwan al-Shafa. Menurut teori evolusi ilmuwan muslim, alam mineral lebih dahulu ada, kemudian alam tumbuhan, lalu alam hewan dan terakhir alam manusia (Nasution, 1996: 35).

Produktivitas para filosof sekaligus saintis muslim sangatlah luar biasa dalam revolusi ilmiah. Maka sangat disayangkan jika kita sebagai muslim tidak mengenal bahkan tidak ingin meneruskan semangat keilmuan mereka.

Selanjutnya kajian filsafat perennial. Huxley mendefinisikan filsafat Perennial ialah metafisika yang mengenali dan mengakui adanya realitas Ilahi pada dunia dan dalam diri manusia. Artinya baik dunia maupun manusia mempunyai unsur yang mirip dengan realitas Ilahi tersebut (1996: 71).

Baca Juga  Rasionalisasi Kosmologi: Filsuf Islam Klasik vs Sains Modern

Pasalnya saat ini pandangan modern mendistorsi metafisik sehingga yang dianggap paling ilmiah ialah realitas yang terindra. Oleh sebab itu, penting mengkaji filsafat Perennial untuk mengembalikan pandangan yang utuh dari pandangan yang berat sebelah.

Terakhir filsafat pasca Ibn Rusyd. Sebenarnya banyak filosof setelah Ibn Rusyd, hanya saja kurang mendapat perhatian. Kualitasnya tidak kalah penting dari Ibn Rusyd bahkan melampauinya. Misalnya, filosof-filosof Syiah seperti Suhrawardi al-Maqtul, Nashir al-Din Thusi, Quthb al-Din Syirazi, Mir Damad, Mulla Shadra dan masih banyak filosof yang berasal dari mazhab Isfahan, Qum, dan lain sebagainya. Pemikiran-pemikiran mereka penting untuk dikembangkan pada masa kontemporer saat ini karena memiliki implikasi bagi eksistensi filsafat Islam itu sendiri.

Masa Depan Filsafat Islam

Memang kita tidak bisa memastikan soal masa depan, tapi bukan berarti kita bersikap ‘berserah’ tanpa adanya upaya sedikit pun. Maka perlu melakukan upaya-upaya yang konstruktif agar mendapat orientasi yang jelas bagaimana sebuah ilmu dapat berkembang dengan dinamis.

Kelima lahan potensial kajian filsafat Islam di atas mempunyai kepentingan untuk Filsafat Islam sendiri dan untuk merespon modernitas. Di antaranya filsafat Perennial dan sains Islam, keduanya dapat merespon dan menjawab tantangan modern yang kini menafikan fondasi metafisik sehingga pengetahuannya bersumber dari realitas fisik dan alat atau cara yang digunakan hanyalah melalui pengamatan indra.

Filsafat Perennial dapat menjawab fondasi metafisik secara filosofis dan sains Islam dengan menggambarkan bangunan keilmuan yang utuh dan integral, mulai dari ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Selain merekonstruksi filsafat Islam seperti memetakan kembali aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat Islam, perlu membangun kembali epistemologi Islam yang utuh dan mengupayakan integrasi keilmuan. Penting juga melakukan reaktualisasi tradisi filsafat Islam agar ide-ide yang berkembang dapat dimanifestasikan dalam bentuk upaya konkrit, di antaranya dengan membangun tradisi ilmiah dan mendirikan pusat kajian dan informasi filsafat Islam, setidaknya dua hal tersebut telah diupayakan oleh Mulyadhi.

Baca Juga  Ibn Arabi Bukan Penganut Panteisme

***

Tradisi ilmiah akan terbangun melalui dorongan internal dan eksternal. Dorongan internal timbul dari dalam masyarakat Islam untuk mendorong kegiatan keilmuan dan keagamaan. Sementara dorongan eksternal berasal dari luar yang dalam hal ini bantuan dana dan dukungan dari pemerintah terhadap kegiatan keilmuan.

Jika kedua dorongan tersebut dilakukan secara optimal, dapat dikatakan sebuah ilmu akan berkembang, mulai dari upaya penerjemahan karya-karya dari luar, berjalannya sistem pendidikan yang dapat memacu daya kritis murid, produktivitas dalam berkarya baik karya terjemahan, karya yang ditujukan untuk mengkritik maupun komentar atas karya lain, buku-buku dapat disalurkan dengan pesat dan aktivitas riset-riset penelitian berjalan masif (Kartanegara: 13).

Selain membangun tradisi ilmiah, perwujudan tradisi ilmiah salah satunya melalui pusat kajian dan informasi keilmuan khususnya filsafat Islam. Pada masa klasik, di Baghdad terdapat Bayt al-Hikmah kemudian Nashr al-Din Thusi membangun observatorium Maragha.

Di Indonesia sendiri, Mulyadhi bersama kawan-kawannya mendirikan CIPSI (Centre for Islamic-Philosophical Studies and Information). Mereka bergerak pada dua divisi: divisi kajian berupa penerjemahan, diskusi, penelitian serta pengajaran. Ada divisi informasi yang meliputi database, mengoleksi karya-karya klasik, dan menerbitkan karya-karya filsafat Islam (Kartanegara: 14).

Editor: Soleh

Akhmad Fawzi
11 posts

About author
UIN Jakarta/Fakultas Ushuluddin
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds