Perspektif

Apakah Penyelenggara Pemilu Juga Termasuk Jihad?

4 Mins read

Pernahkah kita berfikir bagaimana Nabi dulu berjuang menegakkan agama Islam? Bagaimana Nabi mengorbankan segalanya demi agama? Bagaimana kita umat sekarang bisa meneladani perjuangan Nabi? Tentu jawabannya amatlah variatif. Mengingat dewasa ini umat Muslim disibukkan oleh berbagai pekerjaan dan tentunya tidak ada lagi kaum kafir yang harus diperangi.

Dalam berbagai catatan sejarah Islam, perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan. Tepat dua tahun setelah Nabi hijrah dan bertepatan 13 Maret 624 M. Jika berbicara terkait jihad, maka berbagai pendapat hampir selalu mengarah ke perang Badar sebagai acuan argumen. Kemenangan kaum muslimin saat itu mengubah peta sejarah konflik antara Mu’minin dan Musyrikin, antara kebenaran dan kebatilan serta antara keikhlasan dan ketakutan.

Lalu bagaimana jihad perang badar ini jika diaktualisasikan dengan penyelenggara pemilu? Apakah para pelenyenggara pemilu yang menjalankan tugasnya dengan baik dapat juga dikonsepkan sebagai ‘jihad penyelenggara’?

Jihad ala Penyelenggara Pemilu

Menurut Syaid al-Masmawi dalam bukunya al-Jihad, makna Jihad saat ini bukan mati di jalan Allah, tapi hidup di jalan Allah. Jika seseorang sudah hidup di jalan Allah, maka besar kemungkinan matinya juga di jalan Allah Swt.

Makna ini tentunya berbeda dengan realitas sosial politik dan keagamaan pada zaman nabi. Jika dulu salah satu bentuk jihad adalah terjun ke medan perang, maka saat ini tentu jihadnya tidak lagi berperang mengangkat senjata.

Sedangkan menurut AG Prof Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, jihad bermakna mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan atau yang hampir semakna dengannya seperti mencurahkan segala yang dimilikinya seperti dalam menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 218:

اِنَّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَالَّذِيۡنَ هَاجَرُوۡا وَجَاهَدُوۡا فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِۙ اُولٰٓٮِٕكَ يَرۡجُوۡنَ رَحۡمَتَ اللّٰهِؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

***

Menjadi penyelenggara pemilu dengan niat yang lurus, penuh kesungguhan dan taat pada regulasi bisa dikategorikan jalan jihad. Penyelenggara pemilu adalah mereka yang terjun langsung mengawasi, mengawal dan menjalankan berbagai tahapan pemilu yang padat dan menguras, waktu, tenaga dan fikiran.

Baca Juga  Ayah, Kapan Aku Boleh Jihad Perang?

Selain itu, penyelenggara pemilu adalah orang-orang yang dituntut untuk selalu menjaga integritas, profesionalitas dan independen. Kerjanya pun tidak memiliki batas yaitu 24 jam. Sehingga dibutuhkan kesiapan fisik dan mental yang kuat bagi penyelenggara untuk menjalankan amanah yang dititipkan negara serta menjadi ujung tombak jalannya demokrasi.

Penyelenggara juga sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang bisa membantu perekonomian keluarga. Itulah mengapa dalam setiap perekrutan calon penyelenggara animo masyarakat beberapa tahun terakhir sangat tinggi. Meskipun aspek finansial bukanlah yang utama. Ada yang mencalonkan diri semata karena dorongan pribadi, alasan finansial rumah tangga, maupun karena sudah mumpuni dengan pengalaman kepemiluan sebelumnya.

Ketika berbicara masalah bekerja, salah satu perintah dari Allah Swt yaitu:

وَقُلِ اعۡمَلُوۡا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُوۡلُهٗ وَالۡمُؤۡمِنُوۡنَ‌ؕ وَسَتُرَدُّوۡنَ اِلٰى عٰلِمِ الۡغَيۡبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمۡ بِمَا كُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ

Artinya: “Bekerjalah, maka Allah Swt akan melihat pekerjaanmu itu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mu’min dan kamu akan dikembalikan pada-Nya, yang Mengetahui yang gaib dan nyata lalu diberitakannya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah:105)

Jika seorang penyelenggara menggunakan honornya untuk membantu kebutuhan rumah tangga, membantu pembiayaan pendidikan anak, perawatan orang tua, maka itu termasuk hal yang diajarkan Rasulullah Saw, seperti sabda beliau:

عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِهِ (رواه البخاري)

Artinya: “Dari Al-Miqdam r.a. dari Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri”. (HR. Bukhari)

Memahami Etos Kerja Penyelenggara Pemilu

Dalam ajaran Islam, etos kerja adalah manifestasi dari amal soleh dan tentunya mempunyai nilai ibadah. Etos kerja adalah salah satu bentuk kemuliaan manusia karena telah menggunakan potensi dalam diri untuk melangsungkan kehidupan.

Baca Juga  Omong Kosong Covid-19 (1): Antara Virus dan Rumah Tuhan

Menurut Gunnar Myrdal, ekonom sekaligus politikus berkebangsaan Swedia dalam bukunya yang terkenal Asian Drama: an Inquiry into the Poverty of Nations: Penyelidikan tentang Kemiskinan Bangsa (Pantheon, NY, 1968), ada beberapa kategori yang harus dimiliki agar meningkatkan etos kerja seperti penyelenggara. Di antaranya efisien, teratur, rajin, disiplin dan tepat waktu, hemat, jujur dan teliti, rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan, bersikap dinamis, pandai memanfaatkan kesempatan, energik, self confidence yang tinggi, mampu bekerja sama, punya visi dan imajinasi yang futuristik.

Kemudian Dr. Ida Budhiati, S.H, M.H (anggota DKPP periode 2012-2022) dalam salah satu webinar mengatakan bahwa menjadi penyelenggara adalah sebuah profesi. Maka penyelenggara dituntut untuk profesional dalam tugas dan tentunya independen.

Bagi penyelenggara pemilu yang paham dengan tugas dan tanggungjawabnya itu akan menunaikan dengan penuh kesadaran bahwa hal tersebut adalah amanah yang tidak boleh diingkari.

Allah Swt sangat tegas menyampaikan kepada kita semua untuk tidak bermain-main dengan sebuah amanah yang diberikan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (muhammad) dan janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui”. (QS. Al-Anfal : 27)

***

Jika memaknai ayat di atas, ‘Mengapa hanya orang yang beriman yang dilarang khianat’? Karena menjalankan amanah itu perlu kesadaran bahwa setiap pekerjaan itu berimplikasi pahala atau pun dosa di sisi-Nya.

Ketidakamanahan dalam pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu, akan berakibat lalainya seorang penyelenggara dari setiap tahapan pemilu. Di antaranya menghilangkan hak pilih, mengubah berita acara, menghilangkan dokumen ataupun tidak melakukan pengawasan secara langsung ataupun tidak langsung.

Lebih parah lagi jika ada penyelenggara yang ‘kongkalikong’ dengan bakal calon tertentu agar memperoleh kemenangan yang inkonstitusional. Sudah banyak informasi yang telah kita peroleh terkait adanya penyelelenggara yang masuk penjara karena menggadaikan netralitasnya.

Dari Jihad Badar ke Jihad Penyelenggara

Dalam buku terjemahan Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal penulis berkebangsaan Mesir, dapat kita baca bagaimana motivasi yang disampakain oleh nabi dalam menghadapi tantangan yang nyata sulitnya pada saat perang Badar. Betapa tidak kaum Muslim hanya ratusan orang melawan kafir quraisy yang jumlahnya seribuan orang.

Baca Juga  Demokrasi Feodalistik di Negeri Anarkis

Tentu penyelenggara pemilu saat ini tidak sedang berhadapan dengan Abu Jahal yang membawa seribuan pasukan. Namun ‘Abu Jahalisme’ bisa saja mempengaruhi sikap dan pemikiran seorang penyelenggara untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan regulasi.

Oleh karena itu, Nabi memberikan kekuatan mental kepada para sahabat bahwa jihad itu balasannya adalah surga. Namun harus dilalui dengan jalan yang penuh liku-liku.

“Demi Dia yang memegang hidup Muhammad. Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga”.

Para penyelenggara mesti menjadikan pesan Nabi di atas sebagai kekuatan mental dan fisik ketika melakukan berbagai tahapan pemilu yang juga tidaklah mudah. Karena dalam kenyataannya terkadang penyelenggara juga dihadapkan pada keadaan antara mempertahankan ‘idealisme’ atau ‘kompromi’ dengan realitas politik tanah air.

Jika kemudian setiap tahapan berjalan dengan sesuai regulasi, maka ini sudah menunjukkan sebuh kerja keras yang membawa kebaikan bagi stafet kepemimpinan di negeri tercinta ini.

Idealisme dan Realitas Politik

Idealisme yang dimaksud adalah penyelenggara haruslah konsisten dan beintegritas dengan tanggungnyajawabnya. Tidak ada yang boleh mempengaruhi pikiran maupun tindakannya untuk melanggar regulasi.

Realitas politik terkadang berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran penyelenggara yang mengharapkan demokrasi berjalan dengan bebas, rahasia, jujur, adil dan terbuka. Karena kenyataannya masih banyak yang mencederai jalannya tahapan pemilu, seperti politik identitas, KKN, jual beli suara ataupun tergadainya netralitas.

Selain itu, penyelenggara juga harus memaksimalkan partisipasi masyarakat, sosialisasi serta pendidikan pemilih. Ini dilakukan sebagai upaya untuk menyaring dan menjaring ‘pemilih cerdas’. Pemilih cerdas diharapkan mampu untuk memilih calon pemimpin tertentu yang bisa membawa kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat dan bukan calon yang hanya pandai bersilat lidah.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds