Perspektif

Tanggapan atas Testimoni yang Dinisbatkan kepada Hamka “Saya Kembali ke Ru’yah”

2 Mins read

    Pertama, dokumen seperti ini akan selalu muncul dalam rangka mengganggu konsolidasi organisasi. Sebelum ini warga Muhammadiyah bertahun-tahun diganggu dengan menyebarnya fotocopy Kitab Fikih jilid 3 yang dinisbatkan kepada Kyai Dahlan. Dengan kemunculan dokumen seperti itu setidaknya warga Muhammadiyah bertanya-tanya. Ternyata ada fakta seperti itu.

    Padahal jika dikatakan Muhammadiyah dicirikan hisab dan NU dicirikan rukyat, di lingkungan NU pun tidak sedikit pondok pesantren yang gunakan hisab, sementara secara organisasi menetapkan penggunaan rukyah.

    Kedua, Muhammadiyah adalah sebuah organisasi yang dalam bidang hukum Islam punya metode penemuan hukum yang disebut manhaj tarjih Muhammadiyah. Dengan kerangka epistemologi itulah para ulama Muhammadiyah berpikir, bermusyawarah dan memutuskan perkara. Dan Muhammadiyah tidak memutuskan perkara dengan merujukannya kepada tokoh-tokoh individual.

    Ketika Muhammadiyah menemukan metode hisab hakiki wujudul hilal pada tahun 1950an, hal itu merupakan keputusan organisasi, bukan keputusan pribadi. Dan Muhammadiyah tidak memutuskan perkara dengan merujukannya kepada tokoh-tokoh individual.

    Ketiga, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid terus melakukan tajdid dalam berbagai bidang. Itu dibuktikan adanya pengembangan pemikiran dalam Muhammadiyah, baik secara metodologis maupun produknya. Dulu hanya dikenalkan ijtihad bayani, qiyasi, dan istislahi. Saat ini diperluas menjadi bayani, burhani, dan irfani.

    Demikian halnya produk hukumnya. Saat ini telah disusun fikih agraria, fikih difabel, fikih perlindungan anak, fikih kebencanaan. Sebentar lagi fikih al-ma’un dan fikih perempuan. Masuk dalam pengembangan pemikiran itu adalah tentang penggunaan rukyat dan hisab.

    Dahulu, sebagaimana disebutkan HPT jilid satu, hisab itu memdampingi rukyat. Sehingga dinyatakan bahwa untuk memulai puasa dan lebaran idulfitri dipastikan dengan rukyat dan tidak terlarang gunakan hisab (ash-shaumu wal fithru bir rukyati wa laa maani’a bilhisaab).

    Saat ini kaedah itu berubah menjadi “Pendapat yang paling kuat untuk menentukan awal bulan itu dengan hisab” (al-ashlu fii itsnatisy syahri bil-hisaabi). Pandangan terbaru ini didasarkan pada temuan Majelis Tarjih bahwa penggunaan rukyat pada zaman Nabi SAW adalah tuntunan yang diberlakukan sementara karena kondisi saat itu menghendakinya.

    Baca Juga  Belajar Hak Asasi Manusia dari Jerman

    Yaitu kondisi para sahabat yang menerima hukum belum punya kesiapan untuk melakukan perhitungan tanda-tanda munculnya awal bulan (innaa ummaatun ummiyyatun laa naktubu wa laa nahsubu). Mereka adalah entitas masyarakat yang ummi, yang belum kebiasaan menulis dan berhitung. Karena ayat-ayat Alquran itu ajarkan hisab. Jika rukyat tidak diposisikan sebagai tafsir cerdas dan komunikatif Nabi Saw atas ajaran hisab maka ajaran Nabi SAW itu bertentangan dengan Alquran.

    Karena itu membaca hadis-hadis tentang rukyat tidak boleh dipisahkan dari ayat-ayat perintah melakukan hisab. Dalam bahasa Imam Muhammad bin Idris asy Syaafii, fal ashlu Qur’anun wa Sunatun, sumber hukum utama itu Alquran dan sunah.

    Keempat, sejauh pembacaan terhadap dokumen yang tersedia tidak dituliskan Buya Hamka bahwa penentuan awal bulan yang dilakukan dengan hisab (wujudul hilal) adalah tindakan yang tidak bijaksana. Bagaimana mungkin perbedaan pendapat itu dikelompokkan sebagai perbuatan tidak bijaksana sementara itu diperbolehkan agama dan undang-undang dasar 1945. Pertama, yang penting ketika ada ragam pendapat penyelesaiannya dikembalikan kepada Alquran dan sunah. Kedua, UUD menyantuni setiap perbedaan pendapat sebagai bagian dari hak warga negara.

    Wawasan Manhaj Tarjih Muhammadiyah tegaskan bahwa putusan Muhammadiyah untuk sesuatu perkara tidak dimaksudkan menegasikan pihak-pihak lain yang berbeda dengan Muhammadiyah. Karena itu tidak ada tafarruq dalam hal ini. Penggunaan hisab hakiki wujudul hilal dimaksudkan Muhammadiyah sebagai sumbangan pemikiran untuk umat, negara dan bangsa. Karena model itu dalam keyakinan Muhammadiyah paling pasti, paling segera dan paling murah. Tiga hal ini paling sesuai dengan spirit kehidupan modern saat ini.

    Karena itu mari kita kembali kepada Alquran dan sunah serta UUD 1945 dalam mensyiarkan agama kita.

    Baca Juga  Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

    Editor: Yusuf

    Avatar
    15 posts

    About author
    Alumni Angkatan Pertama Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut (1978-1984)
    Articles
    Related posts
    Perspektif

    Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

    4 Mins read
    Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
    Perspektif

    Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

    3 Mins read
    Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…
    Perspektif

    Jadi Suporter Timnas Memang Melelahkan, tapi Harus Jaga Akhlak Juga

    3 Mins read
    Sepak bola Timnas Indonesia akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian mayarakat Asia , bahkan juga dunia. Hal ini terlihat dari peningkatan peringkat Federation…

    1 Comment

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *