Memahami Agama dengan Akal
Agama Islam adalah agama samawi bersama dengan Yahudi, dan Nasrani yakni agama wahyu yang sifatnya ilahiyah. Agama yang tidak dibangun melalui konstruksi sosial manusia. Agama tersebut ada karena kehendak dan kekuasan-Nya.
Sebab itulah, ketika berbicara mengenai hal-hal yang sifatnya transenden seperti agama, stigma yang mengarah kepada pembahasan tersebut adalah bahwa agama memang sesuatu yang tidak dapat dipahami dengan akal seperti sains. Sehingga dari itu kebenaran yang berasal darinya patut dipertanyakan.
Namun apakah benar begitu? mungkin iya, kebenaran yang berasal dari agama patut dipertanyakan. Sebab itu merupakan tugas dari manusia sebagai mahluk yang dikaruniai akal dan pikiran untuk selalu merenungi segala aspek yang terintegrasi dalam kehidupannya.
Menurut (Azmi & Zulkifli, 2018), Untuk menjalankan tugas dan fungsinya itu Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi, diantara potensi yang teramat berharga adalah akal.
Mempertanyakan kebenaran agama bukan berarti meragukan keyakinan dan keimanan kita terhadap agama yang kita yakini. Tapi lebih daripada itu, mempertanyakan kebenaran yang ada didalam agama merupakan suatu perjalanan agar dapat memahami dan mengimani agama yang kita yakini dengan akal dan pikiran, tidak hanya dengan dogma semata.
Hal ini sesuai dengan firman-Nya bahwa ketika kita mencoba mengetahui kebenaran-Nya akal adalah landasan yang paling utama.
فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
Awalan ayat 19 yang berasal dari Q.S Muhammad tersebut menjelaskan bahwa ketika kita mengimani Allah SWT, akal adalah landasan yang paling fundamental sebab bunyi dari lafadz tersebut adalah “maka ketahuilah tidak ada Tuhan selain Allah” dan bukan “maka imanilah saja, tidak ada Tuhan selain Allah”.
Berangkat dari hal tersebut, maka sudah sepatutnya lah kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna harus mengoptimalkan akal dan pikiran sebagai jalan untuk mengetahui dan mengimani kebenaran-Nya.
Dalam perjalanan untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan pemikiran yang rasional. Pemikiran yang rasional berarti pemikiran yang logis dan dapat diterima oleh akal budi.
Konsep pemikiran rasional terbagi menjadi dua pandangan yakni rasionalitas secara umum dan rasionalitas dalam Islam. Rasionalitas secara umum, tolak ukurnya hanyalah logika manusia yang sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Keterbatasan itulah yang kiranya menyebabkan bahwa logika manusia tidak dapat dijadikan patokan yang mutlak untuk mengetahui kebenaran agama.
Rasionalitas Islam: Jalan untuk Mengetahui Kebenaran
Lantas bagaimana kita dapat memahami kebenaran agama secara rasional ? selain rasionalitas secara umum, terdapat rasionalitas dalam Islam yakni rasionalitas yang menjadikan logika ketuhanan sebagai tolak ukur yang tidak terbatas.
(Nasution, 1998) Mengatakan Islam sebagai agama yang sangat menghargai akal, maka berpikir rasional dengan menggunakan fungsi akal secara maksimal dalam ajaran Islam sangat dibutuhkan. Sehingga ditemui berbagai corak pemikiran di dunia Islam termasuk corak pemikiran Islam rasional.
Sebab logika manusia sangat terbatas untuk bisa memahami segala sesuatu, maka logika ketuhanan lah yang dapat mengelaborasi hal tersebut. Oleh sebab itu, mengetahui kebenaran yang ada didalam agama tolak ukurnya adalah logika ketuhanan.
VUCA dan Globalisasi sebagai Tantangan Umat Muslim
Di era modern ini, Islam dihadapkan oleh berbagai tantangan. Baik itu tantangan sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Tantangan sosial berarti Islam sedang menghadapi sebuah persoalan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Dimana Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT harus bisa menjawab tantangan-tantangan sosial yang muncul melalui para hambanya yang mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Salah satu dari sekian banyaknya tantangan sosial yang muncul diera modern ini adalah dengan hadirnya era VUCA.
VUCA adalah sebuah akronim dengan penjabaran sebagai berikut : Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Volatility berarti merupakan keadaan yang tidak menentu serta rentan terhadap terjadinya perubahan.
Uncertainty merupakan suatu ketidakpastian dan keadaan yang penuh dengan kejutan yang dapat terjadi kapan saja. Complexity merupakan siatuasi yang penuh dengan kerumitan, dan Ambiguity merupakan keadaan mengambang yang menyebabkan kebingungan untuk membaca arah dengan jelas (Handy Aribowo, 2018).
Era VUCA merupakan sebuah era dimana segalanya dapat berubah begitu cepat, kapan saja, disertai ketidakjelasan dan kompleksitasnya, termasuk dalam ranah muamalah duniawiyah.
Dalam menghadapi segala ketidakpastian dan perubahan yang begitu cepat, dibutuhkan kemampuan berfikir jernih. Untuk dapat berfikir jernih jalannya adalah dengan berfikir secara logis dan rasional. Tidak hanya mengandalkan instuisi saja, meskipun dalam beberapa kondisi pemikiran yang bersifat instingtif juga diperlukan. Namun, di era dimana dunia semakin kompleks dengan segala problematikanya rasanya pemikiran yang logis dan rasional sangat diperlukan agar tidak terjadi bias dalam pengambilan keputusan.
Era VUCA menuntut adanya transformasi yang dinamis dari segala aspek, termasuk aspek yang ada dalam agama. Transformasi yang dimaksud adalah bagaimana kita sebagai umat muslim dapat mengarungi dunia yang semakin dipenuhi ketidakpastian dengan melakukan perubahan dalam hal yang sifatnya muamalah duniawiyah.
Artinya, kita sebagai umat muslim harus bisa menjadi problem solver serta inovator perubahan di masyarakat sekarang ini dengan berbagai macam pendekatan transformasi. Transformasi tersebut dapat dilakukan melalui aspek Budaya.
Contoh tantangan sosial yang muncul di era VUCA adalah maraknya globalisasi. Globalisasi yang terjadi saat ini hampir memasuki semua aspek kehidupan kita, termasuk aspek sosial budaya.
(Syarifah & Kusuma, 2016) Menjelaskan bahwa era globalisasi pada saat ini menyebabkan arus informasi dan mobilitas manusia dari satu daerah ke daerah lain bergerak dengan cepat. Hal ini memungkinkan interaksi manusia antara satu bangsa dengan bangsa lainnya menjadi semakin intens.
Salah satu akibat yang ditimbulkan dari adanya globalisasi ini adalah adanya pengaruh yang sangat kuat dari nilai nilai dan budaya luar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama kaum muda. Di antara nilai dan budaya yang diserap masyarakat, banyak yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga dikhawatirkan hal ini berdampak pada tergerusnya nilai-nilai nasionalisme dan identitas bangsa.
Paradigma Dakwah dalam Menjawab Tantangan Era Modern
Dalam hal ini dibutuhkanlah sebuah transformasi dengan menggunakan paradigma dakwah. Transformasi dengan menggunakan paradigma dakwah adalah transformasi yang dimasifkan melalui media dakwah. Itu berarti peranan dakwah sebagai upaya dalam membendung arus globalisasi sangat dibutuhkan.
Dalam melakukan dakwah, kita mengenal konsep tabligh, yakni penyampaian dakwah yang ditujukan oleh khalayak ramai. Target sasarannya adalah orang banyak. Upaya transformasi dapat dilakukan melalui dakwah dengan menggunakan konsep tabligh secara masif. Baik itu melalui kajian-kajian yang diselenggarakan secara langsung. Maupun melalui media sosial.
Dalam perkembangannya, ilmu dakwah tampak mengalami suatu pergeseran dari pemikiran yang didominasi oleh pendekatan spekulatif normatif ke arah pemikiran yang rasional dan kritis (Abdullah, 2019).
Dakwah yang dilakukan secara logis dan rasional bermakna menjelaskan upaya transformasi tidak secara dogmatis agar transformasi yang kita lakukan melalui media dakwah dapat diterima oleh masyarakat secara luas.
Di dunia yang semakin dipenuhi ketidakpastian yang dibarengi dengan perkembangan teknologi ini. Upaya transformasi sangat dibutuhkan dalam mengarungi kondisi tersebut. Landasan dari upaya transformasi tersebut adalah dengan menggunakan akal dan pikiran kita melalui media dakwah.
Dakwah berarti mengajak, menyeru untuk berbuat baik. Dakwah dalam melakukan transformasi artinya menggagas sebuah perubahan yang bersifat dinamis dalam rangka mengarungi kondisi zaman yang kian modern ini agar nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia tetap kokoh dan tidak tergoyahkan oleh budaya luar.
Editor: Soleh