Perspektif

Ikhtiar Mengubah Stigma Kota Lamongan itu Kota Teroris

4 Mins read

Kota Lamongan I Dikarenakan motor saya masuk bengkel, suatu sore saat selesai perkuliahan, saya memesan ojek online (ojol) untuk pulang menuju asrama. Terlihat dari tampangnya, tampak seorang pria berusia kepala empat memecah keheningan, bapak ojol ini bertanya tentang asal saya.

“Mase, asline daleme pundi?” tanyanya.

“Kulo asline Lamongan, Pak” jawabku

“Walah, Amrozi bom Bali,” ketusnya.

“Nggih, leres, Pak” aku terkekeh.

Pertanyaan bapak ojol ini bukanlah hal baru yang saya dengar. Sebagai warga kota Lamongan dari lahir hingga besar, dan kini merantau di Kota Surakarta untuk menuntut ilmu. Pertanyaan tersebut pasti akan terlontar dari seseorang. Walaupun agak ketus, namun hal tersebut cukup beralasan untuk dipertanyakan. 

Lamongan dan Stigma Kota Teroris

Toh, sudah biasa, orang-orang memuji warga Lamongan karena kelezatan Soto Lamongan atau menyebut klub sepakbola Persela Lamongan. Kini saya harus legowo bila disebut berasal dari kota teroris. Kabupaten Lamongan pernah menjadi perhatian dunia. 

Pasalnya, pada 12 Oktober 2002, sebuah bom berkuatan besar meluluh lantakkan Bali dalam satu malam. Sebanyak 203 orang meninggal dunia dalam peristiwa kelam tersebut. Semua negara mengecam aksi tersebut. Lantaran, korban mayoritas dari warga negara asing (WNA). Tak hanya itu, semua orang berbagai elemen masyarakat mengutuk aksi teror bom Bali.

Begitu daftar tersangka dirilis oleh Polri, tertera nama Amrozi bin Nurhasyim. Pria tersebut berdomisili di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Dari pengembangan penangkapan Amrozi, satu per satu pelaku lainya diungkap.

Mengejutkan, dari daftar pelaku disebutkan, ternyata ada empat pelaku yang berasal dari kota Lamongan. Yaitu, Amrozi, Ali Ghufron, Ali Imron dan Utomo Pamungkas atau Mubarak. Dua pelaku, Amrozi dan Ali Ghufron divonis hukuman mati, sedangkan Ali Imron dan Mubarak divonis hukuman seumur hidup. Sejak saat itu, penyematan kota Lamongan sebagai kota teroris dikenal di masyarakat.

Ideologi radikal mulai masuk di Desa Tenggulun karena Ponpes Al Islam yang berada di Tenggulun mempunyai hubungan istimewa dengan pimpinan Jamaah Islamiyyah, yaitu Abu Bakar Baasyir lewat Ali Ghufron. Nurhasyim ayah dari ketiga pelaku bukanlah orang sembarangan, dia adalah sekretaris desa saat itu dan mempunyai Pondok Al Islam.

Baca Juga  Why Everything You Know About Travel Is A Lie

Walaupun kejadian bom Bali saat itu saya masih berusia satu tahun lebih, namun proses panjang penantian hukuman terhadap pelaku dilaksanakan pada 09 November 2008. Tepat saya duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Yang masih saya ingat hanya keramaian dan lalu-lalang wartawan berdatangan ke sekolah dan mewawancarai beberapa guru. Di sekolah ini, Amrozi, Ali Imron, dan Ali Fauzi pernah mengenyam pendidikan.

Ketika menginjak dewasa serpihan memori tersebut mulai terekam dalam ingatan, dengan membaca artikel dan penjelasan bapak.  Bagaimana peristiwa tersebut berhasil menempatkan kota Lamongan untuk untuk bertengger di trending topic. 

Begitu buruknya citra Lamongan saat itu. Imbasnya, mayoritas warga Lamongan yang berdomisili di Tenggulun mengalami kesulitan administrasi saat mengurus visa ke luar negeri. Saya kira cerita itu telah usang, salah satu kawan saya saat SD, yang melanjutkan studi di Al-Azhar Mesir alumni dari Pondok Al-Islam terpaksa menunda keberangkatan yang seharusnya berangkat tahun 2021.

Mengubah Citra Buruk Kota Lamongan

Proses transisi kota Lamongan melepas embel-embel julukan teroris dimulai sejak opini masyarakat kian buruk terhadap Lamongan. Itulah yang diupayakan oleh Ali Fauzi, salah satu mantan narapidana teroris yang ditangkap oleh kepolisian Filipina yang juga saudara, namun beda ibu dengan ketiga trio bom Bali asal Lamongan (Ali Imron, Amrozi, Ali Ghufron).

Ali Fauzi mendirikan sebuah yayasan diberi nama lingkar perdamaian. Walaupun satu kota dengan Pak Ali Fauzi, tampaknya tidak begitu mudah untuk bertemu, lantaran dia disibukkan dengan pekerjaan dan kegiatan, setelah beberapa kali saya WhatsApp untuk keperluan wawancara tugas skripsi saya

Ahad (09/10/2022). Dia mengabarkan, untuk menemuinya agak pagi di Sunan Hotel Solo karena pada jam 10.00 WIB dia sudah ada janji wawancara dengan CNN Indonesia memperingati 20 tahun bom Bali. Tanpa membuang waktu, saya bergegas menuju ke lokasi.

Baca Juga  Aneksasi Tepi Barat: Petaka Baru Palestina

Mengawali ceritanya, Ali bercerita proses keluar dari lingkaran teroris, saat ditangkap polisi Filipina kemudian dideportasi ke Indonesia. Ali masih menyimpan dendam kepada polisi atas penangkapan.  Namun, saat dirinya jatuh sakit di tahanan, citra buruk polisi yang mendarah daging di benaknya sirna, ketika ada polisi peduli mengurus Ali Fauzi selama sakit hingga sembuh.

Dari momen kecil ini yang merubah titik balik sosok laki-laki pendiri yayasan ini. Memang tak mudah, mengakui kembali ikrar NKRI, dirinya bahkan diancam dibunuh oleh kawan-kawan lamanya, bahkan disebut sebagai penjilat kepolisian. 

Program Pemulihan Ideologi dan Ekonomi

Program pemulihan ideologi tugasnya penyadaran para tahanan teroris yang masih menjalani hukuman. Dengan cara diskusi, agar para napiter muhasabah terkait dengan pemikiran radikal. Ali Fauzi bersama dengan tim yayasan lingkar perdamaian berkeliling dari lapas ke lapas, mulai dari lapas Nusakambangan, Kembang kuning, Besi, Cipinang, Lamongan, Porong. Awalnya, mereka agak kaku dan muncul ujaran kebencian terhadap tim yayasan lingkar perdamaian bahkan sampai menyebut takfiri. Namun lambat laun, yang awalnya sangat keras akhirnya luluh.

Program pemulihan ekonomi sangat bermanfaat bagi para keluarga napiter, Ali Fauzi memahami bagaimana kondisi keuangan keluarga. Ali Fauzi berkaca pada dirinya, ketika masih dalam tahanan, meninggalkan keluarga dan cita-cita anaknya yang sedang diimpikan. Ali Fauzi juga memberikan biaya pendidikan kepada anak-anak napiter. Bagi seorang diri napiter, kembali hidup bermasyarakat dengan status demikian adalah hal sangat sulit. Banyak penyedia pekerjaan yang tidak menerima dengan status napiter. Alih-alih diterima, justru stigma buruk melekat kuat di masyarakat. Yayasan lingkar perdamaian berupaya menjadi fasilitator pemberdayaan pekerjaan, melalui mitra-mitra yayasan yang ada.

Peran Yayasan Lingkar Perdamaian

Yayasan lingkar perdamaian mempunyai peran cukup besar bagi Anshari Hasan atau Agus Martin. Pria berumur 42 tahun ini pada tahun 2013 pernah ditangkap Densus 88 di kampung halamannya, Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Agus ditangkap karena menyuplai senjata dengan jaringan terorisme Poso, Bekasi, Solo. 

Baca Juga  Pelatihan LOVE Maarif Institute di Lamongan, Membuka Ruang Diskursif untuk Guru Agama

Penangkapan Agus Martin hasil dari pengembangan dari penangkapan Ramli atau yang dikenal Abdullah Sonata. Agus dituntut empat tahun penjara dan dijebloskan di Lapas Salemba, namun Agus hanya menjalani tuntutan selama tiga tahun karena mendapatkan remisi pada waktu itu. Agus menceritakan dirinya terpapar benih pemahaman agama yang radikal berawal dari sesepuh di Masyumi. 

Saat itu, dirinya diputarkan sebuah video perjuangan umat Islam di Ambon dan Poso. Dengan jiwa muda yang menggebu akhirnya Agus memutuskan untuk berangkat ke Ambon melalui Abdullah Sonata dan bergabung dengan Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK).

Di dalam masa penahanan, terjadi gejolak batin yang membuat dirinya sadar, masa depan keluarga dan cita-cita ketiga anaknya redup karena perbuatanya. Sehingga dirinya bertekad seusai menjalani masa penahanan akan berikrar pada NKRI.

Faktor lingkungan, menurut Agus, menjadi pengaruh besar seseorang kembali terjangkit paham radikal. Seperti kasus bom di Polsek Astana Anyar. Bagaimana seorang mantan napiter bernama Agus Sujatno yang pernah dipenjara selama empat tahun karena keterlibatan dalam aksi teror bom panci di Bandung pada 2017, belum kapok dan kembali berbalik dengan ideologi lamanya. 

Dari sinilah strategi yayasan lingkar perdamaian didirikan karena upaya membangun lingkungan sehat bagi para napiter agar meninggalkan pemahaman radikal dan beralih pada moderat. Agus Martin kini bekerja di sebuah perusaahan pupuk di Mantren Kabupaten Lamongan, mitra dari yayasan lingkar perdamaian. 

Lamongan kini bukan lagi kota yang menyeramkan seperti kata orang, proses perjalanan untuk menghapus stigma bukan atas program pemerintah melainkan  kesadaran diri dari mantan pelaku terror.

Pada Jumat (31/03/2023) skripsi saya berjudul “Peran Yayasan Lingkar Perdamaian Lamongan Dalam Upaya Deradikalisasi warga Binaan Napiter (Studi Living quran Moderasi Beragama Dalam Al-Quran)” berhasil saya presentasikan di hadapan dewan penguji, kemudian menginisiasi tulisan ini.

Editor: Soleh

Faiz Rizal Izuddin
1 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds