Perspektif

Makna Ihram: Hijrah dari “Manusia Topeng” ke “Manusia Sejati”

4 Mins read

Ketika mendarat di Bandara King Abdul Azis Jeddah, pada 21 Mei 2023 jam 17.30 sore, saya berniat dengan miqat Bandara Jeddah. Dulu ketika masih menggunakan kapal laut, miqat jamaah haji Indonesia adalah di Ya Lamlam. Karena menggunakan pesawat yang terbang dari Jakarta ke King Abdul Aziz.

Berbeda dengan Jamaah haji gelombang I tiba di Madinah. Setelah ibadah sunah di Masjid Nabawi serta ziarah tempat-tempat bersejarah di Madinah, jemaah haji Indonesia bermiqat di Masjid Bir Ali, lalu berangkat dengan bus menuju Makkah.

Niat haji dan umrah terkait erat dengan masalah ihram. Di Miqat jemaah bersuci, lalu memakai dua helai kain ihram. Satu kain disarungkan dan satu kain lainnya diselendangkan di kedua bahu dengan menutup aurat. Setelah itu kami menyatakan niat, lalu shalat sunnah 2 rakaat.

Manusia Topeng

Ketika ihram, seluruh jamaah haji harus ganti pakaian. Wajib. Ganti dengan pakaian serba putih. Tanpa jahitan. Apa makna dari berpakaian putih polos tanpa jahit ini? Sebelum ke tanah suci, kita hidup bagaikan manusia topeng. Pakaian ibarat topeng. Pakaian menjadi penutup jati diri asli kita. Selama ini pakaian telah menjadi “topeng” yang menutupi diri dan watak manusia.

Dengan pakaian, sesama manusia menjadi tersekat-sekat oleh perbedaan kelas sosial. Akibatnya terhormat dan tidaknya seseorang diukur dengan pakaian. Sampai-sampai orang Jawa bilang “Ajine Rogo Suko Busono” (kehormatan manusia dari busananya).

Pakaian bagaikan simbol status sosial yang menimbukna perbedaan dan diskriminasi antarmanusia. Pakaian yang berbeda menunjukkan kelas dan batas-batas yang memisahkan hubungan manusia satu dengan yang lain. Misalnya orang kaya berpakaian mahal, si miskin berpakaian murah.

Akibat dari pakaian, muncullah aku dan kamu. Keakuan itu bisa bermakna kelompokku, rasku, sukuku, keluargaku, dan pekerjaanku. Akulah yang terbaik, maka harus didahulukan. Akulah yang mulia, maka harus dihormati. Akulah yang hebat, maka harus menang. Aku lebih kaya, aku lebih pandai, dan aku paling berkuasa. Di Miqat, segala pakaian atribut pejabat, polisi, tentara, seniman, petani, dan pegawai yang selama ini membedakan kelas sosial harus dilepaskan, ditanggalkan dan ditinggalkan. Jadilah manusia sejati tanpa topeng kemuliaan.

Baca Juga  Doa Ketika Mabit di Muzdalifah bagi Jamaah Haji

Sekarang tinggalkanlah pakaianmu di Miqat. Pakailah pakain kafan yang putih polos tanpa jahit. Sehingga pakaian yang kita kenakan sama dengan yang lain. Janganlah bersifat egois dan angkuh. Buanglah sifat itu. Kita semua adalah sama, setera, dan sederajat. Tak ada ras, kelas, golongan, keluarga, wajah yang lebih baik dari yang lain. Masing-masing memiliki nilai, derajat dan kehormatan sendiri-sendiri. Buanglah topengmu itu.

Sebelum berangkat ibadah haji, kita telah abai pada kualitas kemanusiaan kita. Kita tertutupi oleh harta, kekuasaan, kedudukan, pekerjaan, keluarga, ras, sehingga kita melihat yang lain lebih rendah, dan identitas kitalah yang terbaik.

Dengan pakaian ihram, kita menanggalkan segala pakaian dan atribut yang membedakan kita dengan yang lain secara individu. Kita menjadi manusia yang setara dengan yang lain. Yang membedakan hanyalah bekal ketakwaan.

Sebelum ke tanah suci, kita hidup dalam kelalaian. Terlalu sibuk bekerja atau diperbudak pekerjaan. Kini tinggalkanlah segala urusan itu. Dengan mengenakan pakaian ihram polos tanpa warna dan model, kita seolah mengaami kelahiran baru. Lupakan segala sesuatu yang mengingatkan kita pada pekerjaan, bisnis, jabatan, kelas sosial, golongan, ras, suku.

Menuju Manusia Sejati

Di miqat kita menyatakan niat dalam keadaan ihram. Niat berpindah, dari rumahmu ke rumah Allah, dari diri ke Allah, dari diskriminatif ke keadilan-kesetaraan, dari feodal ke egaliter, dan dari manusia bertopeng ke manusia jujur, otentik, sejati dan apa adanya.

Setiap individu melebur dan mendapat wujud baru menjadi manusia asli, sejati, dan otentik. Semua keakuan (merasa paling) harus dikubur. Kita sadar, apa yang kita miliki baik harta maupun tahta tidak ada artinya. Semuanya hanya berbekal sepotong pakaian ihram dan tertunduk malu mengingat perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya.

Baca Juga  Jamaah Positif Covid di Debarkasi Diimbau Tenang dan Patuhi Prokes

Menanggalkan pakaian sehari-hari dan menggantinya dengan dua helai kain ihram menggambarkan keadaan orang yang meninggal dunia. Kita lepaskan semua atribut dan urusan dunia dan berganti dengan kain kafan. Karena pakaian dunia inilah kerap membuat manusia lupa diri. Mudah membuat manusia bertindak tidak adil dan dosa. Karena itu, pakaian dunia sebagai simbol dari materialisme harus dilepas agar ia diterima oleh Allah SWT.

Saat berada di tanah air, seseorang menyombongkan diri dengan pakaian yang dikenakannya. Tapi saat ia bertamu di rumahNya, kesombongan itu tak patut. Ia harus ditanggalkan dan ditinggalkan. Ganti pakaian kesombongan itu dengan pakaian berwarna putih bersih, layaknya kain kafan, penanda kesucian dan penyerahan diri.

Saat hendak memasuki tanah suci, baitullah, kita harus melepas pakaian duniawi itu, harus menanggalkan kebiasaan buruk yang melekat dalam dirinya agar diterima oleh Allah SWT. Status kehambaan hanya dapat terwujud secara total ketika manusia mampu menundukkan keakuan dan keangkuhan. Ayo hilangkan sekat-sekat sosial itu. Mari ingat hakekat kehidupan, bahwa manusia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya: Innalillahi wa inna Ilahi raji’un.

Pakaian ihram juga memiliki arti pembebasan diri dari hawa nafsu dan daya tarik luar selain Allah. Ihram melambangkan penyerahan jiwa raga sepenuhnya kepada Allah, membebaskan dari ikatan kedudukan, pangkat, darah, keturunan, harta, dan status sosial lainnya yang sering merusak tali persaudaraan. Ihram mengajari umat manusia tentang kesamaan dan kesetaraan di hadapan Allah. Allah tidak melihat pangkat dan jabatan, tetapi ketakwaan dan amal baik.

Ketika sudah mengenakan pakian ihram, seseorang dilarang atau diharamkan melakukan dosa dan kemaksiatan, baik kepada sesama manusia, binatang, tetumbuhan, terlebih kepada Allah. Rafas (berkata kotor), fusuq (berbuat maksiat), jidal (perdebatan/berselisih) dan berburu binatang di tanah haram. Sepulang ke tanah air, seorang hamba tidak mudah membunuh binatang, menebang pohon sembarangan, berbuat ma’siat dan menghindari perselisihan. Mereka menjadi pribadi abrar, menebarkan perdamaian dan kebaikan di tanah air.

Baca Juga  Dirjen PHU: Saudi Perlu Dengar Masukan Negara Pengirim Jemaah Haji

Kesadaran Baru

Dengan memahami makna pakai ihram ini, hendaknya kita dapat memiliki kesadaran baru. Secara sosial kita semakin memiliki rasa persatuan dan persamaan dengan sesama manusia, secara individu kita menjadi manusia yang rendah hati dan mendahulukan orang lain. Tidak merasa hebat, tidak merasa paling baik, paling sholeh, paling kaya, dan paling pandai, apalagi merasa paling benar.

Sepulang ibadah haji, setiap jemaah hendaknya menampakkan semangat kesederhanaan, kesetaraan, dan kebersamaan di hadapan Allah. Sepulang di tanah air, hendaknya meninggalkan sikap flexing (pamer) dengan memperlihatkan kepemilikan materi, berkendara dan berpakaian yang serbawah. Apapun profesi kita, entah artis, pengusaha, pengacara, bahkan pendakwah agama sepulang haji harus menjadi pribadi yang sederhana, apa adanya, dan tidak menonjolkan diri.

Setelah ibadah haji, seorang hamba menjadi manusia merdeka. Manusia yang jujur pada diri sendiri dan orang lain. Menjadi diri otentik tanpa topeng. Tidak insecure: merasa kurang dihargai orang lain. Tidak melakukan flexing supaya mendapatkan pengakuan, penerimaan, dan penghargaan. Tidak narsis: mengagumi diri sendiri secara berlebihan, merasa superior, dan sangat penting di hadapan orang lain.

Kesadaran ini akan bernilai guna jika bisa dipertahankan dan terus ditingkatkan hingga setelah ibadah haji dan kembali ke tanah suci. Dengan memahami makna ihram ini, kita menjadi manusia apa adanya. Kita juga melihat orang bukan dari tampilan, pakaian, dan kedudukan, melainkan kualitas ketakwaan: akhlak baik.

Editor: Yusuf

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds