Perspektif

Pelajaran Qurban: Perbaiki Cara Mendidik Anak

2 Mins read

Secara kebahasaan, qurban dari bahasa Arab qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat (Ibn Manzhur: 1992:1:662; Munawir:1984:1185). Yang dimaksud adalah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah mendekatkan diri kepada Allah pada Hari Raya Haji atau Idul Adha dan tiga Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.

Ketika qurban, kita memerankan Ibrahim yang membawa Ismail yang akan dikorbankan. Nabi Ibrahim tidak jadi menyembelih jasad Ismail karena diganti dengan hewan, tetapi Ibrahim berhasil menyembelih Ismail secara hakikat. Pesan moralnya adalah supaya kita menyembelih kecintaan berlebihan kita terhadap apa yang kita miliki, padahal sejatinya hanya titipan Allah. Tidak hanya anak sebenarnya, Ismail hanyalah simbol kecintaan. Di sini jabatan, rumah, profesi, kehormatan, kepintaran, uang, mobil, sawah, keluarga, gelar, kelas sosial, pakaian, popularitas, kecantikan, dan kepemilikan lainnya dapat menjadi Ismail kita. Semuanya kita bawa di Mina dan kita korbankan tempat itu.

Jadi yang harus dikorbankan adalah “segala sesuatu yang melemahkan iman, yang menahan diri kita untuk melaksanakan perjalanan memikul berat tanggung jawab, sehingga enggan mendengarkan pesan dan kebenaran dari Tuhan. Segala yang membuat diri kita melarikan diri dari kebenaran, lalu berbalik kepada kesenangan. Sebagaimana Nabi Ibrahim, yang membuatnya menjadi lemah ialah kecintaannya pada Ismail anaknya. (Syariati, 2014: 142-143).

Saat menyembelih hewan qurban sebagai simbolisasi jihad akbar, maka sembelihlah rasa kepemilikan dan kecintaan kita yang mendalam bagi Ismail. Siapa Ismailmu hari ini, bisa keluarga: anak dan istri, bisa harta: rumah, tabungan, atau sawah, bisa juga jabatan atau pekerjaan. Intinya apapun yang dicintai secara berlebihan, yang membuat orang berat berpisah untuk kembali ke “Sang Kekasih Sejati: Allah Swt”.

Baca Juga  Ayah, Buka Puasalah Denganku

Sejatinya orang yang paling bahagia di dunia adalah orang yang tidak punya apa-apa. Jiwanya terbebas dari rasa memiliki. Semakin banyak yang kita miliki, semakin banyak membuat kita bersedih, padahal semua itu hanya titipan. Jika ini kita pegang dan terlalu memiliki, kita tidak akan bersedih hati jika suatu saat berpisah kehilangan anak, rumah, istri/suami, pekerjaan, jabatan dan lain-lain. Karena itu sembelihlah rasa kepemilikan itu.

Itulah makna qurban, menyembelih hewan sejatinya adalah simbolik saja. Allah memberikan penegasan, Yang sampai kepada Allah bukan daging atau darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya ketakwaan kamu (QS Al-Hajj: 37). Jadi bukan daging dan darahnya yang untuk Allah, dagingnya untuk manusia. Akan tetapi yang sampai pada Allah adalah ketakwaan kita yang menjadikan kita berakhlak dan beramal baik. Dalam surat Al-Kahfi dinyatakan, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi: 46).

Memperbaiki Cara Mendidik Anak

Berdasarkan ritual qurban, kita juga mendapat pesan dan pelajaran bahwa anak adalah titipan Tuhan. Anak merupakan mikrokosmos yang dari semesta raya (makrokosmos). Setiap anak menjadi wakil Tuhan, karena dalam diri anak ditiupkan Ruh Allah. Karena itu, kita harus memandang anak sebagai ciptaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita. Artinya Amanah untuk orang tua.

Kesalahannya. Ketika anak dilahirkan melalui kita, lalu kita mencoba memilikinya dan mencintainya dan mengintervensinya supaya menjadi seperti keinginan kita. Anak dititipkan ke kita, bukan milik kita. Tugas kita adalah mengasuhnya bersama Tuhan dengan mengembangkan bakat bawaannya masing-masing yang diberikan Tuhan. Jadi, didiklah supaya anak kita menjadi diri sendiri. Karena setiap anak membawa potensi hebat masing-masing dari Tuhan.

Baca Juga  Berdamai Dengan Covid19?

Dengan demikian, anak jangan dipaksa mengikuti kemauan orang tua. Biarkan mereka menemukan kehebatan dirinya untuk menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Setelah haji dan berkurban, marilah bertobat (kembali), bahwa anak bukan milik kita, melainkan hanya titipan Tuhan. Tugas kita memfasilitasi mereka, bukan menjadikan mereka seperti keinginan kita. Anak-anak adalah tamu agung, untuk menjadi diri mereka sendiri. Ingin jadi apa, bekerja dimana, menikah dengan siapa, dan seterusnya terserah mereka.

Jadi anak adalah titipan Tuhan yang dipercayakan kepada orang tua. Misalnya sebelum haji kita terlalu ikut campur mengatur urusan anak, setelah haji kita memandang anak adalah titipan. Urusan pendidikan, jodoh, karir, pekerjaan terserah mereka.

Editor: Soleh

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds