Dunia cinta adalah dunia yang sangat menarik, karena cinta sendiri berawal dari ketertarikan. Setiap orang memiliki kesan dan pendapat sendiri tentang cinta. Setiap orang menghayati sendiri kehidupan cintanya. Dunia cinta kadang digambarkan sebagai dunia yang kudus, suci, dan agung. Seringkali juga dunia cinta digambarkan sebagai dunia yang penuh warna, cerah, dan ceria. Dan tak jarang dunia cinta digambarkan sebagai dunia yang sendu, puitis, dan mengundang haru.
Tapi apakah kita tahu di manakah letak cinta dalam kajian filsafat? Pertanyaan ini mungkin agak membingungkan untuk dijawab. Bukan karena cinta itu tidak memiliki wilayah dalam kajian filsafat, tetapi karena filsafat itu sendiri dapat dikatakan merupakan bagian dari cinta. Sebab kalau melihat etimologi dari kata ‘filsafat’ itu sendiri yang berarti “cinta kebijaksanaan” (philo dan sophia). Sementara jika melihat cinta sebagai bagian dari pola tingkah laku dan pemikiran manusia, maka ia merupakan bagian dari filsafat.
Kahlil Gibran, sang filosof sekaligus penyair, adalah satu di antara banyaknya orang yang berusaha menyelami dunia cinta sampai ke dasarnya. Tidak hanya menggagas teori, merumuskan konsep, dan menelorkan ide mengenai cinta. Perjalanan kehidupan Kahlil Gibran sendiri secara pribadi penuh dengan warna-warni cinta, baik yang bercorak ceria maupun yang bernuansa sendu dan haru dalam derita. Kemudian senyum bahagia, tangis, dan derai air mata mewarnai pengalaman Kahlil Gibran dalam menyelami, menghayati, dan menjalani laku cinta itu sendiri.
Apakah itu Cinta?
Berdasarkan beberapa kumpulan puisi yang ditulis oleh Kahlil Gibran, bahwa menurutnya, amatlah sukar untuk mendefinisikan dan memberikan penjelasan yang tepat mengenai cinta. Kahlil Gibran menunjukkan, bahwa pada dasarnya cinta lebih penting untuk dialami dan dihayati oleh masing-masing orang daripada sekadar dirumuskan dalam kata-kata. Dengan menilik karakter cinta yang cenderung subjektif dan emosional, penjelasan tentang cinta yang tepat dan disepakati oleh setiap orang itu dapat dikatakan ‘mustahil’ terwujudkan. Setiap orang berusaha menghayati cinta dengan caranya sendiri.
Lalu kemudian, apakah dengan demikian dalam cinta peran akal menjadi terpinggirkan? karena perasaan subjektif dan emosi yang di nomor satukan? Perlu dicatat bahwa, meskipun cinta cenderung bersifat subjektif dan emosional, dimana tentunya perasaan dan emosi subjektiflah yang mendominasi dalam perwujudannya, tetapi meniadakan sama sekali peran akal tidak dapat dibenarkan. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa antara akal dan rasa dalam cinta harus seimbang dalam berjalan.
Cinta yang hanya mengandalkan rasa akan menimbulkan sikap emosional, karena segenap waktu dan energi diarahkan demi pemenuhan hasrat pribadi, sehingga sifatnya sangat egois. Padahal egoisme adalah sesuatu yang ‘terlarang’ dalam cinta. Namun bukan berarti emosi atau rasa itu tidak perlu, karena tanpanya, cinta hanya sekedar aktivitas formal yang hampa dan tidak memiliki keindahan. Cinta adalah fitrah manusia. Setiap orang secara alami membutuhkan cinta; mencintai dan dicintai.
Empat Karakter Utama Cinta
Pertama, Cinta dan Kebebasan
Dalam salah satu karya Kahlil Gibran berjudul the Prophet, ia banyak membahas tentang tentang kebebasan dalam bercinta. Kahlil Gibran menjelaskan, aspek kebebasan dalam cinta memiliki dua makna. Pertama, kebebasan dan kemerdekaan seseorang dalam menentukan, memilih, dan memutuskan apa atau siapa yang dicintainya. Hal ini tentu tidak mengherankan, karena memang mencintai itu hak setiap orang yang paling asasi dan sangat tidak bisa untuk diintervensi atau dihalangi.
Meskipun mungkin dalam prosesnya orang dapat diberi rangsangan, stimulan, atau pengaruh-pengaruh untuk mencintai atau tidak mencintai sesuatu, tetapi pada prinsipnya tetaplah individu yang bersangkutan yang memutuskan, apakah ia harus menerima atau menolak cinta yang ditawarkan atau mempertahankan cinta yang dihalangi.
Dengan landasan inilah, menurut pandangan Kahlil Gibran, cinta adalah satu kebebasan yang sebenarnya dapat dipahami.
Kedua, kebebasan dalam cinta berarti kemandirian dan tidak kebergantungan. Cinta tidak menganjurkan saling melebur diri di antara yang saling mencintai, tetapi lebih menganjurkan saling memahami dan saling mendukung.
Kedua, Cinta dan Keindahan
Menurut Kahlil Gibran, hubungan cinta dengan keindahan itu ibarat pohon dengan buah atau bunganya. Keindahan akan menjadi gerbang, menjadi warna sekaligus menjadi jaminan bahwa cinta yang sedang berlangsung dan dihayati adalah benar-benar cinta, dan bukan yang lain.
Keindahan membuat segala derita dan sakit dalam cinta tiada terasa, bahkan terasa menyenangkan. Keindahan adalah sumber bagi rasa rindu, selalu ingin bertemu di antara mereka yang ada di dunia cinta. Keindahan adalah taman penuh warna di tengah dunia cinta.
Ketiga, Cinta dan Ketulusan
Dalam novel Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran, ia memberikan contoh yang bagus mengenai ketulusan. Dalam bab The-Sacrifice, dirinya mengatakan bahwa cinta saja telah cukup untuk menjalani kehidupan, tanpa harus disertai balasan, kebersamaan, kesenangan maupun imbalan-imbalan dari yang dicintai. Cinta saja telah cukup memberi kehidupan.
Keempat, Cinta dan Pensucian
Pada akhirnya cinta adalah sebuah penyucian. Penyucian di sini berarti terwujudnya jiwa-jiwa yang murni dan pribadi-pribadi yang manusiawi dalam cinta. Cinta membuat jiwa manusia terlepas dari kekeruhan. Dengan cinta yang diberikan atau diterima secara tulus dan merdeka serta didasarkan kepada keindahan, maka akan tercapai satu harmoni yang damai. Hal ini digambarkan oleh Gibran dalam buku the prophet.
Demikianlah pembahasan mengenai filosofi dan karakter-karakter utama cinta menurut Kahlil Gibran. Kalau menurut kalian bagaimana, apakah ada pandangan lain? Hehehe.
Referensi buku: DUNIA CINTA FILOSOFIS KAHLIL GIBRAN Karya Prof. DR. Fahruddin Faiz
Editor: Soleh