Perspektif

Mungkinkah Terjadi Harmonisasi antara Demokrasi dengan Islam?

3 Mins read

Memang ada perdebatan di antara para pemikir Islam, apakah Islam membawa sekaligus tatanan politik atau hanya sebatas tatanan religius saja. Kondisi ini memang dipengaruhi oleh orientasi Barat dalam memandang agama. Agama atau kepercayaan adalah soal bagaimana manusia mengarungi kehidupannya personally. Meski tidak hanya Barat, karena beberapa kepercayaan yang muncul di Timur pun memandang agama adalah tuntunan way of life. Sebut saja Buddha atau Konghucu, yang dari penganut-penganutnya penulis pernah berdiskusi, adalah dimensi esoteris, alih-alih sampai mencampuri ranah publik layaknya politik.

Islam sedikit berbeda dengan kepercayaan lain, karena memang Islam sendiri mendeklarasikan sebagai pelengkap dan penyempurna agama (samawi) sebelumnya (QS Al-Maidah: 48), apalagi agama yang lahir dari peradaban manusia. Islam memuat tuntunan dari hal remeh-temeh sampai urusan publik yang menyangkut hajat hidup luas. Jika agama hanya soal privat, mengapa zakat masuk dalam rukun islam (pilar pokok), dan zakat sendiri murni urusan publik dan sosial, bukan ranah vertikal (habluminallah). Belum lagi penekanan sosial lainnya seperti ritual qurban atau berbuat ihsan terhadap manusia lain.

Politik Islam?

Kembali soal politik, tidak bisa dinafikan bahwa selain tugasnya sebagai Rasul, Muhammad Saw sekaligus mengemban tugas sebagai kepala negara. Sebagai kepala negara, Muhammad Saw memberikan inovasi yang cukup mengesankan kala itu, dengan Madinah Chapter yang bisa dibilang konstitusi tertulis pertama yang memukau dalam sejarah, dibuat melalui prosedur deliberatif. Berisikan pemenuhan hak-hak minoritas, menjadikannya layak sebagai role model pemimpin yang demokratis, di saat para pemimpin lainnya melulu diktator.

Apa yang diinisiasi Muhammad Saw ini tidak berarti dapat ditafsirkan secara serentak bahwa Islam juga menyangkut tatanan politik. Pemikir seperti Abdul Raziq atau M. Husain Haikal misalnya, bahwa meski demikian tidak bisa serta-merta Islam adalah pola politik yang baku, sebab Rasulullah dapat dimaknai jika tidak ada pola baku politik dalam Islam, sehingga dinamika politik sangat terbuka, meskipun dengan garis bawah, pola tersebut tetap berada pada rel Nash, dengan inti yang sama dengan apa yang diimajinasikan oleh seluruh manusia di dunia: distribusi keadilan dan kesejahteraan, serta menentang akumulasi pada individu atau kelompok tertentu.

Baca Juga  Masa Depan Lapangan Pekerjaan di Era Otomatisasi

Harmonisasi Demokrasi dan Islam: Sebuah Jalan Terjal

Dunia berjalan dengan semakin kompleks, di hadapan kemajuan sains dan teknologi saat ini. Fabrikasi informasi dan pengetahuan lewat media sosial dan artificial intelligence dan pendistorsian makna secara membabi buta mampu mendestruksi kemapanan politik yang ada, tak terkecuali demokrasi. Lantas yang dibutuhkan saat ini bukan hanya sekedar wacana imajinatif yang utopis bahkan distopia.

Dengan segala hormat saya bukan hendak menyudutkan gagasan-gagasan para pemikir seperti Jamaluddin al-Afghani dengan revolusinya, Sayyid Quthb dengan pemerintahan Supra Nasionalnya, atau al-Maududi dengan teodemokrasinya, teori mereka sudah usang, atau semacamnya, namun yang betul-betul dibutuhkan saat ini adalah prosedur praktis yang responsif.

Memang sangat sulit dan selalu terjal, bilamana demokrasi diharmonisasikan dengan Islam. Demokrasi yang pada akhirnya mengakomodir kepentingan-kepentingan minoritas (di samping distribusi keadilan). Selalu akan muncul oposisi biner, ketika kepentingan itu menyangkut LGBT atau aliran (yang dianggap) sesat seperti Ahmadiyah. Jangkar konservatif dan liberal akan terus ada, dan itulah faktisitas dunia. Bagi pemimpin yang “responsif” tadi, saya kira tantangan ini mampu dijawab. Pada akhirnya, sukar menemukan otentisitas suatu sistem politik saat ini. Xi Jinping membawa Tiongkok menuju komunis progresif, yang fusi terhadap sistem kapitalistik, sedang kapitalistik (musuh bebuyutan komunis) adalah nilai dan agama baru, tidak lagi sekadar doktrin ekonomi belaka tegas Yuval Harari dalam bukunya Sapiens.

Pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mohammad bin Salman juga menandakan Saudi mulai bertransisi menuju era liberalistik. Yang makin mengherankan lagi, negara-negara Timur Tengah semakin intim dengan Israel, khususnya Saudi yang selangkah lagi akan bergandengan tangan. Hamas disebut-sebut semakin terpojok dan berjalan sendirian melawan para Zionis. Akan banyak lagi dilema yang bermunculan, sehingga frase “responsif” tadi kian relevan.

Baca Juga  Mengenang AE Priyono: Keteguhan, Dedikasi, dan Ketulusan

Pergeseran Nilai

Di Indonesia sendiri tidak lepas dari soal-soal tadi. Globalisasi menggeser sistem nilai sosial dan kultur lokal, mulai dari selera makanan hingga mindset di masyarakat. Banyak orang jogja tidak lagi tabu jika setelah bangun tidur ia menyantap American breakfast, bukan gudeg atau gethuk.

Globalisasi sesungguhnya bukan melahirkan kultur baru, akulturasi atau culture shock, namun mengkonstruk kelaziman-kelaziman demi menghindari benturan budaya. Akhirnya, apa yang menjadi tabu dalam batas-batas budaya Islam, menjadi kelaziman bagi masyarakat Islam sendiri. Perilaku hamil di luar nikah misalnya, menjadi hal yang lazim padahal di satu zaman hal tersebut merupakan aib yang luar biasa.

Pun jika kita tarik ke ranah publik, kultur minum khamr, judi (yang dibalut permainan daring), dan beach club misalnya, sangat bertolak belakang dengan kultur yang dibangun Islam. Jika kemudian dilarang secara kaku, apakah hal tersebut merupakan solusi terbaik? Realitanya justru terus bermunculan tempat prostitusi maupun perjudian yang (terpaksa) ilegal. Semua punya konsekuensi masing-masing. Adanya potensi pendapatan negara (jika dilegalkan) menimbulkan dua konsekuensi logis, tentu berbasis konservatif dan liberal.

Terakhir, kita tidak tahu entropi dunia ke depan seperti apa. Batasan-batasan di masa lalu selalu menyisakan cukup ruang bagi perkembangan-perkembangan yang mengejutkan, yang seolah tidak terikat oleh hukum deterministik apapun (Harari, 2017: 284). Sekali lagi, tuntutan-tuntutan zaman mengharuskan para pemikir dalam menjembatani dilema-dilema yang terus bermunculan di kemudian hari.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Anggota dan Peneliti di LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) PWM DIY Kolumnis Kanal Media Soal Isu-isu Filsafat, Sosial, dan Politik
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds