Perspektif

Apakah Demokrasi Kompatibel dengan Islam?

4 Mins read

Sebenarnya, berbicara demokrasi dan politik, sudah melekat dalam Islam sejak masa Kenabian di Haramain (Madinah dan Makkah). Kalau melihat sisi historis kekuasaan politik Islam masa dahulu yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW, ia bersifat sentral; (kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif dan hukum).

Politik Islam tidak terlepas dari musyawarah. Bahkan hingga pemilihan para khulafaur rasyidin juga tidak terlepas dari proses pemilihan secara demokratis walau dari kalangan elit (sahabat senior) waktu itu yang layak jadi khalifah.

Ajaran Islam memang tercermin dalam sikap, perbuatan, dan perkataannya. Nabi Muhammad SAW melaksanakan politik kenegaraan, mengirim, dan menerima duta, memutuskan perang, dan membuat perjanjian serta musyawarah.Tetapi dalam kekuasaan tertinggi, menempatkan Allah sebagai Raja Yang Maha Suci (Yunus, hal. 75).

Tidak ada satupun nash yang “qat’i” atau isyarat yang jelas dari Nabi Muhammad tentang siapa yang menggantikan beliau menjadi khalifah, yang ada hanya perintah Nabi Muhammmad kepada Abu Bakar untuk menjadi imam shalat menjelang beliau wafat. Sebagian orang muslim menafsirkan ini isyarat kekhalifahan. Karena itulah tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazah beliau dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar telah bermusyawarah dengan cukup alot untuk menentukan orang yang tepat sebagai pemimpin umat Islam. Dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya Abu Bakr terpilih menjadi khalifah (Yunus, hal. 75).

Begitu pula dengan pengukuhan Ali bin Abi Thalib, tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Baik pemberontak maupun Anshar dan Muhajirin, lebih menginginkan Ali menjadi khalifah.

Mereka meminta Ali bin Abi Thalib untuk bersedia di-ba’iat. Namun, Ali bin Abi Thalib menolak. Ia menghendaki agar urusan ini diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior.

Baca Juga  Muhammadiyah Tidak Dikenal, Tapi Dirasakan!

Setelah umat Islam mengungkapkan untuk segera membutuhkan pemimpin, akhirnya Ali bin Abi Thalib bersedia di-ba’iat menjadi khalifah. Namun, ada beberapa sahabat senior yang tidak mau ikut mem-ba’iat Ali bin Abi Thalib (Ghofur, hal. 80).

Sistem Politik Islam

Berkaitan dengan Politik Islam, menurut ulama konservatif, Islam dan demokrasi tidak bisa saling bekerja sama, karena kedaulatan mutlak berada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian Islam memiliki hukum yang tidak bisa digantikan oleh hukum yang dibuat oleh orang-orang parlemen (Ubaedillah, Pendidikan Kewarnegaraan, 2015, h. 82).

Begitu pula pandangan kontradiktif dari Bernard Lewis yang menyimpulkan bahwa sejarah politik Islam sangat identik dengan kekuasaan perseorangan (autokrasi). Hal ini terjadi lantaran umat Islam tidak memiliki lembaga demokrasi seperti perwakilan, dewan perwakilan, pemerintah kotapraja, kecuali kekuasaan para raja yang absolut atas perintah Tuhan (Ubaedillah, Pendidikan Kewarnegaraan, 2015, h. 101).

Hubungan Islam dan Negara

Memahami hubungan antara Islam dan negara, terdapat tiga teori yang menarik untuk dimunculkan sebagaimana dikemukakan Munawir Syadzali. Islam dianggap bukanlah semata-mata ajaran dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.

Sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna untuk segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam urusan negara. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Hasan al- Banna, Sayyid Kuttub, dan Al-Maududi (Ghofur, hal. 62).

Teori Politik Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Jadi berbeda dengan teori demokrasi pada umumya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Konsep Teo-Demokrasi yang disimpulkan oleh Maududi dalam pandangan Islam, yaitu Islam memberikan kedaulatan kepada rakyat, akan tetapi kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat terbatas di bawah pengawasan Tuhan (al-Maududi, 1998, hal. 24).

Baca Juga  Utamakan Kemanusiaan: Prinsip Hubungan Internasional dalam Islam

Pendapat dari Maududi yang memberikan istilah teo-demokrasi, ia mengusulkan dibentuknya Dewan Ulama yang akan menyaring produk-produk parlemen sehingga tidak bertentangan dengan atau menyimpang dari syariat Islam.

Kemudian Natsir dengan isitlah demokrasi teistis, mengambil titik temu demokrasi dan syariah dengan memasukkan orang-orang beragama Islam dalam parlemen. Keberadaan mereka akan membuat keputusan parlemen “sesuai” kehendak Tuhan (Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, 2011, h. 98 dan 108).

Kalau mengenai demokrasi yang dicanangkan oleh Barat semisal mengambil defenisi dari Henry B. Mayo berpendapat, yang dimaksud dengan demokrasi adalah sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip-prinsip politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Ubaedillah, Pendidikan Kewarnegaraan, 2015, h. 82).

***

Schumpeter menggariskan bahwa metode demokratis adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu. Perjalanan sederetan pemilukada yang telah digelar di sejumlah daerah di Indonesia ternyata tidak selalu berjalan dengan baik, bahkan konflik kerap mewarnai dalam proses pelaksanaannya.

Terhadap asumsi ini, benar jika demokratisasi membutuhkan partisipasi politik warga, akan tetapi demokrasi tidak menyarankan penggunaan kekuatan uang dalam menciptakan partisipasi tersebut melainkan demokrasi mengajarkan untuk menciptakan partisipasi secara sadar tentang hak dan kewajiban warga negara salah satunya yakni memilih pemimpin (Fikri & A., hal. 179).

Pandangan lain tentang keselarasan antara demokrasi dan Politik Islam dari sejumlah ulama al-Azhar, yang mana sistem politik Islam yang pernah ada mengakui kebebasan individu dan publik, melindungi tiap individu dan hartanya, dan mengembangkan kebajikan-kebajikan publik. 

Baca Juga  Potret Kemajuan Islam di Baghdad

Memperkuat pandangan ini, muncul kesimpulan lain yang lebih substantif yaitu Islam dalam dirinya sudah demokratis tidak hanya karena ia mempunyai prinsip musyawarah, tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (konsensus).

Pandangan ini, seperti dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William Liddle dan Saiful Mujani diwakili oleh demokrasi Indonesia dan beberapa negeri Muslim lain, karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahannya (Ubaedillah, Pendidikan Kewarnegaraan, 2015, h. 103-104).

Apakah Demokrasi dan Politik Islam Bertentangan?

Dengan demikian, sudah jelas sebenarnya pertentangan yang terjadi antara Politik Islam dan Demokrasi hanya permasalahan kecil saja, yang mana perlu adanya mencari titik temu antara keduanya.

Karena bagaimapun juga, pandangan pro-kontra antara konsep politik Islam dan demokrasi bukanlah hal yang perlu terus diperdebatkan. Solusi atau jalan tengah sudah diberikan oleh masing-masing ilmuwan muslim terkait dengan politik Islam dan demokrasi tersebut, solusi tersebut yakni dicetuskan teo-demokrasi dari Maududi, atau istilah sederhananya

Demokrasi Islam. Dalam artian sederhananya, kekuasaan politik dalam suatu negara tidak terlepas dari kedaulatan sebuah agama (Tuhan) dalam melaksanan kegiatan atau kebijakan dalam negara tersebut dengan mengikuti kemaslahan rakyat yang akhirnya diperuntukkan kepentingan rakyat.

Johan Septian Putra
31 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *