Oleh: Wahyu Fahrul Rizki*
Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan rumor pelarangan penggunaan cadar di instansi pemerintahan setelah meredamnya pelarangan cadar di institusi perguruan tinggi. Pelarangan ini tentunya memercik api kemarahan di kalangan kelompok beriman. Terutama munculnya statement bahwa pelacur di Arab juga menggunakan Cadar dan Jilbab.
Judul ini berawal dari dialog antara seseorang dengan mufasir muslim asal Indonesia, yang pernah dipublikasikan di beberapa media online. Kurang lebih ia mengatakan bahwa “pelacur di Arab itu memakai cadar dan jilbab”.
Hamka (w. 1981) dengan jawabannya yang tak terduga!
“Oh ya? Saya barusan dari Los Angeles dan New York, namun di sana tidak ada pelacur”, ujar Hamka.
“Ah mana mungkin Buya, di Mekkah saja ada, apalagi di Amerika, pasti lebih banyak”, kata seseorang tersebut.
Hamka menjawab dengan nada halus, “Jika ingin mencari sesuatu yang buruk, maka kita akan menemukannya, sekalipun itu di Mekkah”.
“Tetapi sebaliknya, sejauh perjalanan ke New York, bila yang dicari adalah kebaikan, maka keburukanpun akan enggan dan bersembunyi”.
Dengan demikian, dialog ini mengindikasi bahwa pada dasarnya Hamka tidak menafikan bahwa pelacur di Arab juga menggunakan cadar dan jilbab. Di sisi lain cerita ini memberi pesan agar mencari kebaikan melalui keikhlasan hati, bukan dari busana.
***
Tulisan ini pada dasarnya tidaklah untuk memprovokasi apalagi meruntuhkan keistikamahan mereka dalam menggunakan cadar dan jilbab. Melainkan menstimulasi pemahaman yang belakangan ini berkembang di masyarakat.
Bahwa dalam memakainya, dipandang sebagai tindakan kesalehan dan pelaksanaannya merupakan upaya untuk menjaga kehormatan dari api neraka.
Meksipun fenomena cadar tidak menjadi persoalan, namun menjadi masalah ketika dijadikan sebagai ideologi dibalik itu. Terutama untuk menjustifikasi tindakan seseorang.
Sehingga muncul “masyarakat pembeda”, seperti kelompok syar’i dengan yang tidak syar’i, golongan yang masuk surga dengan yang tidak, dan perempuan yang baik-baik dengan yang tidak.
Pemahaman seperti inilah yang kemudian digugat oleh mufasir reformis asal Indonesia. Hamka melalui karya monumentalnya yang saat ini berumur kurang lebih 53 tahun, setengah abad lebih, sejak pertamakali diterbitkannya pada tahun 1966 oleh Pembimbing Masa. Karya tersebut masih sangat relevan untuk didiskusikan, terutama sikap Hamka tentang “tatacara berpakaian”.
Dua karya Hamka, Tafsir Al-Azhar dan Falsafah Hidup, cukup memberikan rangsangan bagi para pembacanya untuk tidak memahami Agama sebagai identitas, simbolik, dan eksklusif. Melainkan substansi dalam menjalankan Agama.
Hamka lebih menekankan Islam sebagai pedoman iman yang ada dalam di dada dan sikap hidup yang diatur oleh kesopanan iman, terutama membersihkan niat hanya kepada Tuhan.
Jilbab dan Cadar: Istilah yang Disalahpahami
Sebelum mendiskusikan lebih jauh tentang cadar dan jilbab dalam pandangan Hamka, ada baiknya saya mendudukkan terlebih dahulu istilah cadar, hijab, jilbab dan kerudung. Mengingat penggunaan istilah-istilah ini kerapkali terjadi tumpang tindih di kalangan masyarakat.
Istilah cadar dan hijab memiliki kompleksitas pemahaman dan koteks yang berbeda. Secara khusus tidaklah termuat dalam Al-Quran, berbeda dengan hijab yang termuat pada ayat 33:53.
Istilah cadarberasal dari bahasa Arab, niqab, “penutup wajah”. Dalam perkembangannya, kata ini kemudian berevolusi menjadi sebuah praktik yang mapan, yaitu “menutupi seluruh tubuh dengan busana kecuali kedua bola mata”.
Sementara hijab diartikan sebagai “penghalang”, “dinding”, yang memisihkan pandangan laki-laki dan perempuan. Dengan demikian dapat dipahamai bahwa cadar lebih kepada busana yang dipakai pada diri perempuan, tanpa dihalangi oleh dinding saat berkomunikasi dengan yang bukan muhrimnya.
Sementara hijab lebih kepada penghalang secara terpisah sekalipun keduanya tidak memakai busana. Biasanya ini digunakan di mesjid-mesjid untuk membatasi jamaah laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan cadar dan hijab. Jilbab yang tercantum dalam ayat 33: 59 ini dipahamai sebagai “kain yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Seperti halnya jilbab, kerudung juga terdapat dalam ayat 24:31, yaitu “kain yang menutupi hingga ke dada”. Dalam hal ini, mufasir berbeda pandangan dalam memapankan ke empat istilah tersebut.
Jilbab dan Cadar: Melacak Akar Penggunaannya
Setelah mendiskusikan ke empat istilah yang digunakan dalam busana perempuan, saya memilih dua istilah familiar di kalangan masyarakat Indonesia, terutama tentang isu-isu yang belakangan ini berkembang.
Hamka, yang dirujuk pemahamannya dalam melacak akar penggunan cadar dan jilbab, mengatakan bahwa tatacara penggunakan busana perempuan telah dipraktikkan berabad-abad lamanya sebelum kedatangan Islam, yaitu Mesir kuno dan di jalankan dalam beragam bentuk. Ada yang menutup seluruh tubuh, ada yang membuka wajah dan ada juga yang menampakkan belahan dadanya.
Dalam masyarakat Arab
pra-Islam, istilah cadar dan
jilbab bukanlah
hal baru bagi mereka. Biasanya, perempuan yang sudah mulai menginjak usia
dewasa, mengenakan kerudung sebagai tanda bahwa mereka minta untuk segera
dinikahkan.
Selain itu, juga digunakan untuk menjaga rambut terbebas dari kotoran pasir yang sulit dibersihkan. Kepala yang terdapat banyak kotoran pasir akan menghambat kesuburan kulit dan mengakibatkan rambut menjadi rontok. Berawal dari sinilah, setidaknya, alasan penggunaan cadar dan jilbab pada peradaban sebelum masehi, bisa diterima secara logis.
Historisitas Ayat 33: 59
Perlu ditegaskan dalam tulisan ini bahwa tidak ada satupun dalil secara rinci menjelaskan tentang cadar, untuk mengatakan murni tradisi pra-Islam. Hanya saja tradisi jilbab dan kerudung, dalam bahasa Arabnya disebut khimar, yang kemudian diadopsi oleh Alquran.
Dalam tafsirnya, Hamka mencoba meyakinkan para pembaca bahwa historisitas ayat itu bertujuan untuk membedakan antara “wanita merdeka” dan para “budak”. Pasalnya, sebelum ayat ini diturunkan, para wanita secara umum tidak dapat dibedakan antara yang merdeka dengan yang tidak.
Oleh karena di masa itu, orang-orang Arab belum mempunyai “kakus”/WC di dalam rumah.
Maka saat membuang hajat, mereka harus keluar rumah, terutama di malam hari. Saat-saat seperti inilah laki-laki “berhidung belang” mengganggu para wanita. Sehingga kemudian turunlah ayat ini sebagai pembeda dengan mengenakan jilbab, penutup kepala keseluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Hamka: Bapak Reformis Islam Indonesia
Menempatkan Hamka sebagai bapak reformis Islam bukanlah perkara mudah. Para sarjana, umumnya menjadikan Hamka sebagai mufasir tradisionalis, bukan reformis. Hanya karena pernah mengeluarkan fatwa kontroversial tentang larangan muslim berpartisipasi dalam merayakan Natal. Fatwa ini dikeluarkan tahun 1981, pada saat Hamka menjabat sebagai ketua MUI pertama di Indonesia.
Untuk mendiskusikan mengapa Hamka dinobatkan sebagai bapak mufasir reformis Indonesia, saya kira tidak cukup adil jika membahasnya dalam tulisan singkat ini, insyaAllah, nantinya akan muncul beberapa tulisan kedepan.
Paling tidak sedikit memberi gambaran bahwa dalam karya monumentalnya, Hamka tidak mewajibkan jilbab, namun hanya menganjurkan. Bahkan menyayangkan mereka yang menggunakan cadar sebagai penutup wajah yang hanya terlihat kedua bola matanya. Menurutnya, Alquran tidaklah menutup rasa keindahan (estetika) pada wajah, sehingga tidak perlu ditup-tutupi.
Alquran hanya memerintahkan berpakaian untuk menutupi tubuh, tanpa memberi rincian bagaimana seharusnya itu dijalankan. Karena pada dasarnya, Alquran bukanlah buku yang menjelaskan secara rinci tentang tata cara berpakaian.
Hamka menegaskan bahwa yang diinginkan Alquran adalah berpakaian dengan sopan yang menunjukan keimanan kepada Tuhan.
Karena Islam di Pakistan, Arab, dan Indonesia berbeda dalam menggunakannya. Tergantung, ruang, watu dan seluas cakrawala pikiran manusia.
*Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga; Kajian Ilmu Hukum dan Pranata Sosial Islam