Perspektif

Manusia dan Kekuasaan: Mengurai Titik Temu dalam Islam

3 Mins read

Tulisan ini akan dimulai dengan satu pertanyaan eksistensial mengenai apa sesungguhnya yang dicari manusia dalam hidup.

Secara umum, ada manusia yang tujuan hidupnya mengejar harta, ada juga manusia yang tujuan utama hidupnya mengejar kekuasaan, dan juga ada manusia yang levelnya mengejar kepuasan biologis. Tiga tujuan ini biasa kita sebut; harta, tahta, wanita. Tulisan ini akan mencoba mengurai poin kedua.

Sifat Dasar Manusia

Kita sepakat bahwa manusia merupakan individu utuh; sadar dan bergerak, bukan seperangkat elemen. Dalam kajian filosofis, mengutip Rocky Gerung, secara alamiah manusia selalu memiliki potensi di dalam dirinya dan dapat digunakan dalam rangka mewujudkan orientasi hidupnya. Potensi inilah yang kemudian mempengaruhi pergerakan manusia.

Menurut Alfred Adler (1870-1937), manusia selalu terdorong ingin mengejar superioritas. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki sifat dasar yaitu sifat inferioritas, dan karena itulah manusia terus berusaha menaklukkan perasaan tersebut.

Semakin besar perasaan inferioritas yang manusia miliki, semakin besar pula keinginan untuk mengalahkannya. Besarnya perasaan inferior menentukan agresivitas manusia dalam mengejar superioritas (Aziz Zulqarnain: Quo Vadis Manusia?).

Dinamika Manusia dan Kekuasaan

Di antara instrumen superioritas manusia yang paling utama adalah kekuasaan. Dalam usaha menggapai kekuasaan, pergerakan manusia selalu dimulai dari titik yang disebut powerless (ketidakberdayaan) menuju potensi absolute power (kekuasaan absolut).

Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406), kekuasaan terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok atas lainnya. Kedudukan ini diliputi berbagai kesenangan materi maupun spiritual. Pencapaian tahap ini selalu melalui kompetisi yang keras dan penuh taktis.

Kompetisi kekuasaan acapkali tak luput dari sikap-sikap arogan, kasar. Di mana setiap manusia atau kelompok mencari legitimasi dengan berbagai siasat, samar antara baik dan buruk. Lalu ketika berhasil memperoleh kekuasaan, justru manusia menjadi takut (rakus), manusia cenderung memonopoli kekuasaan itu agar tidak dirampas dari dirinya.

Baca Juga  Mengenal Yahudi, Bani Israil, Israel, dan Palestina

Machiavelli (1469-1527) mengatakan, kepribadian manusia bisa mengalami degradasi bahkan secara mengejutkan berubah ketika sebelum dan sesudah menyentuh kekuasaan. Padahal sejak awal manusia yang mencari kekuasaan, tapi pada akhirnya manusia sendiri ditaklukkan oleh kekuasaan. Dinamika semacam ini sangat gamblang kita temukan dalam realitas politik Indonesia.

Realitas ini tidak hanya terjadi di kalangan pejabat, penguasa. Tapi bisa saja menimpa kita semua (rakyat secara umum). Karena mereka yang kita sebut penguasa hari ini, sebelumnya adalah rakyat biasa, aktivis, pengusaha, bahkan akademisi dan sebagainya.

Inilah kemudian yang menjadi problem manusia terhadap kekuasaan. Pertanyaannya, apa yang mesti manusia lakukan agar kekuasaan dapat diperoleh dan diimplementasikan dengan sebaik-baiknya; khususnya dalam kancah perpolitikan kita di Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang mesti diperkuat, yakni terkait sistem dan etika kekuasaan.

Titik Temu Manusia dan Kekuasaan

Pertama, kontrol terhadap kekuasaan haruslah kuat. Demokrasi adalah sistem yang dirancang untuk mengontrol perilaku kekuasaan, supaya semakin bersih dan transparan. Mengutip Fahri Hamzah, kekuasaan bagi demokrasi itu seperti ikan dalam akuarium, semakin jernih air dan transparan kacanya, maka semakin sehat pula kehidupan ikan dan tentunya makin jelas ikan itu diamati.

Demokrasi adalah pemerintahan berdasarkan ide; intelektual (government of ideas through by the people). Demokrasi bukan hanya soal pemilu (memilih dan dipilih), demokrasi adalah tentang cara hidup dan cara berpikir. Setiap manusia memiliki potensi yang setara untuk mengakses kehidupan. Kultur demokrasi adalah masyarakat egaliter bukan feodal (Reza A.A Wattimena: Kekuasaan dan Hakekat Manusia).

Kedua, di atas kekuasaan masih ada etika. Kekuasaan tanpa tata nilai dan hukum adalah tirani; tak peduli apakah prosesnya dilatari dengan intrik, tipu daya, dan ketidakjujuran, asal tujuan tercapai.

Baca Juga  Genghis Khan's Guide To Travel Excellence

Ibnu Khaldun (1332-1406) mengatakan, kekuasaan memiliki tujuan substansial yakni harus diformulasikan untuk kemanusiaan; kesejahteraan dan keadilan; ini merupakan naluri (kebutuhan) dasar manusia. Prinsip inilah yang harus dilaksanakan sejak proses memperoleh kekuasaan.

Islam dan Kekuasaan

Manusia merupakan khalifah (utusan, hamba) Allah Swt yang ditugaskan merawat kehidupan di muka bumi. Karena itu, kekuasaan merupakan amanah Allah Swt dalam rangka menjalankan aturan-Nya. Merangkul semua kalangan; suku dan agama, mencerdaskan generasi, membantu yang lemah, mengentas kemiskinan. Semua itu merupakan substansi kekuasaan yang harus menjadi pijakan pada tataran praktisnya.

Kekuasaan yang tadinya merupakan instrumen superioritas pribadi, mesti diposisikan sebagai alat pelaksanaan nilai-nilai Tuhan dan sekaligus amplifikasi rasa kemanusiaan yang seluas-luasnya (Ibnu Khaldun: Mukaddimah).

Kekuasaan hanyalah bagian dari instrumen superioritas duniawi, walau dianggap paling utama, karena semua orang mengejarnya melalui cara apa pun. Namun bukankah tidak semua manusia akan berhasil mencapai kekuasaan (pragmatis, politis) dalam hidup. Jawabannya; benar.

Pertanyaan demikianlah yang tidak dapat dijawab oleh materialisme, tapi mampu dijawab oleh agama; melalui konsep kehidupan setelah kematian; akhirat (Aziz Zulqarnain: Quo Vadis Manusia?).

Dalam Islam kita mengenal istilah ta’jilus sa’adah (penundaan kebahagiaan). Seluruh penggambaran surga yang dijanjikan oleh agama, baik berupa megahnya tempat tinggal, mewahnya singgasana, melimpahnya sumber makanan dan paripurnanya kesenangan biologis; itu semua merupakan simbol dari superioritas. Konsep inilah yang mendasari manusia agar tidak keliru mengejar kekuasaan (superioritas) dan menyalahgunakannya di dunia.

Editor: Soleh

Muhammad Abdul Ghaniy Morie
9 posts

About author
Penulis di Sarangge Kahawa Institut, minat kajian Al-Qur’an dan Humaniora
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds