Times of Israel merilis berita bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri Eli Cohen bersumpah bahwa serangan militer terhadap Hamas Palestina akan terus berlanjut dengan atau tanpa dukungan global. Pernyataan ini menyusul Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi gencatan senjata di Gaza meski menghadapi veto Amerika Serikat yang menentangnya. Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan Israel kehilangan dukungan global karena pengeboman membabi buta yang dilakukannya.
Perkembangan perjuangan diplomasi negara-negara di PBB ini menunjukkan pula bahwa fenomena Palestina adalah kontestasi pengertian mayoritanisme di tulisan sebelumnya. Sebagai pemegang veto, Amerika Serikat berada di posisi yang lebih superior dibandingkan negara-negara lain.
Namun, 153 negara berhasil menemukan mengatasi veto ini atau dapat dikatakan mayoritanisme sebagai akumulasi jumlah untuk sementara ini menang. Konsentrasi ekonomi-politik yang dipegang aktor superior harus bekerja lebih keras melawan pergerakan massa yang terkoneksi seluruh dunia.
Konektivitas internet dan media sosial ini mampu menjadi jalur rambatan gelombang yang menggetarkan nurani kemanusiaan tiap orang. Julid fisabilillah bermula dari kongsi warganet Indonesia dan Malaysia menyerukan narasi pro-Palestina dan menggembosi kekuatan psikologis Israel.
Dari awal, gerakan ini pun sudah menunjukkan sifat kosmopolitanisme yang real-time. Solidaritas keagamaan bisa disebut menggerakan masyarakat di kedua negara tersebut. Namun, unggahan pro-Palestina menyajikan kekejaman yang bisa melukai siapapun yang berpikir dengan nalar kemanusiaan mereka. Tidak heran, setelah warganet Turki yang bergabung, kini warganet Inggris pun berbaris dalam gerakan yang sama.
Perusahaan media sosial, media massa, dan negara-negara sekutu Israel tidak mampu membendung sirkulasi informasi pro-Palestina di jagat maya meski telah memberlakukan sensor dan menyebarkan kontra-narasi. Lantas, mengapa fenomena ini terjadi?
Pertama, mekanisme kerja media sosial menggunakan pembelajaran dalam (deep-learning) berawal dari pencangkokan pola dalam sistem. Manusia sebagai subjek dalam relasinya teknologinya, memiliki keunggulan bahwa mereka mampu menyimpangkan pola. Sehingga mereka dapat lepas jerat algoritma media sosial.
Penulisan Hamas dengan H4m45 atau IDF menjadi Ideaf adalah dua contohnya. Manusia memiliki sumber daya ingatan, pengetahuan, dan pengalaman yang dapat ditransformasikan sebagai strategi baru untuk mengatasi pembatasan eksternal. Algoritma media sosial pun bekerja dalam logika frekuensi atau ukuran penjumlah yang dihitung dalam satuan waktu.
Logika ini tentu menguntungkan pengertian mayoritanisme sebagai akumulasi jumlah. Maka tidak heran, pemanfaatan fitur laporan yang ada di media sosial menjadi salah satu strategi melumpuhkan akun media sosial individu menonjol di Israel, seperti Shai Golden, jurnalis dan penulis buku, yang merasakan akunnya dilaporkan oleh warganet karena menyebarkan kebencian sampai diblokir.
Kedua, sifat dasar media sosial yang menjadi daya pikat utama bagi anak muda adalah interaksi real-time. Sifat konsumsi teknologi digital ini dapat dibandingkan dengan konsumsi cetakan surat kabar era perkembangan industri percetakan yang membuat Benedict Anderson menawarkan konsep komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) dalam memahami nasionalisme di Indonesia awal pembentukannya. Pembentukan konstruksi komunitas terbayang tidak didasarkan pada interaksi sehari-hari sehingga mereka hanya bisa membayangkan dirinya menjadi bagian dari komunitas.
Internet dan media sosial membuat orang tidak hanya membayangkan humanisme atau rasa kemanusiaan yang terciderai melihat invasi militer di Gaza. Mereka bisa bertanya, menggugat, dan mendiskusikan dengan siapapun secara real-time. Oleh karena itu, dalam dimensi fisik, warganet adalah kelanjutan dari konsepsi komunitas terbayang, tetapi mereka kini dapat berinteraksi sehari-hari secara termediasi sehingga memungkinkan intensifikasi seruan humanisme secara kosmopolitan.
Ketiga, warganet dapat dibilang didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z. Kedua generasi ini tumbuh dalam limpahan informasi karena kemajuan teknologi. Oleh karena itu, kedua generasi ini cenderung lebih peka terhadap gagasan universal, seperti keadilan lingkungan yang melandasi seruan perubahan iklim dan nilai kemanusian yang melandasi gerakan hak asasi manusia.
Pada titik ini julid fisabilillah yang dipelopori rasa solidaritas keagamaan warganet Indonesia dan Malaysia, bisa diterima oleh warganet Inggris karena mengandung nilai humanisme yang universal. Julid fisabilillah yang semula merupakan sebuah cara perang psikologis, kini menjadi sebuah cara diplomasi kemanusiaan menyusul semakin banyak media asing memberitakannya dan Erlangga Greschinov menjadi duta besarnya!.
Editor: Soleh