Konon, hidup yang tidak diperjuangkan, tidak bisa dimenangkan. Tapi, tidak memenangkan kehidupan juga tidak mengapa. Sama sekali tidak mengapa. Memangnya kenapa sih kita ini harus selalu menang-menangan?
Toh, memenangkan hidup itu tidak mudah. Memperjuangkan kehidupan itu penuh onak dan duri. Pada akhirnya, ketika kita meniti jalan yang tak mudah ini, kita akan dihadapkan pada kekhawatiran dan kegelisahan. Pada akhirnya, perjuangan itu berubah menjadi kecemasan demi kecemasan. Kekhawatiran demi kekhawatiran.
Saya teringat film yang rilis tahun 2017 yang tentu sudah Anda tonton: War for the Planet of the Apes. Ada konflik antara kera yang memiliki kecerdasan dengan tentara manusia. Konflik itu diwarisi oleh pendahulu kera yang terlebih dahulu menyerang manusia.
Di film itu, pemimpin kawanan kera, Caesar, merupakan pemimpin yang bijak dan cinta damai. Ia selalu berpikir, apa yang membuat Koba, pemimpin kera sebelumnya, sulit sekali berdamai dengan manusia.
“Kenapa ia sulit sekali memaafkan manusia?” ujar Caesar dalam dialog yang penuh penghayatan.
Beberapa jenak setelah perenungan itu, kawanan kera kembali diserang oleh militer. Padahal, sebelumnya Caesar telah mengirim pesan damai dengan membebaskan tawanan yang ia tangkap. Dalam penyerangan tersebut, target untuk membunuh Caesar meleset. Justru militer tanpa sengaja membunuh anak dan istri Caesar.
Menyaksikan anak istrinya mati, Caesar gelap mata. Ia berubah menjadi bebal. Tidak mau mendengarkan masukan dari penasehat-penasehatnya. Ia nekat sendirian pergi menuju kamp militer untuk membalaskan dendam kesumat.
Pada akhirnya, dia harus mengakui, “I am like Koba, which could not escape his hate.” (Kini aku telah berubah menjadi seperti Koba, yang tidak bisa menghilangkan kebenciannya pada manusia).
Sebagaimana Caesar, kita pun mudah berubah. Dulu, kita mempertaruhkan jiwa raga untuk dapat terus menggenggam idealisme. Kini, idealisme tak ubahnya barang jualan yang kita sedih apabila tak ada yang membelinya.
Anak muda sekarang bilang, people change, memories don’t. Manusia berubah, tapi ingatan akan manusia itu tidak berubah.
Sebagaimana Caesar yang berubah menjadi gelap mata, elit-elit kita juga begitu mudah berubah. Mereka menjadi seperti kutu loncat. Tadi pagi A, sore ini B. Orang Jawa bilang, esuk dele sore tempe. Pagi kedelai, sore sudah menjadi tempe. Kedelai yang berubah menjadi tempe tentu merupakan perubahan ke arah positif. Sayangnya kita tidak. Perubahan kita tidak dipimpin oleh nilai-nilai kebaikan, melainkan oleh nilai-nilai menuju kemenangan kelompok.
Dulu kita berpikir, kenapa orang-orang itu rakus sekali berebut ini itu. Esok lusa, barangkali, sebagian dari kita yang tak tahan gemerlap dunia, akan berubah menjadi pihak yang dipertanyakan karena ikut berebut “ini itu”.
Dan saat itu terjadi, seperti Caesar, kita akan berkata, “Aku telah berubah menjadi orang yang dulu aku kritik habis-habisan.” Entah dengan perasaan sedih atau justru bangga.
Pada akhirnya, jangan-jangan, yang kita perlukan adalah tidak memenangkan kehidupan. Karna, dalam batas tertentu, perlombaan memenangkan kehidupan itu justru berbuah kerusakan.
Dalam falsafah Jawa, kita harus semeleh, meletakkan nafsu kuasa kita ke lantai. Lalu membiarkannya menjadi dingin. Biarlah orang lain berebut tahta. Toh, pada akhirnya tidak semua pihak bisa memenangkan pertarungan. Sebagaimana kredo para penyeru perdamaian, konflik meniscayakan dua hasil: menang-kalah, atau kalah-kalah.
Maka biarkan nafsu kuasa kita mendingin. Toh, tidak mengapa tidak memenangkan kehidupan. Apa salahnya?