Sore itu saya terjebak hujan. Di bilangan Jalan Raya Jakarta-Bogor. Di sebuah warung bebek madura kecil yang cuma punya satu meja tanggung dengan sekitar 10 kursi melingkarinya. Beratap terpal dan berdinding kain spanduk serba kuning.
Ini warung favorit saya selama setidaknya dua bulan terakhir. Tapi saya tak pernah makan di tempat. Anak muda sekarang menyebutnya dine in. Saya selalu memilih untuk membungkus dan makan di kost. Take away. Yang paling memikat hati saya tentu adalah sambalnya. Kata “sambal item” tertulis agak besar di dinding warung sederhana itu. Kata seorang kawan, sambal hitam Madura itu enak sekali. Ketika saya buktikan, rupanya pendapat itu sangat benar.
Sore itu, ketika pesanan sudah jadi, dan saya sudah duduk di motor, tiba-tiba jutaan rintik air jatuh dari langit. Sambil berlari menuju arah warung, saya sedikit teriak, “numpang neduh bang.”
Di sela-sela menunggu hujan reda, seorang bapak paruh baya datang. Jika melihat penampilan, saya berasumsi bahwa ia adalah pekerja informal. Semacar driver di ojek pengkolan atau semacamnya. Ia dine in. Makan di tempat. Beberapa jenak selanjutnya, giliran ibu-ibu berjilbab agak lusuh datang. Dine in juga. Saya taksir, kondisi ekonominya tak jauh berbeda dengan bapak sebelumnya. Tentu tak baik melihat orang dari penampilan. Tapi tulisan ini tak hendak membahas hal itu. Saya ingin mengajak Anda merenungkan hal lain.
Setelah selesai makan, mereka berdua, sambil menunggu hujan, diam saja tanpa melakukan apapun. Si bapak mengeluarkan bungkusan rokok. Si ibu diam entah memikirkan apa. Aktivitas makan sendiri barangkali adalah aktivitas yang dihindari oleh banyak anak muda. Tapi, bagi sebagian orang, makan sendiri atau bersama orang lain bukanlah pilihan. Ada orang yang memang harus makan sendiri karena memang tidak memiliki orang lain.
Aktivitas duduk diam sendiri tanpa melakukan apapun itu juga merupakan aktivitas yang jarang dilakukan oleh anak muda. Tentu Anda sudah bisa menebak, apa yang akan dilakukan si bapak dan si ibu jika mereka masih muda: bermain HP. Persis seperti apa yang saya lakukan saat itu.
Tapi tidak. Mereka bukan digital native. Ketika terjadi shifting besar-besaran dari dunia nyata ke dunia maya, mereka tidak ikut. Mereka tinggal saja. Mungkin sebagian dari mereka adalah penikmat video-video lucu di Facebook. Atau penikmat berita-berita hoaks murahan yang tersebar di grup-grup Whatsapp yang tidak bermutu. Tapi mereka tetap bukan digital native. Dunia mereka adalah dunia nyata. Manusia yang mereka kenal adalah manusia berdarah-berdaging. Bukan manusia yang ada di dalam layar.
Pada saat yang sama, mereka kehilangan teman karena teman-teman baru mereka (baca: anak-anak muda) asik tenggelam dalam dunia yang tak mereka pahami. Maka, perbincangan-perbincangan hangat yang membuat kita menjadi manusia itu memudar. Tentu tidak hilang, hanya intensitasnya turun. Percakapan-percakapan di sudut jalanan tak seramai dulu. Sesekali, kita, ketika nongkrong di ruang-ruang publik. memilih untuk menatap layar sambil scroll-scroll sosial media yang entah tujuannya apa kita juga tak terlalu paham.
Saya jadi teringat cerita seorang aktivis kesehatan di Amerika, Vivek H Murthy. Konon, ada seorang pekerja keras yang hidupnya sederhana. Suatu ketika, orang ini memenangkan lotre dengan jumlah yang begitu besar. Merasa memiliki uang melimpah, ia resign dari pekerjaan dan tinggal di mansion mewah dengan penjagaan yang ketat. Beberapa tahun kemudian, orang ini menitikkan air mata di hadapan Murthy. Ia bercerita betapa ia merasa begitu kesepian. Kehilangan kontak dengan rekan-rekan kerja dan juga keluarganya. Ia akhirnya mati terserang diabetes dan darah tinggi.
Orang tua kini kehilangan rekan bicara. Anak-anak mereka larut dalam gegap gempita semu di dalam layar kecil berukuran tak lebih dari 8 inchi. Dunia orang tua yang senang bercerita dan mendengar cerita anak cucunya semakin hari semakin rapuh.
Saya jadi teringat bapak saya di rumah. Yang umurnya hampir mencapai kepala tujuh. Ketika saya pulang ke rumah beberapa waktu lalu, ia bercerita ingin memelihara bebek. “Soale sedino-dino blas ra ngopo-ngopo, (karena setiap hari tidak melakukan apapun),” ujarnya.
Ia memang sudah tidak bekerja. Sudah memasuki usia tidak produktif. Sayangnya, saya tidak bisa menjadi teman bicaranya sehari-hari. Di rumah, orang yang bisa diajak berbicara juga terbatas karena kesibukan masing-masing. Ia menghabiskan waktu dengan ibadah, menonton TV, dan antar jemput cucunya ke sekolah. Sambil sesekali memperbaiki perabotan rumah atau aliran listrik yang rusak.
Saya kadang berpikir, jangan-jangan orang seperti bapak saya ini banyak sekali. Orang tua di usia tidak produktif yang kesepian karena banyak faktor. Bisa jadi anak-anaknya merantau ke luar kota. Atau anak-anaknya di rumah, namun larut dalam dunianya sendiri. Atau bisa jadi ada pola pengasuhan yang salah, yang menyebabkan hubungan antara orang tua dengan anak menjadi kaku, yang umumnya terjadi antara bapak dengan anak laki-laki.
Sialnya, ketika saya Googling, asumsi saya benar. Tingkat kesepian di seluruh belahan dunia meningkat secara drastis. Menurut sebuah penelitian, di seluruh kelompok usia di Amerika, orang menghabiskan lebih sedikit waktu dengan orang lain dan lebih banyak waktu sendiri. Yang mengejutkan, rupanya tingkat kesepian yang lebih tinggi justru dialami oleh anak muda. Di sana, satu dari lima anak muda mengalami kesepian dan tidak memiliki teman sama sekali.
Di tahun 2023 yang baru saja ditutup, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global. Mereka menyebut bahwa dampak kematian akibat kesepian setara dengan merokok 15 batang sehari. Lembaga itu kini membuat komisi internasional untuk mengatasi masalah ini. Komisi diketuai oleh Murthy, yang menceritakan soal orang kesepian akibat menang lotre tadi.
Bagaimanapun, kesepian itu mengerikan. Dampak kesehatannya begitu berbahaya. Silahkan cek sendiri di berbagai hasil penelitian.
Dewasa ini, kita dipertontonkan betapa kita harus membayar harga sebuah kemajuan. Banyak ekses yang ditimbulkan oleh kemunculan media sosial. Kesepian hanya salah satunya. Generasi muda yang lebih fragile, rentan terhadap penyakit mental, lebih mudah depresi, dan seterusnya. Daftarnya bisa panjang sekali. Belum polarisasi dan segregasi sosial. Kita menyaksikan sendiri betapa polarisasi 2019 terjadi dengan begitu menjijikkan. Kita juga sama-sama tahu bahwa grup-grup Whatsapp itu lebih seperti tong kosong yang nyaring bunyinya. Berisik, mengganggu, dan nir-manfaat.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan menyarankan Anda untuk menonton video di TedTalk tentang sebuah riset yang dilakukan oleh Harvard. Riset ini menanyakan tentang hal apa yang membuat orang bahagia, sehat, dan panjang umur. Jawabannya menarik: relasi sosial. Ini pula yang membuat kita menjadi manusia. Hubungan sosial kita dengan teman, sahabat, keluarga, pasangan, kolega, tetangga, dan seterusnya adalah faktor terbesar yang bisa membuat kita lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih panjang umur.
Relasi sosial itu tidak ditentukan oleh berapa jumlah kenalan yang kita punya, tapi lebih pada hangat atau tidaknya hubungan itu. Satu teman yang hangat lebih berarti daripada 10 teman yang tidak hangat.
Ajaibnya, Nabi SAW 14 abad silam sudah berpesan pada kita supaya kita memperbanyak silaturahmi. Wal akhir, rasa-rasanya kita perlu mengurangi screen time dan menambah people time.