Feature

Teladan Nabi Muhammad: Berita Viral Belum Tentu Benar, Berita Benar Harus Diviralkan

4 Mins read

Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan berbagai gempa atau bahkan tsunami berita politik. Setiap hari kita temukan ada saja hal baru yang mengejutkan dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Namun fenomena berita yang menggegerkan ini bukanlah hal baru.

Dahulu kehadiran Nabi Muhammad di tengah kehidupan masyarakat Arab juga membuat masyarakat gagap. Mereka terkejut dengan berita yang dibawa oleh Nabi. Seketika dakwah Nabi menjadi trending topic perbincangan pejabat tinggi Quraisy di Darun Nadwah. Hal ini direkam dalam permulaan Surah An-Naba ayat 1-5 sebagai berikut:

عَمَّ يَتَسَاۤءَلُوْنَۚ ١ عَنِ النَّبَاِ الْعَظِيْمِۙ ٢ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ مُخْتَلِفُوْنَۗ ٣ كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَۙ ٤ ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَ ٥

1. Tentang apakah mereka saling bertanya? 2. Tentang berita yang besar (hari Kebangkitan) 3. yang dalam hal itu mereka berselisih. 4. Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui. 5. Sekali lagi, tidak! Kelak mereka akan mengetahui.

Memahami ayat tersebut, ada satu kata kunci yang membuat masyarakat Quraisy geger, yaitu al-naba` al-‘azhim. Lantas apa itu al-naba` al-‘azhim? Sebelum menjawabnya, perlu dipahami dahulu arti kata al-naba`. Menurut al-Raghib al-Isfahani dalam kitab al-Mufradat alfazh al-Quran, kata al-naba’ bermakna khabar dzuu fa’idah ‘azhiimah yahshulu bihi ‘ilm aw ghalabatu zhann, kabar yang mengandung faedah besar yang dihasilkan dari ilmu pengetahuan atau persangkaan yang kuat.

Berdasarkan definisi tersebut, berita (al-naba‘) adalah informasi yang mengandung kebenaran dan manfaat yang digali dari pengetahuan yang kuat. Dalam konteks ini, berita buruk, palsu, adu domba, dan ujaran kebencian tidak dapat dikategorikan sebagai berita. Sebab berita itu seharusnya mengandung kebaikan untuk penerima.

Masih menurut al-Raghib, berita yang benar adalah yang berasal dari Allah, Rasul-Nya, dan kesepakatan bersama dalam masyarakat luas yang mustahil mereka sepakat melakukan kebohongan. Inilah yang disebut pesan mutawatir. Meski demikian, pesan mutawatir ini perlu dilihat dengan kacamata pesan keilahian dan kenabian. Sebab jika masyarakatnya bobrok, maka boleh jadi kesepakatan bersama yang diputuskan adalah keburukan pula.

Selain itu, dalam konteks pemberitaan saat ini, ada yang dikenal dengan efek ilusi. Maksudnya adalah berita yang terus-menerus diviralkan, disebarluaskan, meski mengandung kebohongan, pada saatnya nanti akan menjadi kebenaran. Kebohongan yang terus disebarkan akan menjadi kebenaran yang semu.

Baca Juga  Bung Karno adalah Muhammadiyah

Di sinilah penting menggarisbawahi bahwa yang disebut dengan al-naba’ itu bukan sekadar berita basa-basi. Bahkan penyampai al-naba’ (berita) disebut Nabi. Kenabian (al-nubuwwah) sejatinya menjalankan tugas menyampaikan dakwah yang sejalan dengan nilai-nilai rabbani.

Setelah memahami esensi dari kata al-naba’, maka selanjutnya kita perlu memahami apa pesan agung yang membuat masyarakat Arab kala itu bertanya-tanya. Saya membayangkan jika kala itu sudah ada twitter, mungkin Nabi Muhammad akan menjadi ‘selebtwit’ karena cuitannya sering di-reply, di-comment, dan di-share oleh orang Quraisy. Terlepas mereka setuju atau tidak dengan pesan yang dibawa oleh Nabi, tapi esensi viralitas itu hanya satu, yatasaa’aluun, banyak diulas dan dibagikan tanpa batas.

Meski demikian, viral belum tentu benar, tetapi benar sudah selayaknya harus diviralkan. Inilah esensi dari al-naba’ al-azhim, sebagaimana Nabi Muhammad tidak hanya membawa berita yang benar, tetapi juga menyebarkan kabar itu ke seantero negeri. Hal ini membuat orang jadi bertanya-tanya dan saling berdiskusi.

Apa berita agung tersebut? Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan setidaknya ada tiga isi pesan kenabian, yaitu soal Al-Quran yang dinamai wahyu, soal kiamat dan soal kebencian kepada penyembahan berhala.

Pesan pertama adalah Al-Quran. Kitab suci ini adalah berita agung yang diberikan Allah kepada manusia untuk menuntun kehidupan. Tak salah jika Syaikh Abdullah Darraz menulis sebuah kitab berjudul “al-Naba` al-‘Azhiim: Nazharat al-Jadidah fi al-Quran”. Kitab ini berisi argumentasi kemukjizatan Al-Quran dan bantahan bagi mereka yang meragukan otentisitas kitab suci umat Islam ini.

Memang penentang Al-Quran selalu hadir sepanjang masa. Di era modern pun yang mengkritik bahkan menolak kebenaran Al-Quran juga banyak. Tetapi keagungan Al-Quran tidaklah bertambah atau berkurang dengan banyak atau sedikitnya mereka yang mengakui kitab suci ini. Pesan universal yang terkandung dalam Al-Quran cukup menjadi bukti kebenarannya.

Meski demikian, Al-Quran tidak dapat berbicara. Manusialah yang dapat bersuara dan menggemakan pesan Al-Quran. Maka kehadiran Al-Quran menjadi spirit bagi manusia untuk meningkatkan literasi, iqra’, membaca pesan ketuhanan.

Baca Juga  Reformasi Islam: Umat Muslim Jangan Malas Berpikir!

Pesan literasi ini tidak ditangkap sepenuhnya oleh masyarakat Arab kala itu. Mereka justru berdebat dan menyerang sosok kepribadian Nabi Muhammad. Mereka menyebut Nabi sebagai penyair, penyihir, bahkan orang gila.

Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy adalah ad hominem fallacy. Maksudnya adalah kecacatan logika seseorang yang menyerang lawannya bukan berdasarkan substansi argumen, melainkan dengan menyerang kepribadiannya dengan pelabelan yang negatif. Fenomena ini juga banyak kita temui di era digital. Alih-alih mendebat substansi kebijakan, aturan, atau argumen lawan, yang terjadi justru menyebut lawan dengan istilah yang bernada kebencian.

Pesan kedua adalah seputar eskatologis. Orang kafir Quraisy juga menentang dan mendebat Nabi tentang eksistensi hari akhir. Bisakah orang yang sudah mati, menjadi tulang-belulang tercerai berai, dibangkitkan dengan jasad yang utuh?

Pertanyaan tersebut diabadikan Allah dalam Al-Quran Surat Yasin ayat 78-79 berikut:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ ٧٨ قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ ٧٩

78. Dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal penciptaannya. Dia berkata, “Siapakah yang bisa menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?” 79. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Yang akan menghidupkannya adalah Zat yang menciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui setiap makhluk.

Jawaban Al-Quran jelas, “yang menghidupkan adalah zat yang menciptakan pertama kali”. Jawaban ini menggunakan logika dasar manusia. Pencipta adalah yang membuat dan mempunyai blueprint rekaan yang diciptakan, sehingga diotak-atik bagaimana pun, sang pencipta akan bisa membuatnya kembali. Begitulah logika kehidupan yang luput oleh mereka yang penuh dengan nada kebencian.

Lantas apa kaitannya eksistensi hari akhir dengan berita agung? Jika membaca sejarah, maka dapat dipahami bahwa mindset orang Quraisy saat itu adalah mengejar dunia. Kesuksesan diukur dengan strata sosial, harta yang melimpah, dan nasab yang berkelas.

Semangat materialisme ini bisa lahir salah satunya karena disorientasi kehidupan. Sebab mereka hanya mengejar kenikmatan sesaat di dunia, merasa bahwa tidak akan ada hari pertanggungjawaban. Visi hidupnya terlalu pendek dan pragmatis.

Baca Juga  Islam: Agama yang Tak Sekadar Hafalan Belaka!

Sedangkan kesadaran terhadap hari akhir membuat manusia menjadi visioner dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Sebab salah melangkah hanya akan membawa penyesalan yang tiada akhirnya.

Pesan ketiga adalah seputar penolakan terhadap penyembahan berhala. Ini adalah substansi ajaran ketauhidan. Mengapa pesan ketauhidan ini menjadi viral di kalangan masyarakat Arab? Sebab menyembah berhala sudah menjadi tradisi yang mengakar. Tauhid mengajarkan kita untuk mengabdi hanya kepada satu Tuhan, tidak ada perantara untuk menuju Allah.

Pada saat yang sama, ajaran tauhid juga mengajarkan semangat keadilan dan kesetaraan antar manusia bahkan seluruh makhluk. Tauhid menegaskan bahwa yang wajib disembah dan dilayani adalah hanya Allah semata. Tidak ada pelayanan, penyembahan apalagi sampai perbudakan kepada sesama makhluk. Ini adalah semangat keadilan dan kesetaraan berbasis ketauhidan.

Di sinilah korelasi pesan kenabian pada saat Haji Wada’ seputar kesatuan penciptaan manusia. Berikut kutipan khutbah perpisahan Nabi:

“Wahai segenap manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa (Satu), dan nenek moyangmu adalah satu. Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab melainkan dengan takwa itulah. Dan jika seorang budak hitam Abyssinia sekalipun menjadi pemimpinmu, dengarkanlah dia dan patuhlah padanya selama ia tetap menegakkan Kitabullah”.

Dengan demikian, berita viral yang disampaikan oleh Nabi bukan sebatas mencari sensasional. Berita viral yang digaungkan oleh Nabi adalah seputar semangat literasi Al-Quran, visioner kehidupan, serta keadilan dan kesetaraan berbasis ketauhidan.

Pesan yang viral tersebut bisa mengubah hati Umar yang keras dan pemarah menjadi lunak dalam sinaran Islam yang penuh rahmah. Jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, maka informasi yang viral justru memecah belah dan menjauhkan dari tiga spirit kenabian di atas.

Oleh karena itu, melanjutkan teladan Nabi Muhammad, saat ini yang dibutuhkan bukan sebatas viral. Tetapi bagaimana memviralkan pesan yang benar, bukan menyebarkan informasi yang membuat onar.

Editor: Soleh

Avatar
7 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia, Associate Reasercher Laboratorium Studi Quran Hadis (LSQH) UIN Sunan Kalijaga dan co-founder Qur'anic Peace Study Club.
Articles
Related posts
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *