Perspektif

Debat Politik: Sebuah Diskursus Tentang Etika, Kognisi, dan Afeksi

4 Mins read

Melihat wacana yang dilontarkan oleh pasangan capres-cawapres semakin menarik. Terutama wacana yang dilontarkan dalam debat-debat pasangan capres-cawapres yang telah dan akan berlangsung. Pasangan capres-cawapres terus berupaya menarik simpati dan empati publik sebagai pemilih untuk tertarik memilih preferensi dalam Pilpres 14 Februari 2024 nanti.

Dalam hemat penulis, terdapat tiga fenomena komunikasi verbal dalam setiap debat capres-cawapres, yaitu fenomena etika, kognisi, dan afeksi. Tulisan singkat ini bermaksud memaparkan secara singkat ketiga fenomena tersebut dalam konteks wacana atau diskursus.

Ujaran dan Perbuatan

Manusia sebagai penutur bahasa dalam berkomunikasi tidak hanya menyampaikan ujaran atau kalimatnya dengan struktur bahasa atau grammar yang logis dan difahami, tetapi juga dibalik ujaran atau ucapannya terdapat aksi atau perbuatan yang mengiringi tindak tuturnya (perlokusi).

Debat tentunya tidak hanya dimaksudkan untuk tujuan sekedar menggali ide atau gagasan para pasangan capres-cawapres, tetapi lebih dari itu debat juga akan menjadi showcase atau etalase “sederhana” untuk mengukur sejauh mana etika berkomunikasi, pilihan kata atau diksi, register dan juga tingkat kesopanan (politeness) peserta debat.

Debat sebagai forum resmi demokrasi bagi rakyat tentunya menjadi sebuah alat preferensi pilihan politik bagi rakyat. Dengan debat, maka rakyat akan mengetahui secara singkat bagaimana ide atau gagasan program yang disampaikan dan juga lebih penting mengetahui sikap (attitude) dari para capres-cawapres dalam bertindak tutur deklaratif untuk menyampaikan ide, gagasan, kebijakan atau program yang akan disampaikan untuk 5 tahun mendatang.

***

Secara umum ada 3 hal yang patut dijadikan preferensi pilihan oleh para audien atau rakyat dalam menilai penampilan para pasangan capres-cawapres di dalam forum debat. Sejatinya, debat tidak hanya menjadi penilaian oleh para panelis dalam forum, tetapi panelis yang sesungguhnya adalah rakyat Indonesia yang memberikan pertanyaan atau kritik dan gagasan kepada para pasangan capres-cawapres.

Baca Juga  AI dan Islam Berkemajuan

Sebagai sebuah forum akademik dan ilmiah, ada 3 hal yang dapat menjadi parameter bagi rakyat dalam menilai sejauh mana kapasitas, kapabilitas,kompetensi dan kualifikasi para pasangan capres-cawapres. Ketiga hal tersebut adalah parameter kemampuan etika, kognitif, dan afeksi pasangan capres-cawapres dalam forum debat.

Kemampuan kognitif bermakna sejauh mana tingkat penguasaan ilmu, pengetahuan, gagasan, diksi kata atau register, konsep, deskripsi program, solusi, proyeksi dan hal-hal yang berkaitan dengan konsep kenegaraan secara luas yang menjadi wewenang pemimpin negara. Kemampuan afeksi bermakna sikap, perasaan (feelings), kesopanan, etika komunikasi, toleransi, dan gaya pasangan capres-cawapres dalam merespon, menyangkal, menyetujui, mendebat dan tindakan verbal dan non-verbal lainnya terhadap pertanyaan atau sanggahan terhadap individu pasangan capres-cawapres dalam alur tanya – jawab (question and answer) di forum debat. Selanjutnya, yaitu etika berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan kesopanan berbahasa baik verbal maupun non-verbal untuk menjaga hubungan (maintenance) yang baik antar individu yang terlibat dalam komunikasi atau interaksi.

Keseimbangan Antara Etika, Kognisi, dan Afeksi

Debat sebagai sebuah forum komunikasi langsung yang terbatas mengingat adanya ketentuan yang diterapkan dalam berkomunikasi di antara pasangan capres-cawapres adalah merupakan ujian untuk 3 hal yang penulis sampaikan di awal yaitu ujian etika, kognisi dan afeksi.

Penguasaan dalam menjawab terhadap sebuah tema atau topik yang ditanyakan oleh panelis atau pertanyaan langsung di antara sesama individu capres-cawapres tidak kemudian menjadikan individu yang menguasai jawaban atau konsep kemudian secara berlebihan terkesan menggurui, merendahkan, menafikan dan sikap lainnya yang menyinggung perasaan peserta debat lainnya.

Kemampuan kognisi yang mumpuni dibarengi dengan penyampaian yang elegan, berwibawa, tidak menyerang individu, akan semakin berpeluang membuat publik simpati dan menimbulkan preferensi pilihan terhadap individu yang bersangkutan. Sebaliknya, kemampuan kognisi yang diindikasikan dengan menguasai tema atau topik jawaban permasalahan namun terkesan menggurui, meremehkan, dan menjatuhkan akan kurang disukai oleh publik, mengingat budaya komunikasi masyarakat Indonesia yang kurang menyukai open-debate terlebih yang sifatnya “menyerang” personal atau individu capres-cawapres.

Baca Juga  Kyai dan Pesantren dalam Dinamika Politik di Indonesia

Keberanian untuk mengafirmasi atau mengkritisi sebuah kebijakan harus benar-benar berdasarkan fakta dan data yang valid dan menjadi konsumsi publik dari sumber yang kredibel dan bereputasi secara keilmiahan data dan laporannya.

Di sisi lain, dalam ajaran Islam, istilah “adab sebelum ilmu” sejatinya menjadi referensi sosial bagi para capres-cawapres dalam tampil dan berdialektika gagasan di forum debat. Penguasaan terhadap sebuah materi yang merupakan aspek kognisi tidak lantas kemudian mengabaikan etika atau adab dalam menyampaikan ide, gagasan, atau sanggahan yang berbeda dalam menanggapi sebuah perspektif.

Para capres-cawapres sejatinya secara nature tetap mengedepankan etika komunikasi yang elegan dan berwibawa dalam debat dengan fokus pada kritik gagasan atau program, bukan kepada personal matters yang acapkali menjadi titik kelemahan individu.

Power Distance and Politeness

Dalam etika komunikasi, forum debat sejatinya juga dapat dimanfaatkan pasangan capres-cawapres untuk menampilkan profil terbaik mereka dalam berdebat. Kematangan emosi dan rasio menjadi tantangan tersendiri bagi para peserta debat. Posisi otoritas dan status kedudukan politik masing-masing capres-cawapres juga menjadi penilaian publik dalam hal menjaga etika komunikasi dan hubungan kekuasaan atau jarak kekuasaan.

Menurut teori interaksi simbolik (symbolic interactionism) yang dikemukakan oleh Goffman (1959), dalam menjalankan peran sosial (social roles) yang baik maka manusia harus dapat menciptakan dan merawat komunikasi dengan baik. Teori tersebut juga menegaskan jarak sosial (social distance) sebagai karakteristik utama peran sosial. Jarak sosial hanya akan dapat dirawat dengan adanya kesopanan (politeness), karena kesopananlah yang akan mengatur jarak sosial sebagaimana dikemukakan oleh teori kesopanan (Politeness Theory) yang dikemukakan oleh Brown and Levinson, 1987).

Forum debat bukanlah sebuah forum yang main-main. Efek atau output komunikasi verbal (lisan) dan non-verbal (raut muka, bahasa tubuh atau gesture, gimmick dan tindakan bahasa atau ekspresi tubuh lainnya),  sangat bermakna terhadap konstruktif kesopanan yang muncul dan dikesankan oleh individu capres-cawapres peserta debat.

Baca Juga  Maulid: Momentum Menggali Nilai-Nilai Politik Nabi Muhammad Saw

Peserta debat benar-benar diuji untuk dapat mengendalikan emosi, mematangkan rasio dan kognisi, sambil tetap mengedepankan afeksi yang positif, kesopanan dan etika komunikasi selama debat. Peran sosial para tokoh capres-cawapres yang berbeda secara hirarkis pengalaman politik dan pemerintahan dan serta karir akademik, akan mengalami reduksi apresiasi dan simpati dari rakyat apabila mereka “salah” dalam beretika komunikasi dari pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya prompts dari panelis dan membutuhkan jawaban yang komprehensif dan solutif dari berbagai persoalan bangsa yang besar ini di masa kini dan mendatang.

Selamat mempersiapkan debat berikutnya sambil tetap menerapkan strategi meraih simpati preferensi pilihan politik rakyat dengan etika komunikasi dalam debat yang seimbang antara etika, kognisi, dan afeksi.

Editor: Ahmad

3 posts

About author
Rudi Haryono adalah seorang akademisi dan dosen di STKIP Muhammadiyah Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta program studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris. Adapun peminatan kajiannya adalah Ilmu Pragmatik (Pragmatics), Pragmatik Lintas Budaya (Intercultural Pragmatics), Bahasa dan Politik (Language and Politics), dan Isu terkait Kepemudaan (Youth Issues). Saat ini juga penulis aktif sebagai Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor serta merintis dan mengembangkan SMK Muhammadiyah 9 Nanggung (Muhammadiyah Boarding School/MBS) di Kabupaten Bogor.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds