Perspektif

Membongkar Strategi hingga Mitos Politik di Indonesia (2)

3 Mins read

Perpolitikan Indonesia dalam beberapa minggu terakhir semakin menarik untuk dilihat, masing – masing calon berusaha untuk menunjukkan betapa layaknya mereka dalam memimpin negara kita nantinya. Tak terkecuali pada agenda debat capres sesi kedua kemarin, terjadi dinamika yang seru setelah pelaksanaanya. 

Hasil dari agenda debat kemarin menuai hasil positif dan negatif, tidak jarang masyarakat Indonesia khususnya Gen Z ikut memberikan respon atas hasil debat tersebut. Tampak terlihat bahwa studi yang dilakukan terhadap Gen Z mengenai kesehatan mental bisa dibuktikan dengan video-video yang beredar di Tiktok atas respon dari Gen Z mengenai perhelatan debat tersebut.

Ada yang menangis ketika 01 dan 02 menyerang 03, ada juga yang terlalu mendramatisir. Fenomena tersebut sangat seru untuk disimak, yang artinya proses dinamisasi dan demokratisasi yang terjadi dalam negeri mengalami sirkulasi dalam penerapannya. Sehingga, fenomena-fenomena tersebut harus diapresiasi karena proses demokrasi sedang berjalan.

Antara Gen Z dan Kultur Jawa

Jika kita melihat narasi yang ditampilkan dalam sosial media, banyak narasi-narasi yang menunjukan betapa dramatisasinya masyarakat Indonesia khususnya Gen Z dalam menanggapi hasil debat tersebut. Gen Z tidak hanya menangis dalam balutan Drama Korea saja, tetapi dalam pilpres pun masyarakat Indonesia cenderung mendramatisir situasi tersebut, sehingga adanya peningkatan simpati yang terjadi setelahnya.

Survei yang dilakukan IPS (Indonesia Polling Stations) menyebutkan bahwa elektabilitas 02 naik menjadi 51,8% akibat penyerangan yang dilakukan oleh 01 dan 02. Hal tersebut membuktikan bahwa narasi empati yang disebar luaskan oleh timses 02 terbukti berhasil. Keberhasilan tersebut tampaknya harus dilakukan oleh 01 dan 03 untuk mencapai keberhasilan yang sama.

Empati Gen Z

Empati yang ditunjukan oleh Gen z, menandakan bahwa budaya dan norma Jawa masih sangat melekat dalam lingkungan demokrasi kita. Secara serentak, Gen Z menunjukan bahwa mereka kompak dalam mendukung 02 nantinya. Pernyataan atau argumentasi yang disampaikan oleh 01 dan 03 seakan-akan menyerang pribadi dari 02. 

Baca Juga  Covid-19 dan Nilai Kesalingan dalam Keluarga

Mengenai hal tersebut, kita bisa melihat pernyataan dan argumentasi yang disampaikan oleh 01 dan 03, tidak ada yang menyentuh ranah pribadi. Hal tersebut yang harus kita pahami, bahwa mengkritisi kebijakan berbeda dengan menyerang ranah pribadi, karena kita tahu yang dipertanyakan adalah kinerja dari pertahanan itu sendiri. Ditambah lagi, budaya feodal yang ada di masyarakat masih sangat kental terjadi.

Kultur feodalisme yang terjadi pada masyarakat kita menunjukan bahwa negara kita belum siap memakai konsep demokrasi secara utuh. Karena adanya norma-norma masyarakat yang membatasi hal tersebut. Terlebih raut muka yang ditunjukkan oleh 02 adalah sikap mental jawa yang identik dengan pandangan hidup atau way of life.

Pandangan hidup Masyarakat Jawa setidaknya ditunjukkan oleh tiga sikap itu sendiri, yaitu Rila, Nrima, Sabar. Dalam bukunya De S. Jong yang berjudul “Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa” menuliskan bahwa tiga sikap itu merupakan wawasan mental dan batin yang mendasari gerak dan langkah orang jawa itu sendiri. Rila yaitu kesediaan menyerahkan segala milik kepada tuhan, Nrima berarti merasa puas dengan yang sudah ada, dan Sabar ketiadaan hasrat yang bergolak.

Tiga sikap tersebut sangat ditunjukan sebagai sosok orang Jawa, dengan sikap pasrah, sabar, dan nrima. Sehingga simpatisan para pemilih yang mengandalkan emosional akan memiliki rasa empati, akhirnya kita melihat dramatisasi yang terjadi dalam Media Sosial sampai hari ini. Walaupun kita tidak suka dengan dramatisasi yang terjadi, kita harus mengakui bahwa seperti itulah kondisi masyarakat kita saat ini. 

Hindari Gangguan Jiwa

Sikap Gen Z yang terlalu mendramatisir keadaan debat capres kemarin perlu ditanggulangi secara menyeluruh. Jika diabaikan, maka kondisi seperti ini akan semakin dimanfaatkan oleh sekelompok golongan tertentu. 

Baca Juga  Masa Depan Lapangan Pekerjaan di Era Otomatisasi

Kondisi Gen Z yang terlalu mendramatisir dalam psikologi disebut sebagai HSP (Highly Sensitive Person), yaitu karakter seseorang yang memiliki kadar sensitivitas yang tinggi. Bukan sebuah kesalahan jikalau seseorang memiliki karakter, karena ada sisi positif bagi orang yang mempunyai HSP ini yang salah satunya adalah Self Aware. Dan tidak bisa dihindari juga bahwa datanya sebanyak 15-20% populasi manusia di dunia memiliki sifat kepribadian tersebut.

Tetapi jika melihat fenomena tangisan di Media Sosial, tampaknya 20% yang dimaksud adalah masyarakat Indonesia Gen Z itu sendiri. Perlu adanya sebuah pengawalan terhadap Gen Z ini, jangan sampai HSP ini menjadi HPD (Histrionic Personality Disorder), yaitu gangguan jiwa terhadap manusia yang terlalu emosional dan bertingkah selalu ingin menjadi pusat perhatian. Sangat disayangkan jika Masyarakat Indonesia khususnya Gen Z terkena HDP tersebut, apalagi Gen Z sangat diperhitungkan sekali suaranya.

Editor: Faiz

Avatar
5 posts

About author
Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds