Perspektif

Membongkar Strategi hingga Mitos Politik di Indonesia

4 Mins read

Pemilu 2024 akan segera dilaksanakan dalam dua bulan lagi, di masa kampanye ini masing-masing calon menunjukan seberapa menariknya gagasan dan program kerja mereka. Bukan hanya soal gagasan saja, tetapi masing-masing paslon mempunyai ciri khas tersendiri. Untuk paslon satu capresnya diidentikan dengan politik identitas, nomor dua diidentikan dengan gemoy dan untuk yang ketiga diidentikan dengan isu lingkungan.

Stemple yang dilekatkan pada masing-masing calon menunjukkan bagaimana masyarakat kita belum bisa memahami gagasan-gagasan yang akan dijalannkan nantinya. Sebagian masyarakat kita hanya melihat simbol figurnya saja, bukan pada gagasannya.

Survei yang dilakukan oleh LSI Denny JA salah satunya, pada bulan November elektabilitas Prabowo melesat hingga mencapai 41,1% yang salah satunya disebabkan julukan gemoy yang melekat padanya.

Dengan data seperti itu, menunjukan bahwa masyarakat kita masih melihat sosok dan belum melihat gagasannya. Hal yang sama terjadi pada paslon nomor satu, dengan akronim yang mendapatkan respon pro dan kontra, bisa kita lihat bagaimana sebutan Qobul mulai menjadi trending topik, dikarenakan paslon nomor satu menamainya dengan akronim AMIN (Anies & Imin).

Dengan akronim tersebut, cukup banyaknya respon pro dan kontra mengenai julukan AMIN ini. Ada yang menganggap bahwa ini merupakan strategi tersendiri untuk menaikan elektabilitas, ada juga yang beranggapan bahwa isu agama mulai dimainkan. Sehingga ada yang merekomendasikan untuk mengubah kata Aamiin menjadi Qabul ketika selesai berdo’a.

Permasalahan Sosiologis Politik di Indonesia

Sepanjang sejarah Indonesia, pemilu sudah berjalan sebanyak 12 kali dari 1955 sampai 2019 yang lalu. Jika kita melihat dalam rentang waktu tersebut, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 2004 pertama kalinya, dan dimenangkan oleh SBY dan JK. Kemenangan SBY pada tahun tersebut bisa dikatakan menarik, selain Presiden dan Wakil Presiden pertama yang dipilih oleh rakyat, momen tersebut juga merupakan awal mulanya keretakan antara SBY dan Megawati.

Baca Juga  Resiprokal Diri dengan Cara Bermedsos

Selama linimasa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (2004-2019) tidak kita pungkiri, yang selalu memenangkan pemilihan tersebut adalah orang yang berketurunan Jawa. Hal ini merupakan sebuah hal yang lumrah dikarenakan mayoritas penduduk di Indonesia adalah Jawa, hasil sensus penduduk pada tahun 2020 menunjukkan sekitar 56,1% penduduk Indonesia merupakan penduduk Jawa.

Dari data tersebut kita bisa mengetahui bahwa dengan banyaknya penduduk Jawa, sangat memungkinkan jikalau Presiden Indonesia rata-rata berasal dari Jawa. Sebuah pertanyaan akan muncul nantinya, dengan kemenangan yang dimiliki mayoritas penduduk Jawa, apakah selama ini politik identitas dimainkan?

Pertanyaan yang menarik dikarenakan trending nya politik identitas dimulai pada PILKADA 2017. Saat itu Anies Baswedan menjadi lawan politik dari Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dalam merebut 01 DKI Jakarta.

Dalam PILKADA 2017 ada terjadi polarisasi yang berkelanjutan hingga pemilu 2019, terjadinya polarisasi ini dimulai ketika blundernya Ahok dalam pidatonya saat bertemu masyarakat di Kepualaun Seribu. Pernyataan yang digunakan Ahok saat itu telah menyinggung Umat Islam sampai memicu pro kontra.

***

Alfan Alfian dalam bukunya “Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia” menuliskan bahwa Aksi Bela Islam yang menuntut pengadilan direspon oleh pendukung Ahok dengan tema Bhineka Tunggal Ika (anti-Ahok identik “anti Kebhinekaan) sehingga sentimen identitas ini menguntungkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno secara elektoral.

Melihat sejarah dan data tersebut, secara tidak langsung hal itu menunjukkan bagaimana politik identitas sangat terjadi, bukan hanya agama saja yang dipolitisasi, etnis pun juga. Bahkan ada sebuah mitos bahwa Indonesia tidak bisa dipimpin oleh orang non Jawa, mitos ini bahkan masih dipercayai oleh sebagian masyarakat kita.

Baca Juga  Informasi: Yakin Sebarkan, Ragu Abaikan

Dalam tulisan DCSC Asia, bahwa mitos presiden asal Jawa sudah mendarah daging dalam budaya politik Indonesia. Asal usulnya adalah ditandai dominasi Suku Jawa dalam Kepulauan Multietnis pada masa Kerajaan Majapahit dari abad 13-16.

Menurut Alfian, pada akhirnya politik identitas masih merebak disebabkan oleh pemerintah itu sendiri, pemerintah abai dalam mewujudkan nasionalisme berbasis kewarganegaraan, sehingga nasionalismenya berbasis komunal. Lebih dari itu, pendekatan sosiologis juga berpengaruh dalam terjadinya politik identitas.

Perlu diketahui bahwa pendekatan sosiologis merupakan salah satu dari tiga model perilaku pemilih, yaitu sosiologis, psikologis, dan rasional. Tiga model tersebut merupakan pendekatan dalam melihat tindakan seseorang dalam partisipasi mereka terhadap isu tertentu. Sehingga, pola pemilih dalam pemilu bisa terlihat kecenderungan sebab dalam memilih calon atau partai yang dipilih.

Dalam konteks politik identitas, pendekatan sosiologis lebih dominan dikarenakan perilaku pemilih dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, jenis kelamin, dll. Dalam jurnal KPU dituliskan bahwa dalam pendekatan ini, agama, pendidikan, budaya serta variable sosial adalah variabel yang dominan dalam memengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya.

Agama dan Kemanusiaan

Pemberian akronim terhadap paslon nomor satu merupakan fenomena unik karena dengan akronim tersebut, beberapa pihak ingin mengubah kebiasaan Umat Islam agar tidak terkesan politis. Bisa dikatakan, jawaban Aamiin merupakan hal yang selalu dikatakan dalam setiap Ibadah Agama apapun, tak terkecuali Islam. Uniknya, dalam situasi politik Indonesia saat ini, penggunaan kata Aamiin ingin diubah menjadi Qabul.

Berubahnya jawaban do’a ini sempat menuai pro dan kontra bahkan sampai saat ini, ada yang setuju mengubah Aamiin menjadi Qabul dengan tujuan untuk menghilangkan kesan politis. Ada juga yang tetap menggunakan Aamiin karena hal itu adalah kewajiban bagi Umat Islam.

Baca Juga  Muhammad Abduh (3): Kolaborasi dengan Rasyid Ridla Terbitlah Majalah Al-Manar

Dalam kondisi seperti itu, alangkah baiknya Umat Islam tidak terpancing dalam memperdebatkan hal tersebut. Hal yang sangat lucu nantinya, perdebatan mengenai hal tersebut berujung pada keributan dan kekerasan. Sehingga nantinya, MUI mengeluarkan fatwa dalam mempergunakan kata Aamiin ini untuk mengatasi keributan tersebut. Jikalau pada akhirnya keributan itu terjadi tersebut, maka kita harus menata ulang lagi fungsi agama dalam bernegara.

Haedar Nashir dalam bukunya “Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan” menuliskan bahwa jikalau pada akhirnya nilai-nilai eksklusif dalam agama ditonjolkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk menumbuhkan sentimen-sentimen politik yang radikal. Sehingga radikalisasi politik yang bersimbol agama itu akan semakin keras, karena memperoleh nuansa religio magis yang diyakini sepenuh hati dan serba dianggap suci.

Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Buya Syafii dalam bukunya “Membumikan Islam”, beliau menuliskan bahwa dakwah kegiatan-kegiatan politik harus diorientasikan kepada tujuan dakwah. pengintegrasian antara dakwah dan politik merupakan sebuah langkah bagaimana agama bisa menjadi perekat hubungan sosial yang mampu membawa arah politik kita menjadi berkemanusiaan. Jika pada akhirnya kemanusiaan tidak bisa dijunjung pada PEMILU 2024 nanti, alangkah baiknya kita sebagai manusia yang diberikan akal terus menerus berkontemplasi pada kehidupan ini. Mau dibawa kemana arah gerak kita sebagai masyarakat.

Editor: Soleh

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *