Ketika menjadi juri amatiran dalam sebuah lomba artikel esai, saya menyadari betul, betapa pentingnya opening dalam sebuah esai. Harga mati. Opening yang buruk membuat juri malas membaca keseluruhan esai. Dan kalau seluruh esai tidak dibaca, maka Anda sudah tau kelanjutannya.
Tentu saya bukan esais kondang. Jauh dari itu. Hanya pernah sekali dua kali mengisi training kepenulisan, menjadi juri, dan membantu kawan-kawan terdekat merumuskan esainya. Dari pengalaman yang sangat pendek itu, saya ingin berbagi pengalaman. Tentang bagaimana saya –mungkin berbeda dengan Anda– menilai sebuah esai.
Pertama, seperti yang disinggung di atas, hal yang paling penting dalam sebuah esai adalah opening. Yang umum kita temui adalah, penulis pemula biasanya membuka esai dengan latar belakang masalah. Pembukaan seperti ini adalah pembukaan yang biasa saja.
Ada beberapa alternatif untuk membuat esai Anda menjadi ‘tidak biasa’. Misalnya, membuka esai dengan cerita singkat, kutipan, atau bahkan langsung to the point, masuk ke inti permasalahan, tanpa perlu ngalor ngidul terlebih dahulu. Untuk contoh opening cerita, Anda bisa temukan di banyak esai Goenawan Muhammad di Catatan Pinggir Tempo. Untuk contoh opening yang langsung to the point, Anda bisa temukan contohnya di esai-esai Dahlan Iskan di laman Disway.
Kedua, tulis sesuatu yang menarik. Alias jangan menulis isu yang biasa saja. Saya beri contoh begini: “Peran Pemuda dalam Menyebarkan Toleransi”. Artikel seperti ini tentu tidak salah. Tapi, apa spesialnya? Apalagi kalau Anda hanya menulis tentang kenapa anak muda harus ikut menyebarkan toleransi. Artikel seperti ini akan menjadi artikel yang common sense. Membicarakan sesuatu yang mayoritas orang sudah mafhum. Tidak ada nilai urgensinya.
Jadi, kalau Anda mengikuti sebuah lomba menulis esai, lalu ada tema-tema tertentu di situ, carilah pembahasan yang spesifik, unik, dan menarik. Tema dalam lomba tentu selalu bersifat umum. Misalnya: pemuda, toleransi, budaya, olahraga, dan seterusnya. Tapi Anda jangan ikut-ikut menulis sesuatu yang umum. Tidak menarik.
Ketiga, tata kalimat. Saya tidak ingin mengatakan pelajaran Bahasa Indonesia itu penting. Itu debatable. Biarlah para ahli yang bicara. Namun, ketika membaca ratusan esai yang penggunaan SPOK-nya masih salah, saya jadi sedih juga. SPOK ini kan hal yang paling dasar yang digunakan untuk membangun sebuah kalimat. Sependek yang saya ingat, ini diajarkan sejak SMP sampai SMA. Atau malah sejak SD? Tapi kok masih banyak yang salah.
Tata kalimat ini juga berhubungan dengan panjang pendeknya sebuah kalimat. Kalau Anda belum menemukan gaya menulis yang hebat, saran saya sederhana: selalu perpendek kalimat. Memendekkan kalimat ini, selain bisa membuat susunan kalimat Anda menjadi relatif lebih benar, juga memudahkan pembaca memahami maksud kalimat. Secara umum, semakin pendek kalimat, semakin mudah ia dipahami, dan semakin benar susunan kalimatnya. Kecuali, lagi-lagi kualitas tulisan Anda sudah seperti GM, yang tulisannya ndakik-ndakik, menggunakan banyak majas, dan penuh emosi yang mendalam.
Hal yang sama juga berlaku bagi paragraf. Di artikel jurnal, paragrafnya relatif lebih panjang daripada paragraf-paragraf yang ada di esai. Di esai, semakin pendek paragraf, semakin bagus.
Keempat, pemilihan diksi yang mudah. Tentu tak bisa dipungkiri, beberapa orang membuat dirinya terlihat keren dengan menulis. Terutama menulis menggunakan bahasa kelas kakap. Bahasa yang akademik dan intelektuil. Itu bagus, sangat bagus. Tapi kita perlu melihat audiens. Menulis esai untuk dimuat oleh web semacam IBTimes dengan pembaca yang beragam jangan samakan dengan menulis artikel akademik di sebuah jurnal terindeks Scopus.
Parameternya sederhana: tulisan yang baik adalah tulisan yang mudah dipahami. Ketika tulisan Anda sulit dipahami, walaupun menggunakan bahasa-bahasa yang sangat intelektual, untuk apa?
Kelima, lihat formatnya. Kesalahan format ini juga sering mengganggu. Menulis esai di web/blog dengan artikel ilmiah itu berbeda. Formatnya berbeda. Jangan juga terjebak dengan format artikel-artikel tutorial yang tersebar di berbagai media. Coba Anda search “bagaimana cara menghilangkan sendawa” di Google. Nah artikel-artikel yang muncul itu adalah artikel-artikel tutorial yang biasanya menggunakan banyak pointer atau poin-poin. Format seperti ini juga berbeda dengan format esai biasa. Jadi, pastikan Anda tau Anda sedang menulis untuk keperluan apa.
Misalnya, kalau menulis esai lepas, maka sah-sah saja sekali-kali keluar dari pakem PUEBI atau menggunakan bahasa-bahasa non formal. Namun, pastikan menggunakannya dengan cara yang tepat.
Pada intinya adalah, setiap esai selalu mengandung dua sisi. Pertama, isi, substansi, gagasan yang ingin disampaikan penulis. Kedua, kemasan. Kalau Anda membeli permen, Anda akan diberikan dua hal, yaitu permen itu sendiri dan juga bungkusnya. Mana yang lebih penting, permen atau bungkus permen? Tentu keduanya penting.
Maka, selain fokus pada gagasan yang ingin disampaikan, seorang penulis juga perlu fokus pada kemasan. Bagaimana kita bisa mengemas esai kita dengan baik. Biasanya, penulis pemula akan fokus 100% pada isi gagasan dan sama sekali tidak mengindahkan bagaimana esai tersebut dikemas dengan baik.
Sebaliknya, penulis-penulis kondang –sebut saja GM, Mahbub Djunaedi, dan Iqbal Aji Daryono– akan memberikan porsi yang besar pada kemasan. Kalau saya amati, 50% dari isi esai mereka adalah bumbu-bumbu penyedap. Bisa berupa cerita, perumpamaan, analogi, humor, dan seterusnya. (Untuk belajar menggunakan humor dalam esai, baca esai-esai Mahbub Djunaedi atau artikel-artikel di Mojok, terutama artikel-artikel lawasnya). Sementara, hanya 50% lainnya yang bicara tentang inti gagasan yang ingin disampaikan.
Saya rasa penting juga bagi penulis pemula untuk membaca esai-esai terbaik yang pernah dibuat sebelumnya. Anda bisa menemukan esai-esai besar di internet. Kalau mau agak keren, Anda bisa membaca buku Inilah Esai karya Muhidin M Dahlan. Baca esai-esai dari penulis-penulis besar. Pelajari bagaimana cara mereka menuangkan gagasan. Kalau tertarik, duplikasi gaya mereka. Menduplikasi gaya kan tidak salah. Toh gaya tidak punya hak cipta.