Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim dalam Pandangan Al-Faruqi

4 Mins read

Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya seputar proyek islamisasi sains. Al-Faruqi merupakan ilmuwan yang produktif. Lebih dari dua puluh buku dan seratus artikel dalam berbagai bidang ilmu telah ditulisnya.

Beliau meninggal dibunuh bersama istrinya, Dr. Lois Lamya Al-Faruqi, pada tanggal 27 Mei 1986 oleh orang tak dikenal. Ada indikasi pembunuhan tersebut terjadi karena sikap kritisnya terhadap penjajahan Zionis.

Krisis Dunia Islam

Empat tahun sebelum kepergiannya, Al-Faruqi sempat menulis sebuah risalah yang amat berharga bagi para insan akademis yang berjudul Hisab ma’a al-Jami’iyyin (الجامعيين حساب مع). Risalah tersebut berisi tugas dan tanggung jawab yang semestinya diemban oleh para akademisi muslim dalam menangani berbagai krisis yang menimpa dunia Islam.

Al-Faruqi melihat bahwa krisis yang melanda dunia Islam sangatlah kompleks. Mulai dari konfrontasi militer dengan Zionis-Israel dan para kroninya (mujabahah al-askariyah ma’a Israil ma’a man yad’umuha), ketidakkompakan negara-negara Islam dalam membangun kekuatan (inqisamat ad-duwal al-Islamiyyah), eksploitasi sumber daya alam di negara-negara Islam oleh Barat, hingga kondisi negara-negara Islam yang tidak berdaulat dalam berbagai bidang industri.

Al-Faruqi juga memberikan kritikan terhadap fenomena menggelikan yang muncul di banyak negara Islam. Beliau melihat beberapa negara Islam (dalam konteks tahun 80-an) meninggalkan pengembangan industri strategis yang mampu memberikan dampak signifikan bagi perekonomian umat. Negara-negara tersebut memutuskan berpindah haluan ke arah industri kosmetik dan kecantikan. Betul-betul pragmatis.

Selain itu juga, banyak negara Islam memilih menjadi bangsa konsumen, bukan produsen. Mereka lebih senang bergantung dengan bangsa lain dibandingkan berupaya membangun sentra-sentra industri yang mampu menjadikan bangsanya berdaulat.

Baca Juga  Bagaimana Seharusnya Sikap Seorang Muslim dalam Pemilu?

Prof. Dawam Raharjo juga sempat melontarkan kritikannya. Beliau menyampaikan bahwa negara-negara Islam belum ada yang berhasil menjadi negara industri. Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab bisa menjadi negara kaya bukan karena menjadi negara industri. Tapi, karena kekayaan alam berupa minyak bumi yang dimilikinya. Dan itu pun berhasil diolah bukan dengan bantuan teknologi canggih dari negara-negara Islam, tapi dari Barat terutama Amerika yang selama ini dianggap sebagai musuh Islam.

Fakta empirik ini tetap saja masih ada yang membantah dengan mengatakan bahwa negara-negara Timur Tengah bisa menjadi kaya karena faktor kedekatan masyarakatnya dengan Tuhan. Tidak sedikit umat Islam yang menyimpulkan demikian. Tak heran, jika nalar semacam ini terus berkembang karena sering disampaikan di mimbar-mimbar masjid oleh para penceramah yang tidak memiliki wawasan geopolitik dan tidak memahami duduk permasalahan beragam permasalahan keumatan. Imbasnya, umat terjatuh ke dalam sikap apatis terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (burhani) dan memilih menenggelamkan diri dalam samudera ritual keagamaan saja.

Saatnya Umat Islam Bangkit

Al-Faruqi mengutip ucapan Malik Bennabi, “La isti’mar duna qabiliyah lil isti’mar” (tidak ada penjajahan kecuali kita sendiri yang memang bersedia untuk dijajah). Kalimat tersebut selayaknya menjadi pemantik kesadaran yang mengilhami setiap umat Islam. Sikap pasrah, lesu, dan malas untuk maju merupakan tanda kesediaan kita untuk terus dijajah oleh bangsa lain. Meskipun bukan penjajahan secara fisik seperti yang dilakukan Zionis terhadap Palestina, namun penjajahan dari aspek ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik.

Seluruh penjajahan tersebut akan terus terjadi jika umat masih terlelap dalam kebodohan. Bodoh terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Al-Faruqi berpesan kepada setiap mahasiswa/akademisi muslim agar belajar dengan serius. Terutama bagi mereka yang sedang menempuh studi di Barat, agar memiliki kesadaran bahwa mereka adalah duta yang sangat diharapkan untuk memajukan bangsanya.

Baca Juga  Relasi Pendidikan dan Tauhid ala Ismail al-Faruqi

Oleh karena itu, mereka harus sungguh-sungguh dalam belajar ketika di sana. Jangan tanggung-tanggung dalam menyerap seluruh ilmu yang ada, agar umat tidak lagi bergantung dengan pihak lain. Jangan sampai yang muncul di dalam hati dan pikirannya sebatas ingin mendapatkan ijazah, agar setelah lulus mendapatkan pekerjaan yang nyaman bagi dirinya.

Al-Faruqi memandang bahwa penguasaan terhadap ilmu pengetahuan akan menjadi solusi atas banyak problema yang menimpa umat. Tentu saja yang dimaksud Al-Faruqi di sini bukan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tapi yang terintegrasi dengan agama, akhlak, dan aksi nyata. Di situlah para akademisi muslim dituntut agar dalam mengembangkan sekaligus menyebarkan ilmu pengetahuan tidak memisahkan antara agama dari kehidupan (taqthib ad-din muqabil al-hayat), akhlak dari pengajaran (taqthib al-akhlaq wa ta’lim) dan pemikiran dari perbuatan (taqthib al-fikr muqabil al-‘amal).

Selama ini kita beranggapan bahwa berislam yang baik adalah meninggalkan kehidupan duniawi dan tidak terlalu peduli dengan segala urusan keummatan. Sehingga setiap kali umat didera krisis, kita memilih berpangku tangan dan menunggu kekuatan dari langit untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut dalam sekejap mata. Sekali lagi Al-Faruqi mengingatkan, jika pikiran-pikiran semacam itu yang mendominasi isi kepala umat, maka itu menunjukkan bahwa kita adalah umat yang lesu, malas, dan sakit-sakitan. Apakah mungkin dengan kondisi semacam itu kita bisa bangkit?

Penghalang itu Bernama Dualisme

Penjajahan di masa lalu di negara-negara Islam melahirkan dualisme. Sebagian umat Islam sangat terpukau dengan segala kemajuan dari Barat dan ingin mengadopsinya secara total. Di sisi lain, terdapat umat Islam yang ingin mempertahankan agama dengan cara konsevatif. Bagi Al-Faruqi, kedua jenis pendekatan ini akan menghasilkan generasi dengan kelemahannya masing-masing.

Baca Juga  Pendidikan dan Permasalahan Pelajar di Masa Pandemi

Generasi pemuja Barat mungkin saja akan memiliki penguasaan sains modern yang unggul, namun kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai umat Islam. Mereka juga tidak mempunyai pandangan peradaban yang jelas. Sedangkan kubu konservatif hanya mencukupkan diri dengan nilai-nilai tradisionalisme dan tidak mengenal sains modern. Bagi mereka, religiusitas dimaknai sebatas dengan menjalankan ritus keagamaan. Semakin pandai seseorang mengulang-ulang membaca ayat suci dan sabda Nabi, maka diposisikan kedudukannya lebih terhormat dibanding ilmuwan.

Maka tak mengherankan jika kita hidup dalam lingkungan konservatif semacam ini, kita akan menjumpai para pengkhotbah yang pandai mengutip ayat suci dan mengaitkannya dengan fenomena sains kealaman akan lebih dipercaya ucapannya dibanding dengan ilmuwan yang otentik dan memiliki kapasitas di bidang tersebut. Dan rasanya fenomena ini terus menggejala hingga sekarang di tengah umat.

Al-Faruqi menegaskan bahwa dualisme semacam ini hanya bisa diselesaikan di universitas. Kampus memegang peran vital menghilangkan dualisme melalui pendidikan. Kampus harus bisa menjadi mercusuar yang mampu mengintegrasikan antara sains modern dengan identitas keislaman. Dan itu semua menjadi tugas yang harus diemban oleh setiap insan akademisi muslim.

Editor: Soleh

Muhammad Fikri Hidayattullah
7 posts

About author
Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama dan Koordinator Madrasah Fiqih Sumber Ilmu
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds