Oleh : Alif Syuhada
Djazman: Latar Belakang dan Kontribusi
6 September 1938, bumi Yogyakarta mungkin tidak mengira bahwa anak lelaki yang lahir dan tumbuh besar di lingkungan keraton kesultanan itu kelak menjadi tokoh penting dalam Muhammadiyah. Anak lelaki itu diberi nama Djazman Alkindi oleh ayahnya, KRT Wardan Diponingrat, seorang penghulu keraton Yogyakarta. Djazman tumbuh besar di Yogyakarta hingga menamatkan gelar sarjana muda sastra dan kebudayaan serta sarjana Geografi di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1965. Pengembaraan Djazman berlanjut ke Montreal, Canada, Amerika Serikat saat mengambil program Non Degree di Institute of Islamic studies McGill University pada tahun 1974 sampai 1975.
Djazman tidak berambisi membangun karier akademik. Ilmu yang ia cari hingga ke belahan benua Amerika digunakan untuk membaktikan diri kepada persyarikatan, bangsa, dan masyarakat. Djazman memulai pengabdiannya dari lingkup kecil sebagai guru di SMA Muhammadiyah Yogyakarta hingga ditunjuk sebagai Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 dalam usia relatif masih sangat muda. Djazman juga pernah tercatat di keanggotaan DPR GR/MPR sebagai staf ahli Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) pada tahun 1966-1971.
Jasa Djazman untuk Muhammadiyah sangat banyak. Ia adalah tokoh kunci berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Organisasi otonom Muhammadiyah yang cukup berpengaruh dalam dunia gerakan pemuda Indonesia ini ia dirikan pada 14 Maret 1964. Pada tahun 1961 kemudian turut tergabung sejumlah tokoh yakni Rosyad Soleh, Soedibyo Markoes, Amien Rais, Yahya A. Muhaimin, dan Marzuki Usman sebagai generasi pertama IMM atau tokoh pendiri IMM. Bahkan Djazman juga disebut sebagai salah satu “bidan” kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
***
Dari sekian banyak lembaga yang digeluti, minat terbesar Djazman jatuh pada upaya membangun manusia berkualitas, baik melalui pendidikan formal maupun perkaderan. Minat tersebut terlihat dari terobosan yang ia ciptakan untuk Muhammadiyah maupun dalam curahan pemikirannya yang dikumpulkan oleh kader-kadernya yang setia dalam buku Warisan Intelektual Djazman (Suara Muhammadiyah, Yogyakarta : 2018). Sebab itu, tidak salah jika Djazman dikenal sebagai Bapak Perkaderan Muhammadiyah.
Djazman adalah orang pertama yang menyusun perkaderan Muhammadiyah secara sistematis, formal, berjenjang, dan massif yang belum pernah ada sebelumnya di Muhammadiyah. Konon Djazman juga merupakan pendiri Majelis Perkaderan Muhammadiyah (MPM). Konsep perkaderan Djazman terus digunakan oleh Muhammadiyah hingga saat ini, salah satunya adalah pondok kader Hajjah Nuriyah Shabran.
Pendidikan formal juga menjadi perhatian Djazman, terutama perguruan tinggi. Djazman adalah orang yang memprakarsai berdirinya Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tahun 1979 dengan menggabungkan IKIP Muhammadiyah dan IAIM (Institute Agama Islam Muhammadiyah).
Berdasarkan pengalaman hidup Djazman diatas, maka tulisan ini hendak mengulas gagasan perkaderan Djazman dalam hal-hal yang substansial. Perkaderan adalah isu yang tidak akan habis sebab perkaderan adalah keharusan bagi suatu organisasi. Muhammadiyah perlu membuka kembali gagasan dan terobosan yang telah dilakukan bapak perkaderan Muhammadiyah, khususnya pada penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke 107 yang sebentar lagi akan dilaksanakan,
Djazman: Man of Thinking and Man of Action
Secara substansial, kader ideal menurut Djazman harus memiliki 2 karakter yakni man of thinking and man of action. 2 karakter tersebut dapat dimaknai sebagai manusia yang mampu berpikir dan bertindak. Hal ini terungkap dalam di akhir esainya berjudul Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal dan Pemikiran (Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan, Tiara Wacana : 1990).
Djazman menekankan bahwa 2 karakter diatas harus dimiliki oleh Muhammadiyah. Kordinasi antara man of thinking dan man of action diperlukan untuk meningkatkan kualitas gerakan amal Muhammadiyah. 2 karakter kader ideal diatas juga ditemukan dalam bahasa yang berbeda dalam 6 Penegasan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yakni Ilmu Amali dan Amalul Ilmiah.
Konsep man of thinking sangat berkaitan erat dengan kegelisahan Djazman sendiri mengenai perubahan zaman yang banyak mewarnai esainya. Perubahan zaman tidak akan dapat dicegah dan tidak pernah meminta persetujuan manusia. Perubahan zaman memaksa manusia untuk memilih antara mengikuti atau dihancurkan.
Banyak sikap manusia yang lahir di bawah tekanan berat dua pilihan tersebut. Mereka ada yang mengambil sikap rendah diri dengan seketika membuang keyakinan lamanya dan menerima perubahan tanpa pemikiran kritis atau sebaliknya, menolak mentah-mentah perubahan. Jika dua sikap tersebut yang menjadi pola pikir suatu organisasi, maka dapat dipastikan organisasi tersebut akan hancur oleh perubahan zaman.
***
Tantangan perubahan membutuhkan kader dengan karakter man of thinking yang mampu membawa nilai-nilai Muhammadiyah tetap relevan dalam segala zaman. Sebab itu, ketiadaan man of thinking dalam Muhammadiyah akan menyebabkan persyarikatan tidak mampu menjawab kebutuhan manusia kedepan dan semakin ditinggalkan oleh pengikutnya.
Kebutuhan man of thinking itu sendiri juga bersumber dari internal Muhammadiyah yang sejak awal berdirinya tidak menekankan diri dalam pemikiran, melainkan pada praktik. Hal tersebut diungkap Djazman dalam esainya Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal dan Pemikiran (Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan, Tiara Wacana : 1990). Djazman menyebut kearifan Ahmad Dahlan terletak pada melihat agama dalam aspek praktikal sampai detail bukan pada intepretasi teoritik yang tidak siap menjadi pedoman seorang untuk beramal.
Pilihan Ahmad Dahlan untuk menekankan praktik agama Islam memang tepat untuk zamannya. Masyarakat yang dihadapi Ahmad Dahlan belum siap untuk diajak melangkah pada pengembangan pemikiran Islam. Sebab itu, gerakan Muhammadiyah saat itu masih sebatas pada pengadaan fasilitas seperti pendidikan, rumah sakit, maupun panti asuhan. Praktik Islam secara kongkrit yang dilakukan Ahmad Dahlan sekaligus sebagai kritik atas kondisi Islam yang saat itu hanya menekankan aspek ritual keagamaan saja.
***
Gerakan amal yang menjadi ciri khas Muhammadiyah tersebut kemudian menyisakan problematika tersendiri seiring berjalannya waktu. Muhammadiyah dianggap oleh berbagai pihak mengalami stagnasi pemikiran. Kepemimpinan Muhammdiyah dianggap hanya bersifat birokrasi pengelola amal usaha Muhammadiyah (AUM) saja. Gaya birokrasi tanpa nilai pemikiran hanya menjadikan AUM sebagai lapangan pekerjaan semata, bukan gerakan untuk menggermbirakan amal Islam. Penekanan pada aspek kegiatan ekonomi amal usaha membuat Muhammadiyah kering dari produk-produk pemikiran Islam. Padahal produk pemikiran Islam sangat dibutuhkan jika Islam ingin tetap eksis menghadapi tantangan perubahan zaman.
Djazman akhirnya menaruh harapan besarnya kepada kader-kader Muhammadiyah setelah banyak mengulas pemikiran Islam melalui esainya. Sepandai-pandainya pemimpin organisasi, ia dibatasi oleh kematian. Sebab itu, jantung organisasi terletak pada kader. Jika kader lemah maka seluruh organisasi akan lumpuh.
Sayangnya, kita menghadapi sebuah ironi sepeninggal Djazman. Kita menjumpai sedikit kader yang berasal dari Ortom Muhammadiyah maupun perguruan tinggi yang mau membaktikan diri untuk Muhammdiyah dengan sebenar-benarnya. Jika hal ini terus berlanjut akan memperlemah persyarikatan. Sebab itu, Tantangan kaderisasi adalah tantangan besar bagi Muhammadiyah di usia 107 tahun.