Falsafah

Etika dan Politik Dalam Benak Aristoteles

5 Mins read

Tak bisa dipungkiri bahwa hakikatnya, negara ideal menurut Aristoteles, dari segi ukuran adalah seperti polis atau city state, dikarenakan negara memiliki jenjang tertinggi dari satuan keluarga dengan desa. Negara memiliki kekuasaan mutlak dan absolut. Ada tiga bentuk negara menurut Aristoteles, yakni monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dari ketiga bentuk negara tersebut, yang paling mungkin dalam kenyataan adalah bentuk demokrasi atau politeia (polis).

Demokrasi seakan memiliki konotasi negatif dan Aristoteles tidak menyebutnya untuk negara ideal. Aristoteles membedakan bentuk pemerintahan berdasarkan dua kriteria pokok, yaitu jumlah orang yang memegang pucuk pemerintahan dan kualitas pemerintahannya. Pertanyaannya adalah, adakah relasi antara etika, politik dan hukum dalam negara.

Dialektika Etika dan Politik

Syahdan. Etika dan politik tetap menjadi dua karya Aristoteles yang paling relevan. Dikatakan relevan, karena merupakan batu loncatan terbaik untuk pertimbangan masalah, walaupun jawaban Aristoteles tidak pantas bag banyak orang. Namun, pertanyaan yang diajukannya sama pentingnya dizaman sekarang.

Tujuan etika adalah untuk menemukan tujuan akhir manusia, utamanya menekankan teleologi. Etika termasuk dalam kategori ilmu pengetahuan praktis, karena perhatiannya bukan untuk kepentingan sendiri melainkan untuk kepentingan aplikatif. Itu sebabnya, tak heran jika Aristoteles pertama kali menyadari bahwa kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi karena semua barang lainnya bersifat intermediate. Sementara kebahagiaan bersifat final.

Kita mengejar barang lain untuk mencapai kebahagian, tetapi kebahagiaan memiliki harga sendiri. Masalahnya kemudian menjadi pertanyaan tentang cara untuk mencapai kebahagiaan. Kesenangan adalah motivasi di balik banyak tindakan. Namun hal itu menempatkan manusia pada tingkat seperti hewan. Kehormatan adalah kemungkinan lain, tetapi justru penekanannya adalah pujian dari orang lain. Aristoteles menyimpulkan bahwa sarana kebahagiaan dan karenanya tujuan eksistensi manusia adalah kebajikan.

Kenapa demikian? Karena kebajikan melibatkan kebiasaan dan pilihan. Dengan membuat keputusan yang tepat, akhirnya kita mengembangkan kebiasaan atau disposisi yang baik, sehingga kita tidak perlu memikirkan semua pilihan yang dapat dibuat setiap kali dilema moral muncul. Sebaliknya, kita bertindak sesuai dengan disposisi kita, yang telah dibudidayakan oleh pilihan masa lalu.

Akhirnya kemudian, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana kita membuat pilihan yang tepat? Bagi Aristoteles, pilihan yang salah adalah memilih di antara dua ekstrem, yakni kelebihan dan kekurangan. Sebagai contohnya, antara pemborosan dan ketidakmampuan ada letak disiplin diri, antara ketaatan dan kesengitan ada keramahan.

Baca Juga  Hikmah dan Filosofi Seekor Nyamuk

Aristoteles kemudian membahas konsep keadilan, yang menurut dia ada dalam dua bentuk. Pertama, pengertian umum tentang kebajikan moral. Kedua, contoh tertentu dari sebuah kebajikan yang sedang dilakukan. Peradilan khusus dibagi lagi menjadi distributif dan remedial. Hal yang pertama, penting sesuai dengan distribusi sumber daya yang sebanding dengan manfaat; sementara yang terakhir, berkaitan dengan pembetulan kesalahan.

Setelahnya, kemudian masalah continence dan incontinence, yaitu kekuatan atau kelemahan kehendak. Sementara Socrates percaya bahwa semua kesalahan timbul dari ketidaksadaran. Aristoteles mengambil pandangan yang lebih intuitif bahwa kita mengenali hal yang benar namun gagal melakukannya.

Untuk menunjukkan cara orang yang incontinence, sebenarnya sadar dan mengetahui yang baik. Aristoteles mengatakan bahwa, orang tersebut memiliki pengetahuan secara potensial namun tidak sebenarnya. Pada orang incontinent, hasrat mencegah potensi pengetahuan untuk teraktualisasikan pada saat momen kritis.

Aristoteles menyimpulkan etika dengan cara mendiskusikan tentang bentuk kebahagiaan tertinggi, yakni kehidupan permenungan intelektual. Alasan itulah yang membedakan manusia dengan hewan, latihannya membawa manusia pada kebajikan tertinggi. Saat dia menutup argumen tersebut, dia mencatat bahwa kehidupan kontemplatif semacam itu tidak mungkin dilakukan tanpa lingkungan sosial yang sesuai. Dan, lingkungan semacam itu tidak mungkin dilakukan tanpa pemerintah yang sesuai. Dengan demikian, akhir etika memberikan segel yang sempurna ke dalam politik.

Rupanya, buku Politik karya Aristoteles dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama menawarkan pengantar ilmu politik, topik berikutnya membahas politik praktis, dan yang terakhir mempertimbangkan keadaan ideal. Secara keseluruhan, karyanya telah dikritik karena tidak teratur dan terputus-putus, namun ilmuwan lain juga mempertanyakan karya Aristoteles tersebut.

Dialektika Negara Kota

Aristoteles memulai dengan diskusi tentang negara kota. Dia lebih memilih unit yang lebih kecil dibanding negara nasional karena menurut Aristoteles, pemerintah yang ideal harus mengizinkan negara bertemu dalam satu majelis tunggal. Unit yang paling dasar semua warga sebenarnya adalah keluarga, dan rumah tangga bergabung bersama untuk membentuk desa. Desa-desa bergabung bersama untuk membentuk sebuah negara kota, yang merupakan bentuk asosiasi paling bagus karena bisa berdiri secara mandiri.

Baca Juga  Henri Bergson: Meraih Kebebasan Hidup dengan Intuisi

Lalu, perkembangan negara kota itu alami, terlebih lagi asosiasi semacam ini adalah kondisi yang alami bagi individu. Dengan demikian, argumen tersebut menjadi teleologis. Bahwa, prtisipasi dalam sebuah komunitas adalah kewajiban manusia. Dan ini merupakan satu-satunya cara untuk melatih kemampuannya dalam menemukan kepuasan.

Karena Aristoteles memandang orang-orang non-Yunani, khususnya orang-orang Persia, sebagai orang-orang barbar yang pantas untuk diperintah. Lalu juga menyatakan dukungan untuk perbudakan. Sejalan dengan penalaran teleologisnya, dia percaya bahwa budak hanya dimaksudkan untuk diperintah dan digunakan sebagai alat atau properti.

Di sisi lain, dia menunjukkan tanda-tanda kebaikan dan pengertian dalam penalarannya. Dia percaya bahwa budak itu mampu beralasan dan bahkan memberinya hak untuk mengharapkan kebebasan. Selain itu, dia menyadari bahwa ada kesulitan praktis dalam menentukan pihak yang secara alami dimaksud untuk perbudakan, khususnya masalah perbudakan akibat perang.

Aristoteles menawarkan pendapatnya tentang berbagai sistem pemerintahan dan konstitusi. Individu hadir dimaksudkan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan kota. Pemerintah pada gilirannya harus mempromosikan kehidupan yang baik kepada warganya. Ini juga tanpa menyampingkan bentuk-bentuk seperti oligarki (pemerintah oleh beberapa orang). Sebab, dalam praktiknya sistem semacam itu pasti akan didasarkan pada kekayaan dan promosinya.

Justru, Aristoteles malah menganjurkan beberapa bentuk demokrasi, meski ia berhati-hati untuk menekankan perlindungan yang harus menyertainya. Keadaan yang dia sarankan untuk dunia praktis memang memiliki unsur oligarki, atau setidaknya aristokrasi, karena Aristoteles berpikir perlu membuat perbedaan di antara warga negara untuk kompetensi.

Dalam beberapa hal, relevansi langsung politik dengan negara kota sulit untuk dilihat. Di sisi lain, gambaran Aristoteles tentang hubungan antara individu dan masyarakat terus mengilhami visi para filsuf politik yang memberikan cetak biru kasar politik praktis.

Pemerintahan demokratis bagi Aristoteles bukanlah sesuatu yang ideal, melainkan hanya bentuk yang paling bisa berjalan. Preferensi personalnya terhadap monarki sangat jelas terlihat dalam bukunya, Politics. Dia memberikan sedikit dukungan pada proposisi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan watak manusia, baik dari sudut pandang teoretik maupun praktik.

Baca Juga  Frédéric Bastiat, Upaya Memastikan Hukum untuk Keadilan

Meskipun selalu menentang Plato, namun Aristoteles sepakat dengan Plato tentang sifat negatif dari demokrasi. Menurutnya, definisi kebebasan sebagai orang hidup bebas sesuai kehendaknya sendiri, dan demi keinginan sendiri adalah tidak benar. Namun, seperti yang ditulisnya dalam Politics, “Rakyat, secara individu berpeluang besar untuk dikuasai oleh amarah, atau dikuasai oleh perasaan lainnya sehingga, ini membuat penilaian atau keputusan yang menyesatkan.”

Tak berhenti disini, Aristoteles menganggap suatu rezim akan menjadi ideal ketika rezim itu merupakan perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi. Adapun menurut Aristoteles, rezim tersebut akan berjalan dengan baik jika benar-benar memadukan (anggota-anggota) dari berbagai kelas yang digabungkan menjadi satu komunitas tunggal. Ini berarti demokrasi yang terbatas, yang disebut juga: sebagai polity, suatu paduan organis demokrasi dan aristokrasi (dalam pengertian bahwa para pejabatnya adalah sekolompok kecil orang pilihan).

Secara keseluruhan bagi Aristoteles, suatu negara bisa dikatakan ideal jika, di dalam suatu negara dapat menghasilkan dan mendukung suatu kelas dari orang-orang terhormat yang berbudaya seperti dirinya. Biarpun dia menyadari bahwa semua itu tidak mungkin terjadi.

Lebih dari itu, Aristoteles beranggapan, jika ingin memperoleh sebuah tujuan negara, yang dianjurkannya adalah cara mempertahankan tirani yang sepenuhnya. Aristoteles juga beranggapan bahwa untuk menjalankan suatu pemerintahan tirani yang tepat, perlu diciptakan kebijakan ketat. Adapun maksudnya adalah kegiatan kultural yang bersifat liberal harus dilarang dan rakyat pun harus selalu dibuat takut, miskin, dan siap bekerja untuk membangun monumen-monumen publik yang dahsyat.

Selain itu, keadaan juga kadang-kadang harus diselingi dengan perang untuk membuat rakyat tetap waspada dan memperlihatkan kebutuhan mereka untuk mempertahankan pemimpin yang hebat. Konstitusi yang ideal itu menurut Aristoteles, semacam campuran dari oligarki, pemerintahan orang-orang tertentu berdasar pada harta, darah, atau keturunan, kedudukan, pendidikan, dan sebagainya. Aristoteles juga telah membagi kenegaraan dalam fungsi pembahasan, ini harus diletakkan di atas segalanya, baik berlaku pada oligarki atau demokrasi, maupun penguasa yang sebetulnya juga tahu untuk bersikap patuh dan tunduk. Wallahu a’lam bisshawaab.

Editor: Soleh

Salman Akif Faylasuf
58 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds