Perspektif

Dilema Aaron Bushnell Membela Palestina, Mengapa Berujung Ekstrem?

8 Mins read

Pada 25 Februari 2024, seorang penerbang aktif Angkatan Udara Amerika Serikat, Aaron Bushnell, melakukan bakar diri (self-immolation) di luar Kedutaan Besar Israel di Washington, D.C. sebagai bentuk protes atas dukungan Amerika Serikat untuk Israel dalam perang Israel-Hamas dan meneriakkan satu kata: “Free Palestine!”

Empat bulan sebelum kejadian Bushnell, sekira pukul 6:30 pagi Waktu Musim Panas Israel (UTC+3), 7 Oktober 2023, “kolaborasi pejuang Palestina”—dari sayap para militer Hamas, Jihad Islam Palestina, PRC, PFLP, dan DFLP—meluncurkan serangkaian serangan bersenjata terkoordinir ke wilayah Israel, menjadi semacam “invasi pertama” sejak Perang Arab-Israel 1948. Serangan itu disebut Operasi Banjir Al-Aqsa (Bahasa Arab: عملية طوفان الأقصى, amaliyyat tufan al-Aqsa). Tak lama setelah itu, Israel menyerang balik membabi-buta, yang hingga hari ke-143 telah merenggut nyawa mendekati 30.000 orang.

Dilema “Orang Terpercaya”

Sebagai pilot senior yang tugas “mengolah data intelijen”, Aaron Bushnell merupakan tentara loyal dan terpercaya. Jiwanya kemudian bergejolak saat mendapatkan “pengetahuan rahasia” (secret knowledge) terkait ikut-serta Pasukan Khusus AS dalam pertempuran Israel di berbagai terowongan Gaza. Menurut New York Post (27/2/2024), informasi ini disampaikan Aaron Bushnell kepada kawannya beberapa jam sebelum aksi ekstremnya di 3515 International Drive, North Cleveland Park, Washington, D.C.

Ada kebimbangan dalam diri Aaron Bushnell: di satu sisi Pemerintah AS membantu Israel dalam sektor militer sekitar USD 3,8 miliar (sekitar Rp.59,9 triliun) dan disampaikan kepada publik bahwa “Pasukan Khusus AS tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran di lapangan”—sebagaimana dinyatakan Presiden AS Joe Biden, Juru Bicara Gedung Putih John Kirby, dan juga Asisten Menteri Pertahanan AS, Christopher Maier (New York Times, 27/2/2024).

Surat kabar online multi-bahasa yang diluncurkan pada 2012, The Times of Israel pada 1 November 2023 menyampaikan bahwa Menteri Pertahanan AS Lloyd J. Austin secara rutin berdiskusi hampir setiap hari dengan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant di mana Austin menekankan: “Setiap serangan darat ke Gaza harus ditangani dengan hati-hati karena kompleksitas pertempuran di daerah perkotaan yang padat penduduk, yang semakin diperumit oleh jaringan terowongan yang digali Hamas di bawah Jalur Gaza untuk bersembunyi dan menggerakkan pasukannya.”

Peran AS di Israel—menurut berita di atas—lebih condong pada bantuan militer namun tidak dalam “bantuan tempur di lapangan.” Dalam konteks itu, sangat mungkin Aaron Bushnell merasakan kebingungan antara “apa yang seharusnya”—sebagaimana berbagai statement di atas—dengan “apa yang terjadi” berdasarkan informasi intelijen yang ia terima dan kelola yang ia sebut sebagai secret knowledge.

Menurut The Times of Israel, 26 Februari 2024, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menemukan jaringan terowongan utama Hamas yang melewati Gaza tengah dan utara sepanjang 10 km (lebih dari 6 mil) melintasi Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina dan sebuah universitas di dekatnya. Dalam berita itu tidak disebutkan “kolaborasi” IDF dan pasukan AS—jika itu maksud Aaron Bushnell.

Jangan Bertindak Ekstrem

“Dilema Aaron Bushnell” itu kemudian membawanya pada tindakan ekstrem—sesuatu yang sebenarnya dapat dihindari. Memang, reaksi Israel pejuang Palestina sangat tidak proporsional—sebab mereka “membumihanguskan” kota, sekaligus melakukan genosida, pemusnahan etnis. Kamus Oxford menjelaskan: “Genosida adalah pembunuhan yang disengaja terhadap sejumlah besar orang dari suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu dengan tujuan untuk menghancurkan bangsa atau kelompok tersebut.”

Konvensi Genosida 1948 mengatakan bahwa tindakan-tindakan genosida itu dilakukan untuk maksud memusnahkan—secara keluruhan atau sebagian—suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama dengan tindakan pembunuhan, cedera fisik atau mental, menghancurkan fisik, atau memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok tersebut pada kelompok lainnya. Israel tidak hanya diduga, tapi telah menjadi pelaku genosida yang jelas-jelas melanggar Konvensi Genosida 1948.

Baca Juga  Ramadan, Serangan Israel, dan Nestapa Dunia Modern

Akan tetapi, kendati Israel menjadi pelaku genosida, kita tidak dibenarkan bertindak ekstrem. Sejauh ini, “pelaku tindakan ekstrem” kelihatannya tidak memilih opsi lain sebagai jalan perjuangan. Ekstremitas itu pernah dilakukan misalnya selama Perang Irak, oleh seorang musisi Amerika, insinyur rekaman dan aktivis HAM, Malachi Ritscher (1954-2006) yang ikut demonstrasi anti-perang dan membakar diri di sisi Jalan Tol Kennedy di kota Chicago (3/11/2006) serta meninggalkan “surat wasiat”: “Jika saya diharuskan membayar perang biadab Anda, saya memilih untuk tidak tinggal di dunia Anda.” Pada 2010, seorang pedagang kaki lima, Mohamed Bouzazi (1984-2011) juga membakar dirinya sebagai protes terhadap atas penyitaan barang dagangannya yang kemudian menjadi “detonator” bagi meletusnya Revolusi Tunisia dan Revolusi Arab (Arab Spring) yang berdampak berakhirnya usia pemerintahan otoriter di Arab dan non-Arab.

Pada Hari Bumi 2022, aktivis iklim dari Boulder, Colorado, Wynn Alan Bruce (1971-2022) juga membakar dirinya di alun-alun Mahkamah Agung AS di Washington, D.C. Pada tahun yang lebih lama, 1963, seorang biksu Buddha Mahayana, Thich Quang Duc (1897-1963) juga membakar dirinya di Pagoda Vietnam di kota Ho Chi Minh sebagai bentuk protes terhadap penganiayaan terhadap umat Buddha oleh Pemerintah Vietnam Selatan di bawah pimpinan Ngo Dinh Diem, seorang penganut Katholik Roma yang setia. Seharusnya, perjuangan non-ekstrem itulah yang jadi pilihan, akan tetapi kita patut menghormati siapapun mereka yang berjuang untuk masyarakat tertindas seperti Palestina.

Bunuh diri—dalam bentuk bakar diri atau apapun itu—bukanlah jalan perjuangan yang tepat. Dalam agama, khususnya Islam, bunuh diri itu dilarang, dan larangan itu haruslah menjadi pedoman kita ketika menghadapi dilema kehidupan. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa: 29). Dalam ayat lainnya, Allah Swt berfirman, ”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195).

Hadis Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia akan disiksa dengan benda tersebut di neraka jahanam” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung, hingga membunuh jiwanya (bunuh diri), maka ia akan jatuh ke neraka jahanam. Ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa menegak racun hingga meninggal dunia, maka racun tersebut akan berada di tangannya, dan ia akan menegakkannya di neraka jahanam. Ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan (menusuk dirinya dengan) besi, maka besi itu akan ada di tangannya, dengannya ia akan menghujamkan ke perutnya di neraka jahanam. Ia kekal dan abadi di dalamnya selama-lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Institusi modern kita memiliki berbagai cara dan mekanisme penyaluran pendapat yang seharusnya menggunakan jalur itu, tanpa harus melakukan tindakan ekstrem. Saya setuju dengan pandangan Jurnalis Amerika dan Peneliti Senior di American Enterprise Institute, Ramesh Ponnuru: “Bakar diri bukanlah tindakan protes yang harus kita rayakan” (Washington Post, 28/2/2024), akan tetapi satu hal yang penting di balik “tindakan ekstrem” itu adalah pesan Bushnell saat api wafat: “Free Palestine!”

Tawaran Proposal Damai Israel-Palestina

Bagaimana langkah “Free Palestine!” tersebut? Sejauh ini, ada beberapa “proposal” yang ditawarkan, didiskusikan dan dianggap relevan sebagai opsi damai Israel-Palestina.

Pertama, status quo. Solusi ini cenderung mempertahankan “kondisi apa adanya sekarang” dimana Israel dengan rasa percaya diri yang tinggi berkat kekuatan militer dan kecerdasannya dapat mengelola situasi dan secara sistematis melemahkan Otoritas Palestina di Tepi Barat. Tujuan pelemahannya adalah: agar hilang prospek negara Palestina merdeka. Dalam solusi ini, Israel memelihara kesepahaman diam-diam dengan Hamas, akan tetapi dipatahkan oleh serangan 7 Oktober yang lalu.

Baca Juga  Edward Said, Orientalisme, dan Palestina

Kedua, kewarganegaraan ganda (dual citizenship). Sejumlah proposal untuk pemberian kewarganegaraan Palestina atau izin tinggal kepada para pemukim Yahudi sebagai imbalan atas pemindahan instalasi militer Israel dari Tepi Barat telah diajukan oleh orang-orang seperti Arafat, Ibrahim Sarsur dan Ahmed Qurei. Menteri Israel Moshe Ya’alon mengatakan pada bulan April 2010 bahwa: “Sama seperti orang Arab yang tinggal di Israel, demikian juga orang Yahudi harus bisa tinggal di Palestina….Jika kita berbicara tentang hidup berdampingan dan perdamaian, mengapa (Palestina) bersikeras bahwa wilayah yang mereka terima harus dibersihkan secara etnis dari orang Yahudi?

Ketiga, solusi satu negara. Gagasan ini bermakna bahwa Israel dan Palestina membentuk satu negara sekuler bagi keduanya dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Hal ini menarik, akan tetapi utopis, alias tidak mungkin terlaksana, walaupun secara teoritis itu dimungkinkan. Akan tetapi, trauma dan kebencian yang terjadi antara kedua banga membuat solusi ini amat sangat sulit diimplementasikan.

Keempat, solusi dua negara. Logikanya: setiap negara berhak hidup berdampingan. Maka, perlu ada negara Palestina merdeka di samping negara Israel. Tapi, opsi ini juga tidak mudah, up and down, sebab titik yang sulit bertemu adalah soal sejauh mana batas-batas fisik kedua negara—walaupun “proposal” opsi ini berdasar pada garis 1967—kemudian soal status Yerusalem, pemukim Israel, dan hak kembali bagi pengungsi Palestina.

Ada kesan kuat di internal Israel, bahwa “pendukung solusi dunia negara” adalah pengkhianat, seperti Yitzhak Rabin, mantan Perdana Menteri Israel yang dibunuh pada 1995 oleh seorang fanatik sayap kanan Yahudi karena dianggap telah melakukan “pengkhianatan yang tak dapat dimaafkan” dengan menandatangani perjanjian Oslo dan menjabat tangan pemimpin Palestina Yasser Arafat di Gedung Putih, Washington, D.C, pada 1993.

Pada November 2007, Konferensi Annapolis di Maryland, AS, yang dihadiri tiga pihak—PLO, Israel dan AS—telah sepakati solusi dua negara sebagai garis besar dalam negosiasi. Tapi, pertemuan itu tidak sampai pada final peace agreement, sebab negosiasi tersebut mengutip Menlu RI Dr. Hassan Wirajuda “tidak mungkin tercapai hanya melalui satu pertemuan di Annapolis.” Saat itu, kata Wirajuda, situasinya belum kondusif: Palestina yang terpecah (Fatah di Tepi Barat & Hamas di Jalur Gaza), Pemerintahan PM Ehud Olmert yang lemah dan AS yang menghadapi sisa satu tahun Pemerintahan Bush. 

Terlepas dari kegagalan itu, hingga saat ini solusi dunia negara masih didukung oleh para pihak. Negara-negara G7, Uni Eropa, dan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jerman, UK, Perancis, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Indonesia adalah pendukung solusi dua negara. Israel tentu menjadi penentangnya, walaupun di internalnya jua ada elite-elite yang mendukung solusi dua negara seperti Ehud Barak— Perdana Menteri (1999-2001) dan Menteri Pertahanan (2007-2013) Israel dan Ehud Olmert—Perdana Menteri (2006-2009). Kepada Politico 16/10/2023, Olmert berkata: Solusi dua negara adalah satu-satunya solusi politik yang nyata untuk konflik yang berlangsung seumur hidup ini dan pada 6/11/2023, ia berkata: Solusi dua negara harus tetap menjadi tujuan pemerintah Israel. Selain itu, Ami Ayalon—Kepala Dinas Keamanan Shin Bet, Israel (1995-2000)—juga dalam “satu perahu” yang sama. Kepada The Guardian 14/1/2024, Ayalon berkata: “Israel tidak akan memiliki keamanan hingga Palestina memiliki negara mereka sendiri.”

Menuju The Greater Israel?

Israel di bawah PM Benjamin Netanyahu menolak solusi dua negara. Pada 2009, dia berkata: “Bahwa secara teori, negara Palestina bisa berdiri berdampingan dengan Israel, namun dengan persyaratan yang ketat sehingga tidak disebut sebagai negara berdaulat, tidak punya militer atau kendali atas wilayah udaranya sendiri.” Pandangan itu membuat sekutu Israel seperti AS dan Inggris dalam posisi sulit, sebab mereka pro-solusi dua negara.

Baca Juga  Siapa yang Mengukus Klepon untuk Kadal Gurun?

Satu pertanyaan penting: Apakah penolakan Israel karena berintensi untuk menciptakan Israel Raya atau The Greater Israel? Istilah “Israel Raya” dapat dirujuk pada visi jurnalis dan aktivis politik Yahudi Austro-Hungaria sekaligus “bapak zionisme politik modern”, Theodor Herzl (1860-1904) dalam Complete Diaries (Vol. II, p. 711) yang mengatakan: “Negara Yahudi yang terbentang dari Sungai Mesir hingga Sungai Eufrat.” Lebih dari itu, apakah mungkin Israel hendak mengikuti visi anggota The Jewish Agency for Palestine, New York, Rabbi Judah Leib Fishman (1875-1962, RF) yang ketika ditanya oleh Sir Abdur Rahman (AR) dari India di PBB tentang “Tanah Perjanjian,” dia menjawab bahwa luas tanah tersebut: “…dari Sungai Mesir sampai ke Sungai Eufrat”? (Lihat: catatan verbatim di laman UN: Special Committee on Palestine PBB, Rabu, 9 Juli 1947, pukul 09.00).

Di PBB, terjadi dialog antara AR dan RF sebagai berikut:

AR: “Rabbi Fishman, apakah yang dimaksud dengan “Tanah Perjanjian”?

RF: “Tanah Perjanjian cukup luas, mulai dari Sungai Mesir sampai ke Sungai Eufrat.”

AR: “Termasuk seluruh Suriah?”

RF: “Ya, sebagian.”

AR: “Seluruh Trans-Yordania dan Irak?”

RF: “Tidak.”

AR: “Seluruh Suriah, Lebanon, Palestina dan Trans-Yordania saat ini?”

RF: “Ya, mungkin sebagian dari Suriah dan Lebanon.”

AR: “Kapan janji itu dibuat oleh Tuhan?”

RF: “Janji itu diberikan kepada Abraham, Ishak dan Ya’kub, sekitar 4000 tahun yang lalu.”

Jika Israel mengikuti perspektif Herzl dan Rabbi Fishman, berarti tanah “Israel Raya” akan terus diperluas tidak hanya di tanah Palestina saat ini tapi juga sampai ke Mesir, Irak, sebagian Suriah dan Lebanon. Apakah demikian? Sangat mungkin pandangan Herzl dan Fishman itu hanyalah “satu perspektif dari sekian banyak perspektif relijius Yahudi” yang tidak wajib untuk diwujudkan—mengingat hal itu bisa menyebabkan konflik semakin meluas dengan negara lainnya. Sangat mungkin ada kelompok Israel yang tidak berpikir seperti itu—yang bisa jadi diwakili oleh Ehud Barak, Ehud Olmert, Ami Ayalon atau pengikutnya.

Hidup Berdampingan

Solusi dua negara adalah solusi paling realistis bagi Israel dan Palestina. Orang Israel trauma dengan “Operasi Banjir Al-Aqsa” dan Orang Palestina juga lebih trauma dengan pendudukan sejak 1948 itu. Itu natural hadir dalam diri manusia—dalam situasi terdesak antara hidup dan mati. Maka, dari “dua jenis kesulitan” di antara Israel dan Palestina itu, sudah selayaknyalah ada pemikiran untuk hidup berdampingan.

Untuk itu, “proposal” solusi dunia negara adalah jalan terbaik yang dapat diperjuangkan. Agar solusi dunia negara itu betul-betul terlaksana, maka selain perlunya “kesadaran kemanusiaan” dari internal Israel agar mendorong pemerintahnya untuk bersikap proporsional dan segera mengentikan perang, maka penting juga peran negara-negara penting seperti AS, Mesir, Yordania, Turki, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan negara-negara Eropa untuk mencari solusi yang dapat diterima kedua belah pihak.

Dalam tulisannya di Guardian (7/2/2024), Daniel Levin, anggota dewan Liechtenstein Foundation for State Governance yang terlibat dalam insiatif perdamaian di Timur Tengah menulis satu advis yang bagus:

“Berhentilah menjadi bagian dari masalah,

dan mulailah menjadi bagian dari solusi.

Tidak ada seorang pun yang akan memiliki segalanya.

Tapi setidaknya tidak ada seorang pun yang tidak punya apa-apa.”

Mungkin, “berpikir menang-menang” inilah yang hendak disampaikan Aaron Bushnell, lelaki berusia 25 tahun itu ketika mengucapkan: “Free Palestine!”

Editor: Soleh

Yanuardi Syukur
13 posts

About author
Pengajar Antropologi Sosial Universitas Khairun, Ternate dan Kandidat Doktor Antropologi FISIP UI.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *