Perspektif

Siapa yang Mengukus Klepon untuk Kadal Gurun?

3 Mins read

Banyak orang “terlanjur” bersemangat menelusuri siapa sosok “Abu Ikhwan Aziz” dan “tokoh Syariah kami” di Facebook karena informasi viral “Klepon Tidak Islami.” Kalau anda salah satunya, ketahuilah itu harus segera berakhir sekarang. Bukan karena berdasarkan analisis Drone Emprit Ismail Fahmi bahwa penyebar awal meme tersebut justru adalah akun “sekuler”, sedangkan orang terlanjur membayangkan “kadal gurun” (Kadrun) atau “HTI” sebagai dalang. Tapi karena batin spiritual dan kondisi ekonomi kita sesungguhnya sedang tidak baik-baik saja.

Banyak orang gila karena agama atau praktik spiritual. Dan begitu juga dengan kegilaan pada orang-orang yang menganggap bahwa ruang privat dan publik bisa dipisahkan serta merta. Apalagi, karena cara berpikir begitu menganggap bahwa bahwa satu model ideologi harus ada yang menjadi supra alterum bagi yang lain. Dan dengan demikian berkehendak menguatkan cengkaraman simbolismenya masing-masing. Keinginan kita untuk menyeragamkan interpretasi berdampak buruk pada tabiat kita memperkarakan simbol. Begitulah asal usul problem pertama yang akan kita ulas singkat kali ini.

Semua kata atau frasa yang saya beri tanda petik (“”) punya alasan khusus. Semua adalah penanda kata yang tidak merujuk pada realitas apa pun. Mirip dengan spanduk bertulis “bahaya komunis” atau “waspada kebangkitan PKI” di dekat kompleks perumahan polisi atau tentara di Yogyakarta kota pendidikan menjelang Agustus (yang mepet dengan bulan September). Bagai hantu yang muncul dalam mimpi seseorang. Menakutkan, mengerikan, menggelikan, atau menyakitkan.

Klepon Islami dan PKI

Tapi masalahnya, semua hanyalah mimpi karena anda baru saja terlelap setelah menonton tayangan sampah selebriti di kanal daring atau pidato pertumbuhan ekonomi melalui Omnibus Law. Jadi mimpi-mimpi tentang hantu menakutkan itu sejatinya hanyalah refleksi alam bawah sadar yang sedang pecah balau. Cermin jiwa yang tidak tenang karena anda mulai tak bisa beli buku bulanan dan jarang bangun pagi menghirup udara bersih bebas batu bara.

Baca Juga  Apikan, Loma, Kendel: Tiga Religiusitas Islami untuk Era Disrupsi

Jika ada yang bilang “Klepon Tidak Islami” atau “Kebangkitan PKI”, jelas ada yang lebih berbahaya dari itu, yakni kebugaran nalar. Jadi tidak perlu panik dengan gelombang “Klepon hijrah” sampai harus nulis buku (urun judul: “Klepon Jangan Hijrah Jauh-Jauh”) atau tanda tangan MoU dengan BPIP. Lebih baik anda perhatikan dunia sekitar secara baik-baik. Barangkali, ada tetanggamu yang belum makan karena PHK.

Saya termasuk yang belum yakin betul apakah revolusi teknologi informasi meningkatkan kebugaran nalar karena asupan bergizi makin banyak dan berimbang. Nyatanya, sama seperti konsep makanan cepat saji, apa yang anda konsumsi, lebih mungkin membuat anda ambruk sedini mungkin. Memang saya belum mendengar ada seorang penulis populer yang memulai perang kematian seperti pada dekade 80an dan 2000an tentang “kematian filsafat” dan sejenisnya.

Mungkin juga karena nalar kita sudah tidak butuh dibuat mati atau dikebumikan dengan layak. Itulah yang terjadi kalau anda masih getol mengikuti meme “Klepon Tidak Islami” dan “Kebangkitan PKI”, jauh lebih berbahaya daripada komplikasi penyakit mana pun. Satu peradaban bisa berperang nuklir hanya karena nalar mulai payah dan kusam.

Saham Syariah Batu Bara

Menjelang Pilpres 2019 saya kaget dan getir barengan. Saya baru tahu yang namanya Saham Syariah Sektor Tambang. Jika perdebatan “Klepon Tidak Islami” atau “Kebangkitan PKI” itu mirip hantu dalam mimpi buruk anda, maka indeks keuntungan perusahaan yang merusak alam itu adalah kenyataan. Penistaan dan pencemaran agama bisa diselesaikan dengan pengadilan atau konferensi pers. Tapi penistaan dan pencemaran laut, hutan, gunung, udara, dan air tawar hanya bisa diselesaikan dengan jeda eksplorasi ekstraktif.

Pencemaran dan penistaan lingkungan hanya akan bisa diselesaikan baik-baik kalau anda berhenti menghambur-hamburkan energi listrik berbasis batu bara untuk gawai sekedar memaki-maki si “Abu Ikhwan Aziz” (dan mengapa namanya “Abu” juga saya tak tahu). Koplak lagi kalau anda mengadukan si “Abu” ke polisi karena intoleransi dan diskriminasi budaya lokal. Dan menyelenggarakan webinar bertema “Peningkatan Intoleransi Masa Pandemi Covid-19” (meski proposal acara itu sangat marketable dan bandarable). Percayalah, anda hanya membuat indeks kerusakan lingkungan meningkat tajam dengan korban terinfeksi debu batu bara lebih tinggi.  

Baca Juga  Masyarakat Adat Kajang dan Budaya Modern

Jelas saya mengapresiasi si pembuat meme “Klepon Tidak Islami” yang kelewat kurang ajar membawa-bawa si Klepon yang manis dan kenyal itu untuk meredam desas desus pengesahan RUU Omnibus Law secara tidak langsung. Saya tidak mau tahu dia siapa, karena dia bisa siapa saja, karena hampir semua orang terbukti memang bisa berpikir begitu dengan mengorbankan nasib baik terpuji lambang kue Klepon itu.

Nasib si Klepon memang kurang baik, dan seiring waktu akan tergusur dengan impor Klepon dari Vietnam (meski saya sudah tahu bahwa sesungguhnya tidak ada lagi “makanan lokal” apalagi “mobil lokal” anda ingat, kita termasuk negara agraris dan kemaritiman yang mengimpor tepung terigu dan beras). Selain “tidak Islami”, Klepon juga bukan makanan lokal berdasarkan bahan bakunya.

Kadal Makan Klepon?

Klepon adalah nama lokal yang bernuansa sangat Islam Nusantara yang memang tidak menandakan apa-apa yang lokal dan nusantara itu sendiri. Persis sebagaimana “Kebangkitan PKI” yang juga tidak punya urusan nyata dengan gerakan gerilya Zapatista atau partai kiri di Inggris. Persis juga dengan “Saham Syariah Batu Bara” yang tidak punya hubungan apa pun dengan makna dasar Syariah sebagai “oase menuju sang maha Pemelihara Kehidupan”. Karena alih-alih memelihara, aktivitas ekstraktif justru melubangi salah satu kawasan hutan dengan sumber energi terbarukan terbesar di dunia.

Saya ingin menghibur anda dengan lelucon. Jadi mari kita bayangkan bahwa seratus ribu tahun lagi ada seorang pakar dan peneliti fosil digital menemukan hal menakjubkan. Berdasarkan pemetaan serpihan C++ dan sisa-sisa Javascript, dia tahu tentang polemik “Klepon Tidak Islami” dan sosok “Abu Ikhwan Azis” sebagai korban hasutan. Tapi yang dia tidak mengerti apa hubungan antara  “kadal gurun” dan “HTI” dengan Klepon. Belum lagi mengapa orang ribut “Kebangkitan PKI” daripada jutaan pengangguran dan kelaparan pada masa itu. Tapi yang lebih menjengkelkannya secara intelektual adalah kenyataan bahwa manusia pada masa dia hidup sedang berdebat apakah Klepon itu asli galaksi Bimasakti atau Andromeda.

Baca Juga  Merespon Kejahatan Israel: Kekerasan Dibalas dengan Kekerasan itu Bukan Solusi yang Tepat!

Editor: Yusuf

Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *