Perspektif

Mengapa Manusia Beragama?

3 Mins read

Pertanyaan “Mengapa Manusia Beragama” sebetulnya pertanyaan yang rada-rada terlambat. Seharusnya pertanyaan ini dilontarkan sebelum aqil-baligh, sebab keputusan beragama berada pada posisi ini.

Dalam banyak tempat al-Qur’an sendiri melarang mengikuti kepercayaan yang kita tidak paham, maka di sini perenungan-perenungan kritis, “kontemplasi”, sangat relevan dan berguna sampai kapanpun. Mungkin, kata Cak Nur, kita bisa meraih dengan mengatakan “salah satu fungsi agama adalah sebagai sumber dan penyaji dari rasa hidup”.

Persoalannya adalah, manusia tidak mungkin tahan hidup apabila hidupnya tidak berguna. Sense of meaning (rasa makna) merupakan sumber dari harapan-harapan. Sumbernya adalah faktor yang sangat penting bagi kebahagiaan, tentu saja kesehatan fisik.

Dengan demikian, jika seseorang mempunyai harapan dan sandaran seperti ini, maka ia akan hidup lebih tahan. Kita tahan hidup karena mempunyai harapan. Benar apa kata Psikolog dari Perancis Carl Gustav Jung, bahwa manusia itu hidup karena mempunyai harapan. Senada dengan ini apa yang juga diungkapkan oleh Stephen King, harapan adalah hal yang terbaik, bahkan mungkin yang terbaik, dan hal-hal yang baik tidak pernah mati.”

Kendati demikian, ketika kita perlu akan harapan lalu kemudian mencari pegangan hidup, nampak tidak semuanya emperical, berdasarkan pengalaman empiris manusia. Sebab, kalau masalahnya makna hidup, ternyata setelah makna hidup digarap oleh para Failasuf mulai dari zaman Yunani, ada yang mengatakan hidup ini tidak mempunyai makna sama sekali. Ada juga yang mengatakan hidup ini sangat bermakna.

Orang seperti Arthur Schopenhauer adalah orang yang sangat pesimis mengenai hidup, sehingga ia berpendapat bahwa hidup adalah guyon yang mengerikan oleh karena kita hidup untuk kematian. Padahal, diantara semua pengalaman yang paling menakutkan adalah kematian. Dan ini yang tidak bisa dihindari. Kata Schopenhauer, kalau seandainya manusia sebelum lahir sempat ditanya apakah mau lahir apa tidak, mungkin sebagian besar kita akan mengatakan tidak mau.

Baca Juga  Tasawuf: Cara Mencegah Krisis dalam Diri Manusia Modern

Pandangan seperti ini pernah muncul dalam eksistensialisme ala Albert Camus, seorang filsuf dan pemenang hadia Nobel Sastra 1957. Ia juga termasuk orang yang sangat pesimis akan hidup. Pesimis, karena ia pernah menjadi seorang idealis dan kemudian menjadi Marxis (komunis).

Kita tahu bahwa Marxisme paham yang sangat idealistik, dalam arti paham ini mencita-citakan terbentuknya masyarakat manusia sempurna. Bahwa dalam masyarakat komunis setiap orang diberikan sesuai dengan kebutuhannya, dan dari orang dituntut hanya sesuai dengan kemampuannya, dan ketika kata Marx masyarakat komunis tidak ada alienasi (keterasingan) sehingga hobi dan kerja menjadi sama.

Jadi orang merasakan nikmatnya bekerja seperti dia melakukan hobi. Tak seperti sekarang masyarakat industri kita hidup untuk akhir pekan. Selama sepekan (Senin-Jum’at) sebenarnya tida hidup, melainkan hanya bagian dari scrup mesin industri.

Kendati demikian, ketika Albert Camus melihat bahwa Stalin pernah sesumbar bahwa untuk menciptakan masyarakat Stalinisme dia tidak segan mengorbakan rakyat Uni Soviet sampai puluhan juta, maka Albert Camus menjadi bertanya-tanya. Nampaknya, memang tujuan itu menghalalkan segala cara.

Jika demikian, kata Albert Camus, maka dalam hidup ini terdapat absurditas. “Apa yang sudah terjadi sudah tidak ada, apa yang akan datang belum terjadi, dan apa yang ada itu tidak cukup”. Inilah contoh keterputusasaan. Oleh sebab hidup tidak mempunyai makna (hidup dan mati itu sama saja), sehingga ia mengajukan pendapat bahwa salah satu hak asasi manusia adalah bunuh diri.

Dari sini sudah jelas bahwa makna hidup tidak selalu empiris. Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, mengatakan bahwa makna hidup harus diketauhi dari berita (alam ghaib). Dalam Surat Al-Baqarah ayat 3 dikatakan:

Baca Juga  Resensi Buku: Kedewasaan Beragama

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ 

Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 3).

Yang ghaib, selain dari tafsiran kontemporer yang biasanya disebutkan Malaikat, Setan, Jin, Surga, Neraka dan lainnya, Muhammad Asad dengan beberapa literatur klasik menambahkan bahwa makna hidup ini adalah ghaib. Artinya, kita harus tahu dari pemberitaan-pemberitaan.

Syahdan. Sekalipun ada pendapat-pendapat pesimis mengenai hidup seperti yang dikatakan oleh Schopenhauer dan Albert Camus. Namun jika dilihat secara nyata, nampaknya semua umat manusia itu beragama. Tidak ada manusia yang tidak beragama. Sumbernya, memang ada suatu kebutuhan yang sangat mendasar bahwa ia harus beragama. Sekalipun kesamaan nature manusia mesti beragama, akan tetapi dalam kenyataanya agama itu bermacam-macam.

Secara kebahasaan “dhin” bermakna tunduk. “Dhana yadhina dhinan”. Jadi dhinan adalah ketundukan. Dengan demikian, maka sesungguhnya, ada satu persoalan bagi manusia bahwa ia tidak bisa hidup dengan baik kecuali jika tunduk pada sesuatu. Lalu apakah benar manusia akan tunduk kepada sesuatu?

Sekarang dengan mudah melihat satu bukti yang sangat empiris, bahwa ketika Marxisme muncul maka slogan yang terkenal adalah anti agama. Seperti ungkapan yang terkenal adalah “Agama candu bagi rakyat”. Tetapi, ketika Marxisme mapan seperti di Uni Soviet, maka ternyata dia berkembang menjadi religious equivalent (padanan agama).

Artinya, orang-orang Marxis memang betul, yang yakin dengan Marxisme-nya mereka lepas dengan agama-agama yang dikenalnya seperti Kristen Ortodoks, Islam dan lainnya. Namun, mereka kejeblos dalam agama baru yang justru dalam beberapa hal lebih primitif.

Kalau misalnya agama Kristen Ortodoks percaya dengan Tuhan Yesus yang sudah mati, dan kemudian fungsinya di dalam kehidupan adalah ide keselamatan. Begitu Marxisme menjadi mapan, mereka tidak saja mengkultuskan tokoh-tokoh seperti Hegel, Marx dan lainnya, tetapi pemimpin yang masih hidup juga mereka kultuskan. Sehingga ketundukan itu ada dalam format yang sangat mencekam. Oleh karena itu, ciri masyarakat komunis adalah masyarakat yang kehilangan kebebasan.

Baca Juga  Sahkah Puasa Tanpa Sahur?

Drama-drama orang dari Jerman Timur yang mau menyebrang ke Jerman Barat melalui tembok Berlin dengan menempuh segala resiko menunjukkan, bahwa ketika bangsa dan masyarakat kehilangan kebebasan, maka yang paling berharga adalah kebebasan. Dengan kata lain, Marxisme telah mencipatakan masyarakat yang kehilangan kebebasan. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
57 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Perspektif

Aktivisme dalam Al-Qur'an

3 Mins read
Hari Ahad, 22 September kemarin, saya kembali mendapat Kehormatan menjadi pembicara di acara Konvensi Tahunan NABIC (North American-Bangladeshi Islamic Community) di New…
Perspektif

Darul Ahdi wa Syahadah: Pancasila Sebagai Traktat Kaum Beragama di Indonesia

3 Mins read
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, tidak hanya menjadi pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga berfungsi sebagai traktat atau kesepakatan…
Perspektif

Da'i Rasa Provokator

5 Mins read
Momen-momen acara keagamaan mestinya menjadi ajang mengajarkan dan menyebarkan nilai-nilai agama yang luhur. Namun akhir-akhir ini, kegiatan keagamaan menjadi ajang provokasi dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *