Oleh: Khairul Amin
Sebuah karya klasik berjudul Islam at The Crossroads (1934) pada paruh pertama abad ke-20 menghadirkan suatu narasi reflektif dan kontemplatif yang luarbiasa menggugah. Muhammad Asad (Leopold Weiss), mengartikulasikan secara mendalam serta lugas tantangan-tantangan modernitas bagi Islam.
Sebagai pandangan hidup, Islam tengah menghadapi tantangan pelbagai pandangan hidup lain, yang mendasari wujudnya perasaan, pikiran, dan perbuatan dalam kehidupan, lebih jauh proses pengembangan ilmu pengetahuan.
Meminjam istilah Asad, Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan dakwah terbesar kaum muslim pada era modern, nampaknya juga mengalami gejala serupa (di simpang jalan). Hal ini dapat dilihat dari komparasi nilai-nilai bermuhammadiyah pada masa awal dengan hari ini. Sebenarnya hal tersebut ialah keniscayaan, sebab warga dan simpatisan Muhammadiyah pada hari ini mengalami perkembangan sedemikian besar dari segi kuantitas geografis (cakupan wilayah), kuantitas personal (jumlah individu), maupuan kuantitas variasi pikiran dan variasi laku (gaya).
Sebagai salah satu Rumah besar masyarakat Islam, khususnya modernis, Muhammadiyah termasuk begitu inklusif (ketimbang NU misalnya yang homogen) pada variasi perbedaan pikiran warganya yang sebagiannya terpengaruh pikiran gerakan dakwah lainnya (semisal salafi dan ikhwanul muslimin). Lebih jauh, kondisi ini termanifestasikan pada fenomena tarik-menarik begitu kuat soal tafsir ber-Muhammadiyah, meski secara elegan dan tidak gaduh. Hal ini dibahas oleh beberapa cenderkiawan Muhammadiyah seperti Ahmad Najib Burhani (Islam Berkemajuan, 2016) dan MT Arifin (Potret Muhammadiyah yang Berubah, 2016)
Sebagai gerakan yang menggema dua aktivitas besar, yaitu purifikasi (tanqiyah) dan dinamisasi (tajdid), Muhammadiyah mengalami dialektika besar pada perkembangannya (Great Dialectic/Al Jadaliyyah Al Kabiirah). Kenyataan ini didasari perbincangan apa yang tetap (statics/ tsawabit) dan apa yang berubah (dynamics/ mutaghayyirat) dari agama dalam pandangan Muhammadiyah yang sedemikian kuat terjadi sebab tantangan modernitas yang mencakup segala aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan kesehatan.
Perbincangan tersebut (tsawabit-mutaghayyirat) terus berlansung hingga hari ini. Terakhir dalam amatan penulis ditandai dengan munculnya karya-karya panduan-panduan konseptual berupa perangkat metodologis, seperti karya Syamsul Anwar dan Hamim Ilyas.
Dalam pandangan sederhana, perbincangan tsawabit biasa dikaitkan dengan bahasan-bahasan pokok aqidah, namun di alam kiwari yang terhegemonik dengan alam pandang sekular dan turunannya (modernism-postmodernism dengan turunannya), pembahasan aqidah mesti berkembang dalam bangunan konstruksi yang menjadi nalar argumentatif akademis yang pada gilirannya juga dapat dipahami masyarakat luas, khususnya warga Muhammadiyah sebagai pijakannya agar tidak hanyut dalam perubahan besar pandangan hidup tiada henti sebagaimana yang terjadi di Barat satu millennium terakhir. Salah satunya tercermin dalam Centuries of Change, karya Ian J. Mortimer.
K.H. Ahmad Dahlan dalam catatan murid-muridnya, seperti K.H.R.Sudja, mengisyaratkan mesti ada persiapan tantangan di level tsawabit ini, khususnya secara personal dengan selalu mensucikan diri dan menghidupkan akal. Penguatan landasan iman dalam proses pengembangan keilmuan mesti bercokol kuat dalam tradisi intelektual besar Muhammadiyah.
Maka tidak dipungkiri, kebutuhan pokok pengkajian Islam secara metodologis sebagai dasar kerangka pandang baik di tingkat formal maupun non-formal merupakan urgensi bagi warga Muhammadiyah. Perkembangan ilmu umum, mesti juga dibarengi semakin kuatnya tradisi turats baik salaf maupun khalaf sebagai basis jangkar berdialog dengan alam pandang lain, termasuk Barat secara luas agar dapat mengambil hikmah tanpa kehilangan jati dirinya.
Perbincangan mengenai yang berubah (dynamics/mutaghayyirat) bahkan lebih variatif dan kompleks. Meski begitu perbicangan yang biasa dikaitkan muamalat ansich ini, sebenarnya secara langsung juga dipengaruhi kajian atas yang tetap (tsawabit). Dalam bagian ini, Muhammadiyah sangatlah produktif.
Tidak terhitung terobosan-terobosan Muhammadiyah, baik secara pikiran seperti lewat pengembalian makna fiqh secara leksikal sehingga dapat menghasilkan produk pikiran (fikrah) yang siap berdialog dan melintas zaman; maupun terobosan amal yang memberikan solusi atas problematika umat, lebih jauh kemanusiaan seperti MDMC (Muhammadiyah Management Disaster Center), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), dan Lazismu.
Pendirian Muhammadiyah lebih dari seabad yang lalu, ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dakwah jama’ah yang visioner (wasilah) guna meciptakan masyarakat muslim berperadaban atau masyarakat muslim yang sebenar-benarnya (ghayah). K.H.Ahmad Dahlan bersama murid-murid awalnya, melaksanakan dakwah langit (ilmu-iman-amal) yang membumi (rahmatan lil ‘alamin). Karakteristik dan ciri khas serta kepribadian dalam pelaksanaan dakwah tersebut tercermin dari (a) tutur lisan dari generasi ke generasi; (b) dokumentasi tertulis, seperti MKCHM, Kepribadian Muhammadiyah dan sebagainya; serta (c) amal usaha yang eksis, dari pendidikan sampai kesehatan.
Dakwah ini berkembang sedemikian besarnya hingga pada level hari ini, yang disebut oleh Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, sebagai organisasi masyarakat yang memiliki semua perangkat penunjang peradaban. Bahkan, harapan Future of Muslim Civilization-meminjam istilah Sardar- juga tersemat pada Muhammadiyah.
Tantangan zaman kiwari ini bukanlah hal remeh. Bukan hanya sekedar tantangan kurangnya asupan nutrisi ekonomi, tetapi lebih-lebih cara pandang yang merubah rasa, pikir, dan laku kehidupan masyarakatnya. Muhammadiyah salah kekuatan besar masyarakat muslim, khususnya bagi Indonesia, mesti lebih mengencangkan ikat pinggangnya dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan.
Mesti di garda terdepan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan segala kehatian-hatian (taqwa), daya juang tinggi (hamasah), dan tentu saja menggembirakan (farh). Muhammadiyah mesti menjadi akal pikiran utama yang berkemajuan dan berketeladanan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat/ bernegara seperti agama, budaya, politik, sosial, dan ekonomi.
Dalam bidang agama, Muhammadiyah mesti menjadi teladan penghayatan dan pelaksanaan keberagamaan secara baik dan maksimal, serta mengukuhkan kemoderatannya. Tidak beragama secara kaku, ataupun bebas sehingga dapat terlempar dari kutub ekstrem satu ke kutub ekstrem lainnya. Mengedapankan dakwah yang sifatnya dialogis dan argumentatif, bukan sekedar dengan sentimen dan eksklusifitas. Dalam bidang budaya, Muhammadiyah juga punya tugas besar menjernihkan kondisi tunggang-langgang post-modernisme yang menggilas kearifan masyarakat. Dalam bidang ekonomi, Muhammadiyah menjadi pionir pemberdayaan masyarakat. Dalam bidang sosial-politik, Muhammadiyah punya tugas sedemikian berat untuk tetap jernih dan menjernihkan keadaan dengan lakon arus perpolitikan yang begitu terkungkung pragtisme, fanatisme-sentimen golongan, populisme buta, dan oligarki serta KKN yang menyebabkan kebenaran menjadi kabur dan keadilan menjadi lumpuh.
Sebagai muslim yang lahir, besar, dan dididik di Muhammadiyah, penulis merasakan benar potensi besar Muhammadiyah, utamanya saat berdialog lintas gerakan. Muhammadiyah ialah perekat bangsa dan kaum muslimin sekaligus. Besar harapan berbagai kaum muslimin diluar sana agar Muhammadiyah dapat tetap eksis dan menjadi teladan dalam menyuarakan kebenaran dan pengembangan keilmuan agar tercipatnya sebenar-benar peradaban masyarakat muslim.
Pada akhirnya, pertanyaan apakah Muhammadiyah berada di persimpangan jalan terjawab. Muhammadiyah memang berada di persimpangan jalan, tetapi Muhammadiyah siap memilih jalan terbaik (ummatan wasathan-khairu ummah) dengan cara terbaik (ummatun yad’una ila al khair). Selamat milad Muhammadiyah yang ke 107.
*) Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014