Report

Fatwa Tarjih Soal Tambang: Boleh, Asal Tidak Eksploitatif

8 Mins read

IBTimes.ID – Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 sebagai perubahan atas PP NO 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara dimana di dalamnya memuat bahwa organisasi masyarakat atau ormas keagamaan mendapat izin untuk mengelola tambang ramai diperbincangkan di ruang publik.

Muhammadiyah sebagai salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia tentu dan terus menjadi sorotan publik dalam dinamika perbincangan publik tersebut. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (MTT PP) Muhammadiyah mengaku bahwa telah mendapat pertanyaan soal problem pengelolaan pertambangan di Indonesia. Pertanyaan ini berasal dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sehubungan dengan pertanyaan di atas, melalui Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan, MTT PP Muhammadiyah telah melakukan kajian dan sidang untuk merumuskan jawaban. Jawaban tersebut tertuang dalam Fatwa Nomor 177/I.1/F/2024 tentang Pengelolaan Pertambangan dan dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan.

MTT PP Muhammadiyah menyebut bahwa pertambangan masuk ke dalam kategori muamalah atau perkara-perkara duniawi yang hukum asalnya boleh sampai ada dalil atau keterangan yang menunjukkan bahwa ia dilarang atau haram.

Bahkan dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah ke-20 di Garut dijelaskan bahwa barang tambang termasuk salah satu objek zakat. Tapi sayangnya, banyak aktivitas pertambangan hari ini tidak seideal dan sejalan dengan petunjuk ilahi, bahkan mengarah pada aktivitas pertambangan yang dekstruktif.

Masalah dan Kebutuhan Pertambangan

Berbagai problem dari aktivitas dan pengelolaan pertambangan memang telah menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi dunia secara global, termasuk Indonesia. MTT PP Muhammadiyah menyebut, setidaknya ada empat masalah pokok yang disebabkan oleh problem pertambangan.

Pertama, kerusakan lingkungan yang cukup parah. Kedua, Regulasi yang tidak berasaskan keadilan dan kemaslahatan. Ketiga, Aktivitas pertambangan yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat. Keempat, tambang yang dijadikan sebagai alat politik.

Di samping berbagai problem dari aktivitas pertambangan, faktanya sampai saat ini Indonesia masih bergantung dan mengandalkan pertambangan, baik aktivitas maupun hasil produksinya.

Setidaknya ada empat fakta yang menunjukkan ketergantungan tersebut. Pertama, sektor pertambangan masih menyerap banyak sekali tenaga kerja. Kedua, produksi pertambangan masih menjadi sentral pemenuhan kebutuhan berbagai aspek, termasuk industri, rumah tangga, komersial dan pertanian.

Ketiga, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) Indonesia belum bisa sama sekali lepas dari ketergantungan aktivitas dan produksi pertambangan. Salah satu faktanya adalah penggunaan hasil pertambangan pada sektor konstruksi dan transportasi yang masih sangat tinggi.

Keempat, minimnya kesiapan transisi energi di Indonesia. Secara kesiapan, Indonesia belum siap melakukan transisi energi terbarukan yang ramah lingkungan secara adil dan merata.

Prinsip-Prinsip Islam dalam Mengelola Alam

Dalam perspektif Islam, segala sesuatu yang terdapat di bumi, termasuk energi fosil dan sumber daya yang dikandungnya diyakini sebagai titipan Allah yang harus dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 29:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dalam konteks pemanfaatan dan pendayagunaan alam semesta, Allah memberikan tugas kepada manusia dalam dua bentuk; istikhlāf dan isti’mār. Istikhlāf dapat dimaknai sebagai pihak yang diberi amanah untuk menggantikan Allah dalam melaksanakan tugas merawat ciptaan Allah di muka bumi. Arti ini merujuk pada surah al-Baqarah (3) ayat 20 yang artinya:

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Manusia sebagai pihak yang diberikan amanah oleh Allah, jelas MTT PP Muhammadiyah, memiliki tanggung jawab utama memelihara dan menjaga alam agar tetap pada keseimbangan dan kesempurnaannya. Tanggung jawab ini melekat pada manusia sebagai konsekuensi yang telah mereka terima dari perjanjian ilahi yang dulu telah disepakati antara manusia dan Tuhan seperti yang tercantum dalam QS al-Ahzab ayat 72.

Baca Juga  Sepuluh Adab Penuntut Ilmu menurut Imam al-Ghazali

Sedangkan pada tugas isti’mar, sambung Majelis Tarjih dan Tajdid, tugas yang dibebankan kepada manusia adalah menjaga usia bumi, agar tetap panjang dengan cara memakmurkan, memberdayakan, dan memanfaatkan seisinya untuk kemaslahatan seluruh makhluk, tanpa melakukan eksploitasi. Dengan kata lain, manusia diperintahkan untuk memanfaatkan dan memberdayakan alam yang ditinggali, tapi tidak sampai pada taraf merusak dan mengeksploitasi.

MTT PP Muhammadiyah menyebut Islam telah menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang harus dipedomani agar kegiatan menjaga dan memakmurkan bumi betul-betul terlaksana dengan benar dan tidak menyimpang. Di antara nilai-nilai itu adalah: 1) memandang alam dengan kaca mata tauhid, 2) menginsyafi alam sebagai tanda ketuhanan dan kebaikan Allah, 3) pengelolaan alam semesta adalah amanah dan tanggung jawab, 4) menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan.

1. Dalam konteks tauhid, manusia dan alam setara di hadapan Allah. Manusia adalah bagian dari alam sebagai ciptaan Allah yang keduanya sama-sama patuh dan beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana disebutkan dalam QS an-Nahl (16) ayat 48-49;

Artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan Allah, bayangbayangnya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri (dalam keadaan) sujud kepada Allah, sedangkan mereka rendah hati. Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa). Para malaikat (juga bersujud) dan mereka tidak menyombongkan diri”.

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, kesadaran terhadap kesetaraan sebagai makhluk ini penting, agar manusia menghilangkan potensi “merasa lebih baik dan lebih istimewa” yang apabila potensi itu tetap dipupuk dan dipelihara, bisa menjadi motif yang mendorong manusia untuk berlaku tidak adil dan eksploitatif.

2. Salah satu tugas manusia adalah mentadaburi alam sebagai tanda ketuhanan dan tanda kebaikan Allah Swt. Dalam surah an-Nahl ayat 65 Allah menutup dengan pernyataan bahwa setiap proses yang terjadi di bumi merupakan tanda kebesaran Allah bagi siapa saja yang mampu mengambil pelajaran.

Hal ini juga tercantum dalam hadis Nabi Saw yang artinya:

Dari Anas bin Malik r.a. (diriwayatkan), Nabi saw. bersabda: apabila terjadi hari kiamat, sementara di tangan salah seorang di antara kalian terdapat bibit/tunas, jika ia bisa menanamnya sebelum meledak kiamat itu, maka hendaknya ia menanam bibit/tunas tersebut.

Hadis tersebut, sebut MTT PP Muhammadiyah, jadi isyarat yang nyata mengenai wajibnya seseorang untuk tetap berusaha memelihara alam dalam keadaan krisis seperti apa pun, karena memelihara alam termasuk dari tindakan keimanan.

3. Nilai amanah Islam dalam Islam juga mengharuskan manusia mengelola bumi dengan asas kasih sayang. Hal ini, sebagaimana tersirat dalam surah al-An‘am (6) ayat 38,

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْۗ مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan.

Ibn Saud sebagaimana dalam kajian MTT PP Muhammadiyah, menafsirkan kalimat “illā umamin amṡālukum” dengan makna, bahwa makhluk yang ada di bumi ini sama seperti manusia yang perlu dijaga kemaslahatannya. Jika interaksi manusia secara harmonis adalah bagian dari kemaslahatan, maka seyogyanya interaksi manusia dan alam juga dengan kasih sayang, perlindungan dan pemeliharaan.

Baca Juga  Krisis Air di Perkotaan, Fikih Air Solusinya!

4. Islam menuntut kepada manusia ketika menjalankan tugas kekhalifaan dan pemakmuran bumi dengan sungguh-sungguh berpegang pada nilai keadilan dan keseimbangan. Di banyak ayat, Allah berbicara mengenai pentingnya keadilan ini, di antaranya dalam surah an-Nahl (16) ayat 90;

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjelaskan, keadilan dalam Islam tidak hanya berlaku pada relasi manusia dengan manusia, tetapi juga mencakup semua yang ada di alam ini. Dengan adanya nilai keadilan, penunaian hak antar manusia secara proporsional dapat terwujud, tanpa adanya penyelewengan yang disebabkan oleh kecenderungan tertentu secara subjektif.

Berangkat nilai-nilai dasar dalam Islam yang sudah dipaparkan di atas, MTT PP Muhammadiyah meletakkan prinsip-prinsip umum dalam konteks pengelolaan tambang.

Pertama, nilai tauhid diletakkan menjadi prinsip kesalehan. Makna kesalehan adalah kebenaran, kebaikan, perbaikan dan kebermanfaatan. Ketika nilai tauhid (iman) disandingkan dengan kesalehan, maka ia akan melahirkan amal saleh.

Firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 110 yang artinya: “Kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya”.

Dengan prinsip kesalehan ini, tulis Majelis Tarjih dan Tajdid, aktivitas pertambangan tidak boleh hanya dilihat sebagai tindakan ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan materi belaka, melainkan juga perlu dilihat sebagai ibadah dan amal saleh yang dikerjakan secara benar, baik, tidak merusak dan membawa kebermanfaatan secara menyeluruh.

Kedua, nilai keadilan diletakkan menjadi prinsip regulasi yang berkeadilan. Dalam fenomena pertambangan, MTT PP Muhammadiyah mengatakan bahwa keadilan tidak hanya dituntut pada tindakan, tetapi juga aturan-aturan yang memelihara keadilan untuk bisa tetap terwujud dan bertahan. Tanpa adanya keadilan, akan timbul kerusakan yang dampaknya adalah ketimpangan secara meluas.

Bahaya dari tindakan yang tidak adil digambarkan dalam hadis riwayat Nu’man bin al-Basyir;

Perumpamaan orang yang tegak di atas aturan-aturan Allah dan orang yang terjerumus di dalamnya seperti suatu kaum yang berundi di atas sebuah kapal. Lalu sebagian menempati tingkat atas dan sebagian menempati tingkat bawah. Orang-orang yang di lantai bawah apabila mengambil air mereka melewati orang-orang yang di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita membuat lubang kecil di bagian kita ini, kita tidak perlu mengganggu orang-orang di atas kita.” Jika orang-orang yang di atas membiarkan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka semua binasa. Namun, jika orang-orang yang di atas mencegah mereka, niscaya mereka selamat dan semuanya selamat.

Ketiga, nilai keadilan diletakkan menjadi prinsip kemaslahatan. Kemaslahatan menjadi salah satu tujuan pokok diturunkannya syariah. Dalam konteks pertambangan, papar Majelis Tarjih dan Tajdid, prinsip kemaslahatan diwujudkan salah satunya dengan cara mengukur skala prioritas dalam penggunaan energi alam. Perlu ada upaya yang serius untuk menyusun strategi dan rencana guna melakukan transisi energi berkeadilan yang lebih ramah lingkungan dalam rangka meraih kemaslahatan yang lebih luas.

Keempat, nilai keadilan dan keseimbangan diletakkan menjadi prinsip musyawarah. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Baca Juga  Bagaimana Islam Melawan Kemungkaran Ekosistem

Berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.

MTT PP Muhammadiyah dalam hasil kajiannya menekankan prinsip musyawarah dalam mengambil kebijakan terkait pertambangan, termasuk juga memberikan perhatian serius kepada penanggulangan berbagai laporan yang diadukan sangat dibutuhkan.

Kelima, nilai kesimbangan diletakkan menjadi prinsip konservasi. Konservasi merupakan hal yang perlu dilakukan dalam rangka menjaga kelangsungan hidup manusia dan alam, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.

MTT PP Muhammadiyah menyebut di antara bentuk konservasi ini adalah membiasakan dengan dengan kebiasaan-kebiasaan baik, seperti berhemat, efisien dan tidak berlebihan dalam memanfaatkan energi, dalam hal ini adalah tambang,” tulis Majelis Tarjih dan Tajdid.

Melalui prinsip konservasi ini, aktivitas pertambangan tidak boleh dilakukan secara berlebihan sehingga berdampak pada eksploitasi, utamanya pada perusahan-perusahan tambang yang berskala raksasa yang secara nyata menjadi aktor penting dalam perusakan lingkungan akibat dari aktivitas pertambangannya yang tidak memperhatikan batas-batas yang aman.

“Termasuk bagian dari konservasi juga, adalah bertanggung jawab memulihkan lingkungan pasca pertambangan, misalnya, mengendalikan limbah industri agar tidak merusak lingkungan dan memulihkan alam pasca pertambangan, tulis Majelis Tarjih dan Tajdid.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian panjang di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengambil fatwa sebagai berikut:

1. Pertambangan (at-ta’dīn) sebagai aktivitas mengekstraksi energi mineral dari perut bumi (istikhrāj al-ma’ādin min baṭn al-arḍ) masuk dalam kategori muamalah atau al-umūr al-dunyā (perkara-perkara duniawi), yang hukum asalnya adalah boleh (al-ibāḥah) sampai ada dalil, keterangan, atau bukti yang menunjukkan bahwa ia dilarang atau haram (al-aṣl fi al-mu’āmalah al-ibāḥah ḥatta yadulla ad-dalīl ‘alā taḥrīmih). 

2. Berbagai aktivitas pertambangan yang berlebihan, eksploitatif dan tidak mengindahkan hak lingkungan dan masyarakat, dilarang dan bertentangan 15 dengan ajaran Islam yang luhur, sehingga perlu ditindak secara tegas. Tindakan tegas ini dapat berupa pengawasan yang ketat agar tidak lagi melakukan eksploitasi dan memberikan hak pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Termasuk juga para pengusaha dan pebisnis pertambangan wajib bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pemulihan lingkungan pasca aktivitas pertambangan. Jika tidak mau melakukannya, maka mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok mufsidūna fī al-arḍ (para perusak bumi). 

3. Perlu adanya tindakan serius dari pemerintah untuk memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan tambang. Aturan-aturan itu harus sejalan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan. Termasuk dalam hal ini, menindak tegas berbagai pihak yang telah memanfaatkan pertambangan sebagai alat politik dan kepentingan sepihak. 

4. Jika dalam pengawasan, ternyata hal-hal buruk ini masih dilakukan, maka yang berwenang wajib untuk mencabut izin dan menghentikan aktivitas pertambangannya. Pelibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat dalam pengawasan sangat diperlukan, agar pengawasan berjalan secara adil dan objektif. 

5. Pemerintah hendaknya memiliki political will yang baik dalam rangka merancang strategi-strategi untuk segera melakukan dan mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. Transisi energi berkeadilan dimaknai sebagai berpindahnya penggunaan dan pengelolaan energi fosil ke energi terbarukan dengan memastikan terpenuhinya aspek keadilan ekonomi, sosial, gender dan lingkungan. 

6. Seluruh lapisan masyarakat perlu menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dan hemat energi sebagai bentuk ikhtiar untuk terbebas dari penggunaan energi fosil, menuju energi yang lebih ramah lingkungan.

Avatar
1413 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hilman Latief: Kader Muda Muhammadiyah Harus Paham Risalah Islam Berkemajuan

2 Mins read
IBTimes.ID – Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut, kader muda Muhammadiyah harus paham isi daripada…
Report

Ema Marhumah: Islam Agama yang Ramah Penyandang Disabilitas

1 Mins read
IBTimes.ID – Ema Marhumah, Dosen Tafsir dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap…
Report

Salmah Orbayinah: Perempuan Penyandang Disabilitas Berhak Atas Hak Pendidikan

2 Mins read
IBTimes.ID – Salmah Orbayinah Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) menyebut, perempuan penyandang disabilitas berhak atas hak pendidikan. Pendidikan menjadi hak dasar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds