Geopolitik di Timur Tengah terus bergolak. Di tengah konflik yang masih berlangsung antara Israel-Palestina, pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh dilaporkan tewas terbunuh dalam sebuah serangan bom di Teheran, Iran.
Terbunuhnya Ismail Haniyeh terjadi pada Rabu (31/7/24) membuat dunia dan umat muslim tersentak, setelah beberapa waktu lalu Hamas-Fatah bersatu dalam sebuah deklarasi Beijing. Belakangan Haniyeh dikabarkan meninggal di kediamannya Teheran, Iran untuk menghadiri pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian.
Ismail Haniyeh adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam Hamas, organisasi politik dan militer yang menguasai Jalur Gaza sejak tahun 2007. Terbunuhnya Haniyeh berpotensi menjadi titik balik yang signifikan dalam dinamika konflik di Timur Tengah, khususnya konflik Israel dan Palestina yang akan semakin meningkat.
Situasi semakin tegang, sebab sehari sebelum Haniyeh meninggal, Fuad Shukr (komandan senior Hizbullah) tewas dalam serangan militer Israel di Beirut, Lebanon (30/7/24). Kematian dua tokoh perlawanan Hamas dan Hizbullah ini menjadi pukulan telak bagi Iran karena Haniyeh berada dalam teritori negaranya.
Iran menuduh Israel berada di balik serangan mematikan ini. Dalam waktu dekat, pemerintah Iran akan memberikan respon terhadap Israel. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Sayid Khamenei menyatakan sikapnya untuk memberikan “hukuman keras” bagi Israel.
Di sisi lain, Benjamin Netanyahu secara resmi memberikan pernyataan dan menganggapnya sebagai “pukulan telak” bagi pemimpin Hizbullah dan Hamas. Menyikapi hal itu, Netanyahu seperti dilansir Reuters (2/8/2024) mengatakan, “kami siap menghadapi skenario apa pun dan kami akan bersatu dan bertekad melawan ancaman apa pun”.
Tulisan ini mengkaji dampak langsung dan jangka panjang dari peristiwa tersebut, termasuk eskalasi perang di kawasan, dan reaksi regional dan internasional. Melalui peristiwa ini, mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan, apakah upaya perdamaian Israel-Palestina yang selama ini dibangun dalam berbagai meja perundingan akan berakhir dengan mengangkat senjata? Dan apakah ini momentum bagi AS untuk kembali menancapkan pengaruhnya di kawasan?
Pasca Terbunuhnya Haniyeh
Hamas adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1987 dan dianggap sebagai kelompok teroris oleh banyak negara Barat, termasuk Israel dan Amerika Serikat. Hamas menguasai Jalur Gaza sejak 2007 dan sering terlibat dalam konflik bersenjata dengan Israel.
Sosok Ismail Haniyeh adalah salah satu pemimpin senior Hamas dan pernah menjabat sebagai Perdana Menteri di bawah Pemerintah Palestina yang dipimpin Hamas. Haniyeh dikenal sebagai tokoh moderat di antara para pemimpin Hamas, meskipun tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar organisasi yang menolak keberadaan Israel.
Terbunuhnya Haniyeh memicu respons militer yang signifikan dari Hamas dan kelompok-kelompok militan lainnya di Gaza. Serangan roket dan aksi militer lainnya terhadap Israel bisa meningkat tajam. Dalam hal ini, Israel telah menyeret konflik Israel-Palestina ini semakin meluas dan terbuka.
Ketegangan Konflik Meningkat di Timur Tengah
Ketegangan tidak hanya meningkat antara Hamas dan Israel, tetapi juga bisa mempengaruhi negara-negara tetangganya seperti Lebanon, Suriah, Mesir, Turki, Arab Saudi, dan Yaman. Kelompok-kelompok militan di wilayah tersebut akan menggunakan peristiwa ini sebagai alasan untuk melakukan serangan atau memperkuat posisi mereka terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Bersikap abstain di tengah konflik bukanlah opsi terbaik. Merespon ketegangan konflik yang terjadi, beberapa negara Arab akan mengambil sikap politiknya, baik dalam hal penguatan militer dalam negeri maupun di perbatasan akan semakin meningkat. Seperti yang dilakukan Yaman selama ini terhadap Arab Saudi yang menuding telah membantu Amerika dalam menguatkan pangkalan militernya di kawasan.
Pihak Amerika Serikat sendiri telah memutuskan untuk segera mengirimkan kapal perang dan jet tempur ke wilayah Timur Tengah. Kebijakan itu diambil setelah Iran dan sekutu regionalnya bersumpah untuk membalas dendam pasca kematian pemimpin Hamas dan Hizbullah.
Menteri Pertahanan AS, Loyd Austin, memerintahkan pengiriman kapal penjelajah dan kapal perusak berkemampuan pertahanan rudal balistik tambahan ke Timur Tengah dan wilayah di bawah Komando Eropa-AS. Dia juga telah meminta satu skuadron tempur baru diberangkatkan ke Timur Tengah.
“Austin telah memerintahkan penyesuaian terhadap postur militer AS yang dirancang untuk meningkatkan perlindungan pasukan AS, untuk meningkatkan dukungan bagi pertahanan Israel, dan untuk memastikan Amerika siap menanggapi berbagai kemungkinan”, kata Pentagon dilansir Reuters, Sabtu (3/8/2024).
Dalam tingkat internasional seperti PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Arab lainnya harus bisa menahan diri dan mengedepankan mediasi. Meskipun posisi mereka bisa saja terpecah, dengan beberapa negara mendukung hak Israel untuk membela diri dan melawan pihak Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap pendudukan atas tanah Palestina.
Bagaimana Nasib Perdamaian Israel-Palestina?
Prospek perdamaian Israel-Palestina akan semakin suram dengan eskalasi militer yang semakin meningkat. Upaya mediasi yang telah dilakukan selama ini bisa terhenti atau mengalami kemunduran yang serius.
Di sisi Palestina, terbunuhnya Haniyeh bisa memperdalam kebenciannya terhadap Israel dan sekutunya AS. Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang dipimpin oleh Fatah, juga menghadapi tekanan untuk mengadopsi sikap yang lebih tegas atau justru menahan diri dari kekerasan.
Negara-negara Arab, terutama yang telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain, akan berada dalam posisi sulit. Mereka harus menyeimbangkan antara kecaman publik terhadap Israel dan kepentingan diplomatik mereka yang pragmatis.
Bagi Iran, sebagai pendukung utama Hamas dan kelompok militan lainnya di kawasan, meningkatkan dukungan logistik dan militer kepada Hamas adalah hal yang wajar dilakukan. Kematian Haniyeh akan semakin mempererat hubungan antara Iran dengan kelompok proxy-nya, baik secara finansial maupun persenjataan militernya, sebagai komitmen untuk terus mendukung perjuangannya melawan Israel.
Komandan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) Hossein Salami mengingatkan rezim Israel atas konsekuensi pembunuhan komandan senior Hizbullah dan Hamas. Mereka yang telah membunuh komandan tersebut sebagai “musuh umat Islam”.
“Mereka dan para pendukungnya, harus menantikan kemarahan suci, balas dendam yang kejam, dan balas dendam dari pihak mujahidin yang setia, tegas, dan gigih (dari berbagai) front perlawanan regional” dilansir dari Presstv.ir pada Jumat (2/8/2024).
Momentum Kembalinya AS di Kawasan
Menanggapi hal itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa di satu sisi, telah menempatkan armada militernya di kawasan. Sejak lama, Amerika telah memainkan peran berada di belakang Israel dan mendukung setiap serangannya terhdap gerakan resistensi Hamas, Hizbullah, dan Houthi.
Bagi Amerika, perang merupakan sebuah momentum. Kiprah AS dalam perang dunia kedua mampu memanfaatkan momentum dan menempatkan dirinya sebagai negara adidaya. Dalam situasi ini, AS seolah memanfaatkan situasi ini untuk bisa “kembali masuk ke kawasan” dan mengukuhkan kembali pengaruhnya, setelah beberapa tahun terakhir AS kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah.
Pihak-pihak internasional, termasuk PBB dan negara-negara berpengaruh, perlu memperkuat upaya mediasi untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan mendorong dialog. Pendekatan diplomatik baru yang lebih inklusif dan inovatif sangat diperlukan, yang tentunya melibatkan semua pihak terkait, termasuk kelompok-kelompok yang selama ini dianggap ekstremis sekalipun. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, perdamaian yang adil dan berkelanjutan bisa dicapai di kawasan yang penuh konflik ini.
Editor; Soleh