Perspektif

Karena Nafsu Berkuasa: Akal Waras Dipinggirkan, Hati Nurani Dikubur

3 Mins read

Nafsu berkuasa (desire to power) di negeri ini tampaknya tak lagi mampu bisa ditahan oleh para elite politik. Dengan mata telanjang, penguasa memeragakan sikap impulsif, cara pandang mereka ringkih dan berdimensi jangka pendek (short termism). Upaya untuk menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 adalah bukti paling faktual dari syahwat tak terkendali tersebut. Kekuasaan dimonompoli sembari menindih orang lain. Saat yang sama akal waras dipinggirkan, hati nurani dikubur (Awaluddin, 2024).

Ambisi Berkuasa

Ambisi berkuasa yang demikian besar itu telah mengalahkan akal sehat dan nurani para pemimpin, diganti dengan sikap semberono, ugal-ugalan dan mengabaikan moral. Ambisi berkuasa itu secara brutal serempak diperagakan oleh partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seturut pemerintah di level eksekutif. Dalam realitas politik mutakhir, para begundal politik tersebut berupaya untuk memonopoli dukungan politik sembari memijak dan membunuh lawan tanding. Dengan mental pengecut, elite politik serempak berjuang untuk mengorkestrasi politik agar tiba pada pertandingan melawan kotak kosong.

Syahwat berkuasa yang berlebihan membuat seseorang menjadi banal, mereka rela untuk memakai segala cara untuk meneguhkan kekuasaan, termasuk laku menipu rakyat, membajak sistem dan hukum, menelikung sesama warga bangsa yang dianggap membahayakan kedaulatannya (Qurtuby, 2021). Merekalah manusia yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “man ittakhadza ilahahu hawahu”, orang-orang yang sudah menuhankan nafsunya (QS Al-Furqan: 43). Ambisi didalam dirinya telah berubah menjadi “at-takatsur”, bertanding untuk menumpuk kekuasaan sebagai buah dari hasrat ingin menggenggam dunia secara serakah (QS. At-takatsur: 102).

Persis dengan ungkapan Owen sebagaimana dikutip Snider (2020) yang menguraikan bahwa bujukan kekuasaan telah melahirkan “konflik” dengan komitmen moral sehingga “air kekuasaan” yang diminum oleh seseorang telah melahirkan “keberanian” dalam dirinya untuk melakukan segala tindakan, mereka menghilangkan rasa malu dan bersalah yang tumbuh di dalam nuraninya sendiri. Situasi inilah yang kemudian melahirkan tindakan impulsif, melakukan segala tindakan politik untuk tujuan-tujuan jangka pendek.

Baca Juga  Yang Menyebalkan dari Generasi Baby Boomers dan Milenial

Ditengah tangis dan amarah rakyat yang saat ini meronta, penting bagi para pemimpin di negeri ini untuk kembali mengubah arah pandangan, berpulang pada hati nurani dan kembali kepada akal waras. Hanya dengan demikian, nafsu berkuasa dapat dikelola sebagaimana mestinya agar terhindar dari praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Sinar Akal Budi

Di tengah muram kondisi politik kebangsaan dewasa ini, akal budi niscaya hadir sebagai cahaya penerang yang membimbing seluruh komponen bangsa untuk kembali kepada moralitas dan kebenaran. Jika ia hilang maka yang tumbuh adalah sikap brutal dan ugal-ugalan, persis dengan pandangan Plato, jika nafsu berkuasa telah menguasai seseorang, maka ia menjadi manusia yang tidak teratur, tidak terkendali bahkan menjadi irasional (Suseno, 1997).

Dalam negara yang sedang mengalami krisis kedaulatan hukum dan demokrasi saat ini, akal budi setidaknya mengambil peran dan fungsi sebagai: pertama, sumber pencerahan yang memungkinkan pengambilan keputusan yang rasional dan objektif. Akal budi memungkinkan para pemimpin untuk mengambil keputusan dan kebijakan berdasarkan kewarasan, bukan dorongan emosional dan kepentingan pribadi.

Kedua, akal budi berfungsi sebagai instrumen utama dalam membangun dialog dan debat yang konstruktif. Para pemimpin jangan sampai menegasikan seluruh aspirasi kritis dan demonstrasi yang sekarang ini sedang berlangsung.

Ketiga, akal budi memainkan peranan penting untuk mengatasi konflik, krisis dan konfrontasi yang tengah berlangsung. Masih ada waktu untuk mengembalikan kewarasan sembari memastikan bahwa keputusan-keputusan politik dalam beberapa hari mendatang dapat menjadi keputusan yang bijaksana dan sesuai dengan rasa keadilan yang diperjuangkan oleh rakyat.

Kompas Etis Kepemimpinan

Dalam momen yang menguji kualitas kepemimpinan di negeri ini, akal sehat (aqlun shahih) dan nurani yang jernih (qalbun salim) niscaya hadir sebagai kompas etis kepemimpinan nasional. Kompas etis tersebut hari ini mendesak untuk dipergunakan sebelum akhirnya bangsa ini terperosok dalam jurang kebangkrutan dan kerusakan. Dengan melihat ambang batas amarah rakyat yang kini tidak lagi bisa dikendalikan, kebajikan dan kebijaksanaan pemimpin akan menentukan sejauh mana bangsa ini akan terus utuh dan tidak luluh akibat nafsu berkuasa yang tidak terkendali.

Baca Juga  Ma’mur Al-Fadil: Respon Terhadap Kebijakan Pemerintah Membingungakan

Bagi kekuatan sosial yang kini menyemut di jalanan dan para netizen yang tengah berlaga di media sosial, percayalah bahwa pertarungan dengan kekuasaan yang penuh syahwat haruslah diletakkan sebagai perjuangan revolusioner yang berdimensi jangka panjang, penuh kedisiplinan dan teguh pada tujuan, persis dengan petuang Bung Hatta (1902-1980) yang lugas menyebut, “tanda revolusioner itu bukan bermata gelap, melainkan beriman, berani menanggung siksa dengan sabar hati, sambil tidak melupakan asas dan tujuan sekejab mata”. Petuah dan petunjuk Hatta itu penting untuk memberi nyawa bagi perjuangan kita menata dan membangun demokrasi dan kedaulatan hukum di negeri ini.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Dulu Ngopi Jadi Ajang Merawat Religiusitas dan Nasionalisme, Sekarang?

3 Mins read
Kebanyakan mahasiswa sekarang memandang ngopi hanya sebatas sarana nongkrong di kafe saja. Tidak sekalipun mereka pernah memperdulikan substansi ngopinya untuk apa, serta…
Perspektif

Akal: Pintu Komunikasi Allah Selain Wahyu

2 Mins read
Dalam dinamika kehidupan, manusia dianugerahi kemampuan unik yang membedakannya dari makhluk lainnya—akal. Akal ini, yang memungkinkan manusia untuk berbicara, berpikir, dan merenung,…
Perspektif

Islam Agama Kasih Sayang

1 Mins read
Islam mengajarkan kasih sayang dengan banyak cara; menebar salam, saling memberi makan,  menyambung silaturrahim, bahkan membalas kejahatan atau keburukan dengan kebaikan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds