Perspektif

Kalung Anti Virus: Indonesia Anti Kepakaran?

3 Mins read

Kalung Anti Virus Corona semakin menambah daftar polemik yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi pandemi COVID-19. Kalung keluaran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian itu diklaim oleh sang menteri mampu mematikan virus corona. Semakin lama dipakai, maka semakin banyak virus tereliminasi.

Klarifikasi Kalung Anti Virus

Tidak perlu waktu lama, para pakar yang kompeten dibidangnya mulai meragukan klaim tersebut. Bahkan beberapa pakar mulai menanyakan proses pengujian kalung anti virus yang dilakukan oleh Balitbangtan. Pakar juga menanyakan detail informasi terkait penggunaan dan manfaat kalung itu.

Polemik itu diputus oleh Kepala Balitbangtan sekaligus memberi klarifikasi atas klaim pimpinannya. Dia mengatakan bahwa kalung yang terbuat dari eucalyptus itu bukan antivirus, melainkan hanya aksesoris kesehatan. Produk lain yang dikeluarkan oleh Balitbangtan dari penelitian yang sama adalah roll on dan inhaler.

Dua produk yang disebut terakhir masuk dalam kategori Jamu pada BPOM. Setelah melakukan klaim dan menimbulkan polemik, Menteri Pertanian (Mentan) mengatakan bahwa dia tidak boleh mengatakan sesuatu terkait kalung itu lagi.

Polemik Para Menteri

Langkah yang dilakukan Mentan dalam membuat klaim sepertinya mengikuti kebiasaan rekan sejawatnya untuk menimbulkan polemik di tengah krisis. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana Menkes merespon pertanyaan terkait cara mengevakuasi WNI di Wuhan ketika awal Virus Corona muncul.

Beliau mengatakan tidak tahu, karena wilayah itu ditutup, tidak bisa masuk dan keluar. Sangat tidak membuat tenang masyarakat yang saudaranya ada di Wuhan. Terlepas dari hal itu, WNI di Wuhan berhasil dievakuasi dan dikarantina. Juga dengan WNI lain yang berkegiatan di luar negeri.

Jika Mentan membuat polemik dari dirinya sendiri, Menkes biasanya membawa WHO dalam setiap polemiknya. Seperti penggunaan masker yang tidak ditujukan untuk orang sehat, Menkes mendapat dukungan dari perwakilan WHO di Indonesia.

Baca Juga  Ilmu Sosial Otonom: Motor Penggerak Perubahan

Menkes mengatakan daripada menggunakan masker lebih baik yang sehat menjauhi yang sakit. Ia juga menyalahkan masyarakat yang berbondong membeli masker sehingga harga masker melambung. Selang beberapa bulan pemerintah mulai menghimbau penggunaan masker kain untuk menghindari paparan COVID-19.

WHO sendiri beberapa waktu lalu didesak para ilmuan untuk mengakui bahwa virus corona bisa tertular lewat udara, dan baru-baru ini mengakuinya. Desakan itu muncul setelah para ilmuan melakukan penelitian secara komprehensif dan lama. Pendapat setiap pakar merupakan pendapat mutakhir bukan yang terkahir.

Jika dulu Menkes mengatakan tidak perlu memakai masker dan kemudian merevisi pernyataan tersebut, bisa jadi itu merupakan hasil penelitian termutakhir tentang manfaat masker. Namun, sudah pasti pernyataan tersebut tidak akan kembali ke argumen awal dan mengatakan penggunaan masker tidak berguna.

Logika Penelitian Corona

Jika kita gunakan logika di atas untuk kasus kalung anti virus. Maka klaim anti virus yang sudah diklarifikasi menjadi aksesoris kesehatan tidak mungkin kembali dalam argumen antivirus. Meskipun penelitian lanjutan dengan eucalyptus masih akan terus dilakukan.

Keluar dari kualitas komunikasi publiknya, Menkes memerlukan otoritas pakar untuk membuat argumen, namun hal itu memerlukan waktu lama. Sedangkan dalam kondisi krisis, publik memerlukan penanganan secepatnya. Berbeda dengan Mentan, klaim yang dilakukan terkesan terburu-buru. Mengingat klaim tersebut dikeluarkan setelah Presiden melakukan teguran pada jajaran menteri terkait kinerja dalam menangani pandemi COVID-19

Dalam penelitian bidang sosial, perlu tinjauan sejawat untuk memberikan masukan atau saran terkait sebuah penelitian sehingga penelitian tersebut teruji kredibilitasnya. Mengingat hasil penelitian ini berupa produk yang akan digunakan masyarakat, tidak adanya legitimasi dari peneliti lain menjadi kesalahan fatal. Sekaligus ini menjadi indikasi sikap anti kepakaran bagi peneliti itu sendiri. Dan hal ini bisa membahayakan masyarakat.

Baca Juga  Corona dan Kemenangan Kita yang (Harus) Tertunda

Masyarakat Indonesia untungnya tidak mudah percaya. Ketidakpercayaan masyarakat seperti pisau yang bisa memotong daging ayam atau membunuh orang. Memiliki dampak tergantung siapa yang menggunakan.

Dalam kasus ini dampaknya sangat bermanfaat. Bagaimana jika masyarakat percaya klaim tersebut, melupakan protokol kesehatan, dan berbondong membeli kalung anti virus? Kasus positif corona bahkan bisa jadi meningkat dan berdampak lebih besar. Selain, tentu harga kalung anti virus akan melambung karena mekanisme pasar.

Anti Kepakaran

Sikap anti kepakaran berawal dari kesalahan informasi yang dipercaya sebagai kebenaran. Hal yang keliru dalam menghadapi kesalahan informasi adalah melakukan bias konfirmasi dengan hanya menyaring data yang mendukung kesalahan informasi tersebut. Bukannya mengakui itu sebuah kesalahan.

Kesalahan informasi bisa terjadi pada siapapun. Namun, kesalahan informasi bisa berdampak fatal jika dilakukan oleh seseorang yang mempunyai otoritas dalam pemerintahan. Dampak fatal ini bisa terjadi karena pemerintah memiliki sifat memaksa. Yang untungnya tidak terjadi (atau gagal terjadi?) dalam kasus kalung anti virus.

Penanganan saat krisis memang harus dilakukan secepat mungkin. Namun cepat dan terburu-buru selain bunyi dan hurufnya berbeda, juga memiliki makna berbeda.

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Pelajar Ilmu Politik dan turunannya. Tinggal di Semarang sejak lahir
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *