Perspektif

Da’i Rasa Provokator

5 Mins read

Momen-momen acara keagamaan mestinya menjadi ajang mengajarkan dan menyebarkan nilai-nilai agama yang luhur.

Namun akhir-akhir ini, kegiatan keagamaan menjadi ajang provokasi dan arena peperangan antar para da’i atau penceramah. Seolah-olah sedang mendakwahkan agama, namun nyatanya provokator berbaju penceramah.

Kita juga disuguhi tontonan yang tidak berujung, yakni perdebatan tentang nasab yang sudah sampai level memuakkan. 

Saling klaim salah benar tidak menemukan titik solusi jalan keluar namun hanya menciptakan perpecahan dan perdebatan yang kontradiktif. 

Masing-masing merasa benar dan enggan untuk menurunkan tensi. Celakanya, para netizen seolah malah menikmatinya dengan komentar-komentar asal bunyi, asal menyerang, asal beda.

Konsep-konsep luhur agama yang didakwahkan para da’i yang rāsihūn bi al-‘ilm dengan baik sebagai tawaran berkemajuan agar menjadi solusi problematika keumatan kontemporer malah diabaikan. 

Umat ditarik kembali ke masa kegelapan dimana semua dibikin sibuk memperdebatkan hal-hal yang kurang penting, menyulut sentimen kelompok, merasa paling benar dengan kelompoknya, memperbanyak musuh karena semua yang berbeda dianggap musuh yang harus dihabisi.

Masih ingat bagaimana Ustaz Adi Hidayat yang memiliki pandangan berbeda dalam memaknai surat As-Syu’aro dalam Al-Qur’an, dikeroyok dengan sangat liar dan brutal bagaikan serigala-serigala kelaparan menemukan mangsa lemah oleh mereka yang menamakan diri sebagai ustaz-ustaz sunah.

Mereka juga seenak jidatnya sendiri melabeli da’i kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai ustaz bid’ah dan ustaz syubhat

Setiap hari, penceramah macam ini hanya menjadi provokator, menabuh genderang perang bak pemandu sorak ketika ada ustaz lain yang salah, tergelincir, bahkan hanya beda penafsiran.

***

Sekali lagi, peringatan hari besar keagamaan seperti maulid nabi, nuzūl al-qur’ānisrā’ mi’rāj, dan tahun baru hijriah mestinya menjadi momentum pencerah umat, bukan menjadi ajang adu domba dan menebar kebencian.

Bagi para pelajar, akademisi, dan cerdik cendekia memiliki waktu dan peluang untuk belajar Islam lebih banyak, mempelajari sirāh nabawiyyah dengan leluasa karena memang itu dunianya.

Namun bagi masyarakat umum, terlebih yang masih awam terhadap ilmu agama, boleh jadi mereka mengenal nabinya hanya saat peringatan maulid nabi, atau saat Al-Qur’an turun dan tujuannya ketika memperingati nuzūl al-qur’ān, mengerti hikmah disyariatkannya salat ketika peringatan isrā’ mi’rāj

Baca Juga  Gus Yahya dan Pak Haedar, Dua Kepak Sayap Moderasi Islam di Dunia Global

Salah satu syair Arab menyatakan, “likull maqāl maqāl wa likull maqām maqām”, setiap sesuatu ada tempatnya yang pas. Orang Jawa bilang, “empan duru papan”, menempatkan sesuatu harus sesuai tempatnya.

Sering kita lihat di unggahan Youtube seorang penceramah dengan raut muka garang menyerang dan menantang kelompok lain untuk berdebat bahkan mengajak perang seolah sedang berhadapan dengan musuh yang harus dihabisi. Sesumbar mubāhalah sering dilontarkan meski tidak pernah dilakukan.

Tidak jarang penceramah kalangan ustaz dan habib yang lebih sibuk mengkritik pemerintah hanya berdasar kabar burung yang belum terbukti kebenarannya. Mengkritik dan memberi peringatan pemerintah adalah kewajiban ulama dan rakyat, namun harus tetap dengan qaul layyin. Apalagi juga menikmati fasilitas yang dibangun pemerintah. Ceramah itu mencerahkan bukan memprovokasi negatif.

Ada juga penceramah yang sukanya berbicara kotor dan porno hanya untuk mencari perhatian dan mungkin ingin menyenangkan jamaahnya. Setiap ucapannya selalu dibumbui dengan mengumpat “misuh-misuh” bahkan bangga dengan pisuhan-nya. Menganggap misuh sebagai gaya hidup yang wajar. Entah nabi dan ulama mana yang menjadi kiblatnya. Entah pernah belajar dimana penceramah macam ini.

***

Prilaku provokatif ini ternyata bukan hanya dilakukan oleh penceramah yang kelasnya masih ustaz, tapi juga dilakukan oleh tokoh sekelas kyai. Dengan semangat dan penuh keyakinan menanamkan kebencian pada ormas lain yang tidak sealiran. Meyakinkan jamaahnya bahwa hanya kelompoknya yang benar. Meminta menarik anak-anaknya yang sekolah atau kuliah di Muhammadiyah agar selamat, agar kalau meninggal dunia tetap dilakukan ritual ini dan itu yang menurutnya benar. Kasihan para ulama mazhab.

Sangat ironis ketika arus besar moderasi sedang diusung dan diperjuangkan agar menjadi arus utama dalam beragama, justru dirusak oleh pikiran-pikiran picik dan sektarian seperti ini. Tidak mencerahkan malah mengobarkan provokasi picik.

Entah siapa yang menjadi kiblat para penceramah provokator ini. Sibuk mengadakan peringatan maulid nabi tetapi tidak meneladaninya, malah menjadi provokator. 

Bukankah Rasulullah adalah uswah ḥasanah? Betul, tapi bagi orang yang mengharap rida Allah, percaya pada hari akhir, dan banyak mengingat Allah. Rasulullah adalah teladan yang sempurna dalam semua aspek kehidupan.

Baca Juga  Bu Tejo di Sekitar Kita

Penceramah tidak akan menjadi provokator jika benar-benar meneladani Rasulullah. Coba perhatikan bagaimana sifat Rasulullah yg disampaikan Imam Al Tirmidzi dalam Syamāil al-Muhammadiyah, tentu tidak ada penceramah provokator karena meneladani kelembutan kanjeng nabi.

Rasulullah itu selalu terlihat sedih, artinya memiliki sikap empati mendalam pada orang lain. Selalu berpikir, dan tidak pernah istirahat berpikir, menggunakan waktunya untuk terus berfikir dan memikirkan ummat, tidak tergesa-gesa memvonis orang lain secara serampangan. Semua melalui pemikiran yang matang.

Beliau suka diam sangat lama dan tidak pernah berbicara tanpa ada keperluan. Merenung dan kontemplasi supaya selalu bijak dalam berbicara dan bertindak. Muhasabah diri dan merenung ini yang sering hilang dari para da’i kontemporer.

***

Beliau membuka dan menutup pembicaraan dengan bismillah, dan berbicara dengan kalimat singkat padat makna. Pembicaraan yang disadari dengan selalu menyebut nama Allah mestinya membuat para da’i ucapannya lebih bermakna. Namun banyak yang lisannya mengucapkan takbir tapi hatinya penuh kesombongan.

Pembicaraan beliau terperinci (jelas), tidak berlebihan dan tidak terlalu kurang (tidak lebih dan tidak kurang, pas, mencakup banyak makna). Artinya, Rasulullah berbicara pada kadar yang pas, tau tempat, situasi dan kondisi. Lain dengan da’i provokator yang menggunakan panggung apa saja untuk menebar kebencian dan adu domba.

Beliau tidak kasar dan tidak tercela. Jika kita mengaku pengikut nabi, merasa paling sunah, merasa mencintai Rasulullah, mestinya ucapan kita tidak kasar dan selalu mencela. Jangan sampai hanya mengaku bermanhaj salaf, ahli sunah, tetapi lisannya penuh racun.

Beliau senantiasa mengagungkan nikmat sekalipun dalam kesulitan, dan tidak pernah mencela sedikit pun dari nikmat itu. Rasulullah selalu mengedepankan syukur, melihat sesuatu dari sisi baiknya, tidak mengeluh meski keadaan tidak nyaman atau kekurangan. Beliau juga tidak pernah mencela atau memuji makanan dan minuman. 

Beliau tidak pernah dibuat marah oleh dunia dan apa yang ada padanya. Jika kebenaran diselisihi, maka tidak ada sesuatu pun yang membuat beliau marah, sebelum beliau membela kebenaran itu, tidak marah demi dirinya dan tidak membela dirinya sendiri. Fokus Rasulullah adalah apa yang diperbuat bukan pada apa yang terjadi.

Ketika dicaci maki Yahudi buta, beliau tidak marah tapi terus menyuapinya. Ketika orang Badui kencing di pojok masjid dan sahabat pada marah, beliau menyuruh menyiram kencingnya saja. Ketika penduduk Taif melemparinya dengan batu, beliau malah mendoakan kebaikan pada mereka. Ketika ada tamu sekelompok orang fasik dan jelek perangainya beliau tetap tersenyum menyambut dengan baik. Ketika Yahudi bertamu dan mengubah salam menjadi racun, Rasulullah tetap tenang dan menenangkan Aisyah yang marah dengan perilaku tamu tersebut.

Baca Juga  Learning From Home (2): Catatan Minus dan Babak Baru
***

Beliau juga seorang instruktur, pengarah, penceramah yang cerdas. Jika menunjuk sesuatu, maka beliau menunjuknya dengan seluruh telapak tangannya, dan bila hatinya merasa heran beliau membalikkannya. Jika sedang berbicara, beliau menggerakkan seluruh telapaknya dan memukulkan telapak tangan kanan pada bagian dalam ibu jarinya yang kiri (untuk memperjelas pembicaraan). Jika marah, beliau berpaling dan memalingkan dirinya, dan jika gembira, beliau memejamkan matanya. Kebanyakan dari tertawa beliau adalah (sekadar) tersenyum. Beliau tenang seperti hujan salju (tersenyumnya sampai terlihat giginya yang sangat putih).

Kalo kita perhatikan dalam kitab-kitab hadis, tampak beliau selalu dikerumuni oleh para sahabatnya. Semua orang merasa gembira bersama beliau.

Namun demikian patut disyukuri masih banyak ustadz, da’i, penceramah, kiyai yang masih memiliki kewarasan dan kedalaman spiritual yang tidak larut dalam arus wacana viral.  Da’i memang seharusnya mewarnai bukan diwarnai, mencerahkan bukan memperkeruh, menarik umat dalam kebenaran bukan terseret pada kesesatan.

Rasanya senang dan tenang  melihat para guru yang istikamah dan kreatif mencerdaskan anak bangsa pada ruang-ruang kelas yang jauh dari hiruk pikuk media sosial, para kyai yang telaten duduk membersamai santrinya memahami kitab-kitab agama.

Bangga rasanya melihat para aktivis dakwah sosial yang sibuk menggalang dana sana sini, melayani umat sepenuh hati, berinteraksi dengan para duafa.

Tersentuh rasanya melihat para kiyai yang khusyuk ber-mujāhadah, puasa sunah, berzikir, berdoa dengan ikhlas agar umat dan bangsa ini tetap selamat.

Bersemangat melihat pengurus ormas tetap istikamah dalam berjuang mengurus amal usaha, menghidupkan kajian di masjid dan surau, membantu ekonomi umat, merawat taman pendidikan Al-Qur’an dengan penuh ketawaduan.

Para provokator berbaju penceramah memang meresahkan, namun masih banyak da’i yang mencerahkan.

Avatar
8 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Darul Ahdi wa Syahadah: Pancasila Sebagai Traktat Kaum Beragama di Indonesia

3 Mins read
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, tidak hanya menjadi pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga berfungsi sebagai traktat atau kesepakatan…
Perspektif

Dulu Ngopi Jadi Ajang Merawat Religiusitas dan Nasionalisme, Sekarang?

3 Mins read
Kebanyakan mahasiswa sekarang memandang ngopi hanya sebatas sarana nongkrong di kafe saja. Tidak sekalipun mereka pernah memperdulikan substansi ngopinya untuk apa, serta…
Perspektif

Akal: Pintu Komunikasi Allah Selain Wahyu

2 Mins read
Dalam dinamika kehidupan, manusia dianugerahi kemampuan unik yang membedakannya dari makhluk lainnya—akal. Akal ini, yang memungkinkan manusia untuk berbicara, berpikir, dan merenung,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *