Malam itu saya sedang luang dan memutuskan menghampiri basecamp, sebuah masjid di sudut perumahan yang tenang, tempat bernaungnya anak-anak muda perantauan. Salah satu kawan yang tinggal di sana bercerita tentang pengalamannya saat mengurus pondok pesantren dua tahun silam.
“Saya pernah ditegur oleh wali santri”, dia bilang kepada kami semua yang hadir di basecamp. “Wali santri itu berkata agar saya mengondisikan gaya berfoto para santri saat sesi foto bersama”. Di benak kami tentu saja pasti ada satu dua santri yang agak usil saat berfoto, dia pun juga awalnya berfikir demikan, lalu kami kembali menyimak cerita kawan satu ini.
“Sialnya, ada sekitar 500 foto di Google Drive dan saya harus mencari satu-persatu foto mana yang bermasalah” Lanjutnya. “Ah! setelah lama mencari, rupanya seorang santri di barisan belakang yang berpose metal seperti ini”, sambil dia peragakan acungan jari telunjuk dan kelingking bersamaan.
Usut punya usut, kawan saya menceritakan bahwa wali santri yang komplain tadi berprofesi sebagai dokter. Dan menurut sang dokter, gaya berfoto salah satu santri tadi merupakan propaganda kesyirikan – mungkin ada teori konspirasi yang mengatakannya sebagai kampanye untuk memuja setan – oleh karena itu menurutnya, ustadz di pondok pesantren wajib mengondisikan.
Sehingga dia menutup ceritanya dengan kesimpulan, “Itulah yang saya sebut dengan Islam Dokter”. Sontak saya pun tertawa mendengar kesimpulan itu. Bagaimana tidak, kami terbiasa mendengar dalam istilah akademik “Urban Muslim” atau “Muslim Perkotaan”, sedangkan kawan saya mengatakan varian lain yaitu “Islam Dokter”.
Lantas saya menimpali sebutan tersebut, “Mengapa harus dokter? Bukankah menurut Gus Dur pemikiran fundamendalistik terhadap Islam kebanyakan berasal dari ahli ilmu-ilmu eksakta? Mereka yang penuh hitung-hitungan rasional sehingga tidak sempat mendalami Islam secara holistik”. Tampak pembicaraan malam itu mulai serius.
“Tidak.. Tidak semua ahli ilmu eksakta mendapatkan tempat sejajar. Dokter punya status sosial lebih tinggi dibanding engineer (teknisi), yang hari-harinya bekerja di bengkel. Mungkin tidak semua seperti itu, namun hampir seluruh dokter yang saya temui agak bermasalah jika membicarakan Islam”,Ucapnya.
Benar juga yang dikatakan kawan saya, selain itu dokter juga memiliki etos kerja yang baik. Sehingga apabila ia berbicara di khalayak, lebih mudah mendapat pendengar, termasuk membicarakan agama (Islam) sekalipun. Saya pun bergumam, bisa jadi orang seperti kawan saya ini, yang telah menghabiskan masa remaja di pesantren hingga masuk perguruan tinggi melalui Program Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah akan kalah pamor dengan dokter ketika di mimbar.
Lagi-lagi, mereka itulah Muslim kelas menengah dengan latar belakang pendidikan ilmu eksak. Bagi mereka, belajar ilmu sulit nan rumit saja bisa, apalagi hanya mempelajari Islam, dengar kajian sambil merem pun juga faham.
Gejala ini cukup berbahaya, menggampangkan ‘ngaji’ tanpa disertai sistematika peta akan mengarah kepada pemudaran warisan intelektual Islam yang begitu kaya. Bahkan Fazlur Rahman menyebut mereka kelompok berfaham superfisial, yaitu neo-fundamentalisme Islam yang umumnya anti-intelekual dan sebenarnya pemahaman mereka tidak bersumber pada ruh Al-Qur’an dan budaya tradisional Islam.
Tentu perlu upaya komperhensif dalam mengatasi gejala ini. Atas keresahan ini juga saya menyebut perlunya peta ketika seorang Muslim ngaji (baca: mempelajari Islam). Ibarat akan menempuh perjalanan, harus punya kendaraan yang disiapkan dengan baik.
Di mulai dari basic wawasan aqidah, akhlak, ibadah praktis dan bisa membaca Al-Qur’an adalah kendaraan yang tidak dapat ditawar. Sebab Islam berisi kewajiban dan tata cara (syari’at) yang harus dijalankan umatnya.
Selanjutnya adalah peta, dalam artian pelbagai jalan yang akan mengarahkan pada pemahaman Islam holistik. Maksud saya, peta tersebut adalah sejarah Islam itu sendiri. Dengan mempelajari sejarah itulah, pandangan akan lebih terbuka. Sebab seluruh pengetahuan, hukum, dan hal-hal praktis Keislaman yang ada hari ini tidak lepas dari perjalanan panjang di masa lampau.
Beberapa karya yang dapat menuntun belajar sejarah Islam, di antaranya Khulāṣah Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī yang ditulis oleh Abdul Wahab Khalaf. Kitab tersebut telah memiliki terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Perkembangan Hukum Islam. Kitab itu merangkum proses pembentukan fikih dari lima masa; (1) Periode Nabi, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Pembukuan, (4) Periode Taklid/Kemunduran, dan (5) Modern.
Namun agar tidak langsung meloncat kepada fikih, perlu juga difahami bahwa warisan sejarah Islam tidak terbentuk begitu saja. Ada dinamika kultural hingga fragmentasi politik yang terjadi dalam perjalanannya. Oleh karena itu, sarana belajar lainnya adalah buku berjudul “Khazanah Intelektual Islam” karya Nurcholish Madjid. Sebuah tulisan yang cukup padat untuk merangkum bagaimana peletakan dasar-dasar pemikiran Islam.
Bagaimana pun, semua ilmu tidak bisa dipelajari dengan tergesa-gesa. Terlebih lagi ilmu agama yang menjadi penuntun di dunia dan hari akhir. Dengan latar belakang apapun, seseorang dituntut untuk selangkah demi selangkah memahami Islam sebagaimana pengembaraan intelektual para ulama terdahulu, sehingga karyanya bisa dinikmati kaum Muslimin hari ini.
Lā Tuḥarrik Bihi Lisānaka Lita’jala Bihi, Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lisanmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak tergesa-gesa (menguasai)-nya. (Surah Al-Qiyāmah: 16)