Bayangkan jika pantai-pantai favorit di negeri ini tenggelam, cuaca kian tak terduga dan udara semakin panas. Ini bukan imajinasi tentang masalah masa depan, tapi problema paling berbahaya di masa sekarang.
Dunia dan Indonesia kini berada pada titik nadir masalah krisis iklim. Krisis iklim adalah cerita paling menyeramkan yang mengancam manusia, utamanya generasi muda. Tapi tentu ini bukan akhir cerita, sebab kita punya kekuatan besar untuk mengubah alur, memastikan bahwa perubahan iklim tidak melumat kehidupan umat manusia.
Malapetaka Perubahan Iklim
Copernicus Climate Change Service (C3S), lembaga pemantau iklim Uni Eropa mengungkap Ahad, 21 Juli 2024 sebagai hari terpanas yang pernah tercatat secara global. Dalam catatannya, Copernicus menyebut suhu permukaan udara rata-rata global pada hari itu mencapai angka 17,09 derajat Celcius. Ini adalah suhu terpanas yang dimulai sejak tahun 1940. Peningkatan suhu panas tersebut menjadi wajah paling telanjang dari masalah kita saat ini: malapetaka perubahan iklim.
Peningkatan suhu permukaan udara sesungguhnya hanya satu di antara banyak akibat menyeramkan dari krisis iklim. Masalah lain yang masih membayangi ialah ancaman kekeringan, maraknya kebakaran hutan, kerusakan terumbu karang dan kematian biota laut juga merebaknya masalah banjir dan longsor di beberapa daerah. Lebih dari itu, dampak krisis iklim telah mengancam kehidupan manusia. Setidaknya ada 3,3 miliar orang di seluruh dunia terancam kerbelangsungan hidupnya. Resiko kematian akibat krisis lingkungan itu bahkan meningkat ekstrem hingga 15 kali lipat jika dibandingkan dengan beberapa abad sebelumnya (Budianto, 2023).
Dalam relasi global, krisis iklim ditengarai banyak disponsori oleh negara-negara maju yang telah sekian lama menjadi penyumbang emisi terbesar. Situasi ini memicu ketidakadilan dampak krisis sebab dalam realitanya, negara-negara yang menyumbang emisi karbon sangat rendah sekalipun terdampak krisis, dampak tersebut seperti cuaca yang kian ekstrem, krisis pangan, kenaikan harga-harga komiditas hingga penyakit. Sederhananya, dapat dikatakan, krisis iklim banyak disebabkan oleh segelintir negara maju, namun berakibat pada semua negara tanpa terkecuali (Budianto, 2023).
Jalan Keluar Krisis Iklim
Kita butuh jalan keluar, solusi atas ancaman malapetaka krisis iklim global. Secara umum, upaya penanganan atas krisis iklim dibagi menjadi dua sisi, yaitu mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi adalah upaya menekan resiko, sementara adaptasi adalah usaha agar manusia dapat hidup berdampingan dengan anomali iklim yang tengah terjadi. Upaya ini dilaksanakan melalui strategi pengurangan emisi karbon, penggunaan energi terbarukan, adoptsi teknologi untuk efisiensi energi, reforestrasi dan pelestarian hutan, pengelolaan limbah, transisi menuu transportasi berkelanjutan juga mendorong pertanian berkelanjutan.
Sementara program adaptasi dijalankan lewat strategi membangun infrastruktur tahan iklim, mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bencana iklim, upaya serius melindungi ekosistem serta pengelolaan sumber daya alam secara maksimal.
Peran Indonesia
Indonesia layak dan pantas untuk turut berbicara dan terlibat dalam langkah-langkah penanganan masalah krisis iklim global. Negeri ini memiliki hutan hutan tropis yang luas, kekayaan biodiversitas dan sumber energi terbarukan yang demikian melimpah.
Melalui modal dan potensi tersebut, Indonesia bisa menjadi pemimpin global dalam kerja-kerja mengurangi emisi karbon. Bangsa ini harus menjadi pelopor komunitas global agar mampu bekerja secara kolektif untuk menyelesiakan problem global ini.
Keterlibatan Indonesia untuk menangani krisis iklim di tingkat global harus paralel dengan penyelesaian masalah pada tingkat lokal dan nasional. Jangan sampai Indonesia serupa tukang tebun yang sibuk merawat taman tetangga sementara tamannya sendiri layu dan tak terurus. Elit pemimpin di negeri ini harus mampu menyeimbangkan kepentingan global, lokal dan nasional.
Di Indonesia sendiri, penyelesaian dan penanganan masalah krisis iklim membutuhkan beberapa agenda mendesak: pertama, penting untuk segera membentuk lembaga/kementerian yang secara khusus bertugas menyelesaikan masalah iklim. Kelembagaan ini niscaya diperlukan untuk merumuskan kebijakan lintas sektor, mulai dari ekonomi, pertanian, kesehatan dan lingkungan.
Kedua, penting untuk merumuskan Undang-Undang yang kuat dan ketat menyangkut penanganan masalah iklim. Undang-Undang ini diperlukan untuk memberi hukum yang ketat, kuat dan mengikat guna melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Melalui hukum yang ketat, setiap tindakan dan kebijakan pemerintah dapat diarahkan untuk mendukung pengurangan emisi karbon, pelestarian lingkungan dan transisi menuju energi bersih. Undang-Undang tersebut tentu diharapkan paralel dan sebangun dengan kesepakatan dan komitmen internasional mengenai penanganan masalah krisis iklim.
Ketiga, Indonesia perlu memaksimalkan sumber daya yang menjadi kunci penyelesaian masalah. Sumber daya yang dibutuhkan dalam hal ini ialah Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdidik dan terlatih, sumber daya finansial untuk mendanai program-program mitigasi dan adaptasi, sumber daya teknologi ramah lingkungan serta modalitas dan sumber daya lain yang dibutuhkan agar Indonesia dapat menyelesaikan masalah iklim lokal-nasional, sebangun dengan upayanya terlibat dalam penanganan masalah iklim global.
Akhirnya perlu kesadaran bersama, bahwa untuk menghadapi krisis iklim global sebagaimana sedang berlangsung hari ini, kita butuh langkah-langkah konkret dan kolaboratif, tentu termasuk melibatkan generasi muda sebagai entitas sosial paling terdampak dari masalah global ini. Cerita tentang masalah iklim belum usai dan kita harus menjadi solusi. Bumi adalah milik bersama dan masa depan planet ini ada di genggaman kita.
Editor: Soleh