Dulu, dunia ini adalah kanvas hijau yang dilukis dengan tangan-tangan cahaya. Angin berhembus lembut di antara pepohonan yang menjulang tinggi, menyanyikan lagu abadi bersama kicauan burung dan gemericik air sungai. Hutan-hutan lebat menjadi rumah bagi berjuta kehidupan–tempat para rusa melompat riang, harimau mengaum gagah, dan burung-burung menari di langit biru yang tak tercemar.
Namun kini, bumi menundukkan kepala. Ia menangis, bukan dengan air mata, tetapi dengan badai, banjir, kekeringan, dan kabut asap. Hutan-hutan ditebang, digantikan dengan beton dan jalan raya. Sungai-sungai yang dulu jernih kini keruh oleh limbah. Satwa-satwa kehilangan tempat tinggalnya, tersingkir dari tanah yang sejak awal adalah milik mereka.
Manusia, yang diberi akal dan hati, lupa bahwa mereka adalah bagian dari alam, bukan penguasa atasnya. Mereka menggali perut bumi tanpa henti, meracuni udara dengan asap pabrik, mencemari laut dengan plastik, dan membakar hutan demi lahan.
Ini bukan fiksi ilmiah. Ini adalah fragmen dari kenyataan yang sedang dan akan terjadi jika umat manusia terus berjalan tanpa mengubah arah. Inilah narasi yang dibentangkan oleh David Wallace-Wells dalam bukunya, “The Uninhabitable Earth: Life After Warming” yang dalam versi terjemahan Indonesia berjudul, “Bumi yang Tak Dapat Dihuni: Kisah tentang Masa Depan”. Buku ini bukan hanya tentang perubahan iklim–ia adalah peringatan yang keras, jujur, dan tanpa kompromi tentang apa yang akan terjadi jika kita terus abai.
Wallace-Wells memulai kisahnya dengan satu kalimat menghantam: “It is worse, much worse, than you think,” (Ini lebih buruk, jauh lebih buruk dari yang Anda bayangkan). Dan sepanjang hampir 300 halaman, ia membuktikan bahwa pernyataan itu bukan retorika, melainkan kenyataan. Ia mengajak kita menatap langsung jurang yang kita gali sendiri: pemanasan global yang semakin tak terkendali, sistem alam yang runtuh satu per satu, dan peradaban yang semakin rapuh karena ulah kita sendiri.
Dengan gaya bahasa yang tajam dan penuh empati, ia membongkar satu demi satu lapisan dampak krisis iklim. Ini bukan hanya soal suhu bumi yang naik beberapa derajat. Ini tentang dunia yang kita kenal berubah menjadi tempat yang asing dan tak bersahabat. Tentang kota-kota pesisir yang perlahan tenggelam, tanah pertanian yang gagal panen tahun demi tahun, laut yang mati, udara yang tak lagi layak dihirup, dan wabah penyakit yang kembali menghantui.
Ia menuliskan bagaimana iklim yang berubah bukan hanya akan merusak lingkungan, tetapi juga menyulut konflik, mengguncang ekonomi, memicu migrasi besar-besaran, dan memperburuk ketimpangan sosial. Semua yang kita anggap stabil–dari sistem pangan hingga sistem politik–bisa runtuh seperti domino. Wallace-Wells menyebutnya dengan, “cascading collapse”: satu kerusakan memicu kerusakan lain dalam rangkaian bencana yang tak lagi bisa dikendalikan.
Namun yang paling menggugah dari buku ini bukan hanya datanya–yang sangat kaya dan kuat–melainkan sikap moralnya. Wallace-Wells tidak menyembunyikan kemarahan dan kekhawatirannya. Sebagai seorang jurnalis dan juga penulis Majalah New York, Ia menulis bukan sebagai ilmuwan netral, tapi sebagai manusia yang peduli, yang takut, dan yang ingin mengajak orang lain untuk merasakan hal yang sama.
Di tengah narasi yang kelam, ia tetap memberi ruang untuk harapan. Bukan harapan pasif yang menunggu mukjizat, tapi harapan yang lahir dari tindakan sadar, kolektif, dan radikal. Ia percaya bahwa karena krisis ini disebabkan oleh manusia, maka manusialah yang bisa menghentikannya. Tapi waktu tidak berpihak. Setiap tahun yang kita buang tanpa perubahan berarti adalah satu langkah lebih dekat ke dunia yang tak bisa dihuni.
Di akhir bukunya, Wallace-Wells menantang kita bukan hanya dengan data, tapi dengan pertanyaan moral: “Apa yang akan kita wariskan?” Akankah kita meninggalkan planet yang lebih baik, atau hanya reruntuhan dari keserakahan dan kebodohan kita?
The Uninhabitable Earth bukan bacaan yang nyaman. Tapi justru karena itulah buku ini penting. Ia menampar kesadaran kita yang sering tertidur oleh rutinitas dan distraksi. Ia mengingatkan bahwa waktu untuk bertindak adalah sekarang. Bukan esok, bukan ketika bencana sudah datang. Karena ketika bumi benar-benar menjadi tak bisa dihuni, tidak ada teknologi, kekayaan, atau kekuasaan yang bisa menyelamatkan kita.
Buku ini adalah jeritan bumi yang disuarakan lewat kata-kata. Dan seperti semua jeritan, ia menuntut satu hal: didengar.
Bumi Indonesia Bagian dari Kerusakan Itu
Lalu bagaimana dengan kondisi di negeri ini? Yaa, sejalan dengan apa yang dimuat dalam buku tersebut, alam Indonesia kini sedang terluka–bukan oleh bencana alam, tetapi oleh tangan-tangan kita sendiri.
Kita terlalu sering berkata “alam adalah ibu,” namun memperlakukannya seperti barang dagangan. Kita menggali, membakar, menebang, mencemari, seakan bumi nusantara ini tidak punya batas, seakan sumber daya ini akan ada selamanya. Padahal alam, sebagaimana kita, juga bisa sakit. Dan kini, ia sedang terbaring dalam demam panjang yang tidak kunjung sembuh.
Kita lupa, bahwa dalam setiap kabut asap yang menyelimuti langit Sumatera dan Kalimantan, ada paru-paru anak-anak yang sesak. Kita lupa, bahwa dalam setiap hektar hutan yang hilang, ada rumah orangutan yang musnah. Kita lupa, bahwa dalam setiap ikan yang mati di sungai beracun, ada petani kecil yang kehilangan makan malamnya.
Kita seakan pura-pura tak membaca, bahwa: Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna. 30% dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut. Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai paling terceram di dunia. Dan Jakarta mendapat label sebagai kota dengan polusi tertinggi ketiga di dunia.
Indonesia kaya, ya, sangat kaya, tapi kita sedang menggadaikan kekayaan itu untuk kenyamanan sesaat. Kita mengejar pertumbuhan, tapi lupa keberlanjutan. Kita bangun gedung tinggi dan jalan tol, tapi membiarkan tanah longsor dan banjir menjadi hal yang biasa.
Judul Buku: Bumi yang Tak Dapat Dihuni: Kisah tentang Masa Depan
Penulis: David Wallace-Wells
Tebal Buku: 346 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2019
ISBN: 978-602-06-3234-6
Editor: Soleh